Jakarta, 28/11 (ANTARA/LE) – Jika wisata yang bersifat massal menarik turis dalam jumlah luar biasa besar, menguras sumber daya lokal, juga 1menghasilkan gunungan sampah, seberapa lama destinasi itu akan bertahan sampai di masa depan?
Pun, seberapa besar keinginan pelancong berkontribusi mempertahankan manfaat jangka panjang di suatu tempat wisata ketika mengunjunginya? Jawaban atas pertanyaan ini, akan memberikan pengaruh bagi arah jalan pariwisata berkelanjutan.
Sesungguhnya, pariwisata berkelanjutan bukan hal yang baru hadir kemarin sore.
Ditarik jauh ke tahun 1980-an, pariwisata berkelanjutan muncul sebagai konsep antitesis dari berwisata secara serampangan yang tak peduli dampak buruk bagi kehidupan alam dan sosial penduduk lokal.
Maka, inilah konsep berwisata yang tidak cuma soal bersenang-senang, tetapi juga memikirkan dampak kegiatan turisme itu pada banyak aspek, terutama bisnis dan ekonomi masyarakat lokal, kehidupan sosial budaya, dan lingkungan alam setempat.
Memang, di kala itu konsep tersebut baru ramai di tataran perbincangan terbatas kelompok pengamat dan akademikus, demikian penjelasan Wiwik Mahdayani, pakar pariwisata berkelanjutan dari Desma Center.
Kebutuhan akan pariwisata berkelanjutan diakomodasi oleh masyarakat dunia dalam Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDGs) pada 2015, di bawah naungan Poin 8 Pekerjaan yang Layak dan Pertumbuhan Ekonomi.
Dari situ, penerapan prinsip keberlanjutan dalam ekosistem wisata mulai terdengar gaungnya di Indonesia. Regulasi formal dibentuk tahun 2016 melalui Peraturan Menteri Pariwisata, yang kemudian diubah pada 2021 dengan Peraturan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif.
Sebagai konsep, pariwisata berkelanjutan bisa diterapkan pada berbagai aktivitas turisme. Sebutlah agrowisata, wisata edukasi, wisata olahraga, dan bermacam lainnya. Juga untuk wisata di desa maupun di kota.
Menurut Wiwik, banyak destinasi yang menerapkan pariwisata berkelanjutan merupakan tempat wisata di kawasan konservasi. Selain itu banyak juga kawasan wisata desa berbasis masyarakat.
Sumber daya di perdesaan, baik yang tercatat sebagai kawasan konservasi ataupun bukan, relatif tersedia lebih lengkap dan pas sejalan dengan konsep berkelanjutan.
Langkah yang bisa dilakukan pelaku pariwisata sebetulnya sesederhana mengelola sampah sendiri, mengelola sumber daya yang paling dekat dengan mereka untuk memberikan nilai manfaat.
Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif menyebutkan beberapa dalam laman resminya: Taman Nasional Baluran di Jawa Timur, Taman Nasional Ujung Kulon di Banten, Sangeh Monkey Forest di Bali, Punti Kayu di Palembang, dan Umbul Ponggok di Klaten.
Tuntutan konsumen, hitungan bisnis
Bergelut dengan pariwisata yang bijak dan bertanggungjawab sejak 2002, Wiwik mampu melihat bahwa tren praktik pariwisata berkelanjutan kian banyak diterapkan saat pandemi melanda.
Benar saja, COVID-19 memaksa pelaku pariwisata dan wisatawan, secara sadar ataupun tidak, menerapkan prinsip keberlanjutan. Pariwisata massal harus “bubar” karena pembatasan kerumunan, tergantikan dengan pariwisata berkualitas.
Sejalan dengan dipaksa keadaan, kemauan dari wisatawan sendiri itu hadir juga. Wisata dianggap perlu memberikan keamanan dan kenyamanan bagi pengunjung, juga tak melupakan perhatian pada Bumi dan alam, serta warga sekitar.
“Konsumen, wisatawan, masyarakat itu ujung tombak pariwisata berkelanjutan. Banyak bisnis pariwisata terdorong melakukan langkah keberlanjutan itu karena tuntutan konsumen,” kata Wiwik.
Dalam Outlook Pariwisata dan Ekonomi Kreatif 2023/2024 yang dirilis Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif pada akhir tahun lalu, sebanyak 56,76 persen pakar sepakat bahwa wisata ramah lingkungan menjadi tren yang diminati.
Bagi pelaku bisnis pariwisata, khususnya di perkotaan, modal di awal untuk menjalankan prinsip pariwisata berkelanjutan akan terasa tak murah. Bahkan, kapital itu bukan hanya berupa dana, melainkan juga modal pengetahuan.
Kabar baiknya, dengan modal ini, Wiwik menyebut, pelaku bisnis akan dapat melakukan efisiensi sumber daya di masa mendatang. Bagi bisnis hotel dan restoran, biaya operasional bisa ditekan.
Ada efisiensi energi di balik upaya hotel dan restoran menerapkan prinsip berkelanjutan, contohnya melalui penggunaan lampu hemat energi dan model bangunan yang ramah lingkungan sehingga tidak membutuhkan banyak pendingin udara.
Pada aspek lain, sampah makanan yang diproses sederhana bisa menjadi pupuk tanaman di taman, sampah plastik juga bisa diminimalisasi dengan menyediakan dispenser air minum.
Bagi ekosistem pariwisata secara luas, prinsip keberlanjutan memungkinkan rantai nilai menjadi lebih panjang. Banyak produk dan jasa yang bergerak dan ekonomi yang berputar dalam rantai tersebut.
Rantai nilai itu mulai dari wisatawan merencanakan perjalanan wisata, berada di tengah perjalanan, beraktivitas di destinasi pariwisata, sampai kembali lagi ke rumah.
Dulu, menurut Wiwik, saat prinsip ini belum dikenal luas, banyak sekali pembangunan hotel, resor, atau kawasan terintegrasi pariwisata yang memisahkan bisnis itu dari masyarakat setempat.
Prinsip berkelanjutan memastikan bisnis pariwisata tidak berjalan secara eksklusif, karena masyarakat lokal wajib turut serta. Singkatnya, semua pihak dilibatkan.
Dengan segala potensi manfaat itu, baik bagi destinasi, pelaku bisnis, warga lokal serta wisatawan, kini pekerjaan rumah yang harus dilakukan adalah terus menggaungkan pariwisata berkelanjutan.
Semakin ramai kita membicarakan pariwisata berkelanjutan, kian banyak pihak yang tahu dan sadar tentang prinsip ini. Tak lupa, kapasitas bagi mereka yang bergelut dalam ekosistem pariwisata juga harus ditingkatkan secara beriringan.
Pariwisata berkelanjutan, kini dan esok, bukan lagi sebuah gaya hidup, melainkan kebutuhan demi merawat masa depan Bumi ini. (ANT/LE)