Denpasar, LenteraEsai.id – Ogoh-ogoh, karya seni patung dalam kebudayaan Bali, dibuat untuk mengimajinasikan wujud Bhuta Kala atau setan yang kerap menggoda atau mengganggu tata kehidupan masyarakat di dunia.
Laksana setan, dalam kepercayaan Hindu di Bali, Bhuta Kala merupakan roh jahat yang kerap bisa membuat kehidupan manusia menjadi tak tentu arah, gelisah, tegang, dan bahkan sakit-sakitan serta bentuk ketidaknyamanan lainnya.
Berkaitan dengan itu, sehari sebelum tibanya Hari Suci Nyepi yang disebut Malam Pengrupukan, umat Hindu di Bali mengusung patung-patung besar yang kemudian disebuh Ogoh-ogoh sebagai perwujudan Bhuta Kala.
Pengusungan dimaksudkan untuk memberi daya magnet agar roh-roh jahat yang berkeliaran di lingkungan pemukiman warga, tertarik untuk masuk ke dalam tubuh Ogoh-ogoh, untuk selanjutnya dapat dilebur atau dihancurkan.
Itu sebabnya, Ogoh-ogoh usai diarak menjelang tengah malam pada Malam Pengrupukan, langsung dibakar di areal setra atau di tegalan guna melebur kawanan setan atau roh jahat yang telah masuk ke dalam tubuh Ogoh-ogoh. Dengan demikian, perjalanan waktu setelah tibanya Hari Suci Nyepi berlangsung mulus dan damai tanpa gangguan roh-roh jahat.
Kendati demikian, khusus pada Malam Pengrupukan tahun ini yang jatuh 24 Maret 2020, sama sekali tidak dibenarkan untuk melakukan aksi pengarakan atau pawai Ogoh-ogoh di jajanan umum di seluruh Bali.
Gubernur Bali Wayan Koster dengan tegas meminta masyarakat tidak melakukan pengusungan Ogoh-ogoh pada Malam Pengrupukan tahun ini sehubungan dengan imbauan pemerintah untuk melakukan ‘social distancing’ bagi masyarakat terkait dengan maraknya penularan Virus Corona atau Covid-19 di hampir seluruh negara di dunia.
‘Sosial distancing’ perlu dilakukan sebagai salah satu upaya memutus mata rantai penyebaran virus yang cukup membahayakan itu. Disebutkan, Covid-19 bisa bertahan hidup berkepanjangan setelah mampu hinggap dan menggerogoti seorang korbannya, untuk kemudian dapat pindah ke korban yang lainnya.
Perpindahan virus tersebut medianya adalah tubuh manusia. Untuk itu, bila antarmaunia penderita tidak bertemu dengan manusia lainnya, perjalanan virus akan punah. Sehubungan dengan itulah, Gubernur Koster mengimbau kegiatan yang mempertemukan banyak manusia ditiadakan, termasuk mengarak Ogog-ogoh.
Dengan adanya surat edaran dari gubernur tersebut, untuk pertamanya kalinya Malam Pengrupukan di Bali tanpa dengan kehadiran patung-patung raksasa berwajah menyeramkan di jalanan umum, di lingkungan tempat pemukiman warga.
Atau paling tidak, pengarakan Ogoh-ogoh yang sudah berlangsung sejak tahun 1976, kini tak dijumpai lagi di jalanan Pulau Dewata sehubungan pemerintah meminta masyarakat untuk melakukan aksi ‘social distancing’.
Beberapa penglingsir di Bali menyebutkan bahwa pengarakan Ogoh-ogoh ke jalanan umum pertama kali dilakukan di Bali pada 1976. Setelah itu, aksi serupa menjadi semakin marak setelah pemerintah untuk pertama kalinya memberlakukan Hari Suci Nyepi sebagai hari libur nasional pada 1983.
Berdasarkan Surat Keputusan Presiden Nomor 3 tahun 1983 tertanggal 19 Januari 1983, Hari Raya Nyepi dan Hari Raya Waisak, ditetapkan sebagai hari libur nasional.
Sebelum Ogoh-ogoh turun ke jalan, ujar beberapa penglingsir, umar Hindu di Bali melakukan pola lain dalam upaya atau niatnya mengusir Bhuta Kala dari lingkungan pemukiman, antara lain dengan menggelar ‘siat api’ atau perang api di jalanan yang diyakini mampu mengusir setan, roh jahat pengganggu kehidupan. (Yanes Setat)