Jurnalisme AI: Tanpa Manusia, Algoritma Bisa Menyesatkan

Dalami klinik AI, jurnalis pahami legal dan etis penggunaan AI dalam jurnalisme. ANTARA/HO-PT DSLNG

Jakarta, 06/5 (ANTARA/LE) – World Press Freedom Day atau Hari Kebebasan Pers Dunia yang diperingati setiap 3 Mei adalah momen penting untuk menatap ke depan tentang peran media dalam demokrasi dan kebebasan berekspresi.

Di tahun ini, melalui jalan diskusi sesama pekerja media, telah dilahirkan tantangan baru yang merupakan bagian dari kemajuan teknologi, terutama dalam hal kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI).

Bacaan Lainnya

Maraknya penggunaan AI dalam dunia jurnalistik, merupakan tantangan besar yang muncul dalam mempertahankan keakuratan informasi dan integritas pemberitaan. Artificial Intelligence membawa dampak besar pada dunia jurnalisme dengan meningkatkan kecepatan dan efisiensi dalam produksi berita, serta mempermudah pengolahan data besar.

Tetapi, meskipun AI menawarkan kemudahan, perlu diwaspadai adanya potensi kesesatan informasi yang dihasilkan oleh algoritma, sehingga AI tidak sepenuhnya dapat menggantikan peran manusia dalam mengawasi dan memverifikasi konten.

Fenomena post-truth, di mana emosi dan keyakinan pribadi lebih memengaruhi pembentukan opini publik dibandingkan dengan fakta objektif, semakin berkembang dengan adanya AI.

Algoritma yang digunakan dalam media sosial dan platform berita sering kali memperburuk masalah dengan memprioritaskan konten yang sensasional dan bias dengan tujuan agar lebih menarik perhatian, meskipun tidak berbasis pada fakta yang akurat.

Adalah salah jika kita menganggap algoritma itu netral. Karena ia dibentuk dan dilatih dengan data manusia. Layaknya sebuah cermin, jika data latihnya bias, maka hasilnya juga akan bias.

 

Pendekatan human-in-the-loop menjadi solusi yang sangat relevan

Diperlukan jalan keluar untuk meluruskan kesesatan informasi. Pendekatan human-in-the-loop menjadi solusi yang sangat relevan. Human-in-the-loop adalah pendekatan di mana kecerdasan manusia berkolaborasi dengan teknologi otomatisasi dalam pengambilan keputusan.

Human-in-the-loop akan memastikan bahwa teknologi berada dalam kendali manusia, bukan sebaliknya.

Dalam dunia jurnalisme, penekanannya adalah bahwa meskipun AI dapat membantu dalam mengotomatisasi produksi berita dan analisis data, manusia tetap memiliki peran penting dalam memastikan bahwa informasi yang disebarkan tetap akurat, terverifikasi, dan berimbang.

Jurnalis manusia memiliki kemampuan untuk memberikan konteks sosial dan pertimbangan etis yang tidak dapat dijalankan oleh mesin, serta memastikan bahwa setiap informasi yang dipublikasikan dapat dipercaya dan tidak menyesatkan publik.

Sedangkan “jurnalis AI”, beroperasi berdasarkan data yang telah diprogram atau dilatih, dan meskipun dapat mengakses banyak informasi, nalar penulisannya tidak memiliki pemahaman intuitif atau konteks sosial yang sama dengan manusia.

Hal yang tidak kalah penting adalah bahwa jurnalis manusia memiliki sense of news, kemampuan mengendus berita. Insting jurnalistik ini diasah melalui pengalaman. Naluri curiga dan penasaran akan menggiring jurnalis manusia menuju sebuah berita atau pengungkapan fakta.

Sementara AI hanya mengandalkan pola dari data yang tersedia. Ia tidak memiliki naluri penasaran.

 

Menjaga dan memelihara agar kebenaran tetap menjadi dasar dalam pembentukan informasi publik

Mengimplementasikan human-in-the-loop dalam jurnalisme, berarti kita menjaga dan memelihara agar kebenaran tetap menjadi dasar dalam pembentukan informasi publik. Karena dalam jurnalisme, kebenaran itu sakral.

Asupan kecerdasan manusia ditambah intuitifnya, memungkinkan verifikasi fakta, pendalaman konteks, dan etika dalam pemberitaan, meskipun ada tekanan dari algoritma yang lebih mengutamakan klik dan engagement.

Dalam mengelola kecerdasan buatan, jurnalis manusia harus tetap berada pada pusat proses pengambilan keputusan untuk mencegah distorsi informasi.

Kita juga harus menyoroti pentingnya kolaborasi antara teknologi, regulasi, dan pendidikan media.

Regulasi yang tepat harus memperkenalkan transparansi dalam penggunaan algoritma dan memastikan bahwa AI digunakan untuk memperkuat kualitas informasi, bukan hanya untuk mengejar monetasi berupa keuntungan finansial.

Selain itu, pendidikan literasi media yang kuat sangat penting agar masyarakat mampu membedakan berita palsu dan informasi yang valid. Masyarakat juga perlu didorong untuk tidak mengandalkan satu sumber berita, namun melakukan diversifikasi sumber informasi.

Dengan meningkatkan kesadaran tentang bagaimana algoritma bekerja dan bagaimana memilih sumber informasi yang kredibel, kita dapat membangun masyarakat yang lebih kritis dan bijaksana dalam mengonsumsi media.

Atas tantangan meluruskan hasil “perbuatan AI”, maka Hari Kebebasan Pers Dunia harus menjadi momen refleksi tentang bagaimana AI dan algoritma digunakan dalam dunia jurnalisme, dan bagaimana kita dapat mengelola teknologi kekinian itu dengan bijak.

Dengan pendekatan human-in-the-loop, kita dapat memastikan bahwa teknologi berfungsi untuk memperkuat jurnalisme yang lebih berimbang, berkualitas, dan bertanggung jawab. Tindakan ini adalah kesempatan kita untuk mengingatkan bahwa kebenaran adalah fondasi yang harus dijaga dan dipelihara, peran manusia dalam menjaga integritas informasi tidak boleh dicemari oleh teknologi.

Menggabungkan kecerdasan manusia dan teknologi otomatisasi adalah tetap memposisikan jurnalis yang memegang peran penting dalam verifikasi fakta, pendalaman konteks, dan etika pemberitaan. Pendekatan ini memastikan bahwa meskipun AI mempercepat proses produksi berita, manusia tetap mengawasi dan mengendalikan hasilnya.

World Press Freedom Day adalah kesempatan kita untuk menyuarakan komitmen terhadap kebebasan pers yang diimbangi dengan tanggung jawab sosial dan etika dalam pemberitaan, sehingga jurnalisme tetap menjadi pilar yang kokoh dalam mengusung demokrasi dan keadilan sosial. (ANT/LE)

Pos terkait