Jakarta, 06/5 (ANTARA/LE) – Kelapa sejatinya merupakan komoditas tradisional dan unggulan Nusantara, namun kondisi agribisnis ini, kini sangat memerlukan perhatian khusus.
Luas perkebunan kelapa masih stagnan sekitar 3,3 juta hektare, dengan total produksi di angka 2,7 juta ton, menurut data Badan Pusat Statistik (BPS).
Di saat produksi tertekan, harga kelapa bulat pada beberapa bulan terakhir ini melonjak tajam. Di Riau, sentra produsen kelapa terbesar di Indonesia, harga per butir naik dari Rp2.900/kg menjadi Rp8.000/kg dalam kurun 2024–2025.
Sayangnya, lonjakan harga ini, meskipun membuat petani kelapa tersenyum, belum berdampak signifikan bagi kesejahteraan mereka. Jika kita telisik lebih dalam, harga di daerah pemasaran, pada tingkat konsumen lebih tinggi lagi, yakni Rp13.769 hingga Rp21.000/kg per April 2025. Kondisi ini mengindikasikan adanya margin distribusi yang sangat besar, dan menandakan bahwa rantai pasok kelapa masih bermasalah serta tidak efisien.
Ketimpangan ini tidak menguntungkan bagi ekosistem industri secara keseluruhan, dimana pelaku usaha, khususnya pedagang di hilir, dapat menikmati margin berlebih saat terjadinya sortasi pasokan dalam negeri. Kondisi tersebut tentu menyulitkan agenda hilirisasi industri kelapa yang seharusnya mampu mendongkrak nilai tambah, memberikan efek ganda bagi perekonomian daerah dan meningkatkan daya saing komoditas ini di pasar global.
Tata niaga komoditas ini Indonesia memang sebuah ironi dan penuh dilema, dimana kebijakan belum sepenuhnya berpihak pada integrasi rantai nilai. Petani kelapa terjebak pada margin perdagangan yang timpang, dan rantai pasok belum optimal.
Kebijakan selaras
Sejumlah regulasi yang tidak sinergis menjadi biang keruwetan tata niaga kelapa. Kebijakan pajak dan ekspor yang timpang mendorong para petani lebih senang menjual buah mentah ke pasar ekspor, ketimbang ke industri dalam negeri.
Selama ini, pembeli bahan baku industri kelapa, seperti kopra, VCO, dan produk lain dikenai PPN 10 persen, meskipun sejak diberlakukannya Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 64/PMK.03/2022 tarif PPN atas penyerahan barang hasil pertanian tertentu, termasuk kelapa, ditetapkan sebesar 1,1 persen dari harga jual.
Di sisi lain, ekspor buah kelapa utuh sama sekali tidak kena pajak. Kondisi ini membuat petani lebih memilih mengekspor kelapa utuh demi harga sesaat yang lebih tinggi. Industri pengolahan lokal pun kekurangan pasokan. Berbagai pihak, termasuk industri pengolahan kelapa dan anggota DPR/DPD menyoroti kondisi ini.
Himpunan Industri Pengolahan Kelapa Indonesia (HIPKI) mendesak agar pemerintah segera mengatur ekspor kelapa segar, karena selama ini tidak ada aturan sama sekali, sehingga banyak kelapa mentah diekspor tanpa nilai tambah untuk ekonomi lokal.
Beberapa pihak di pemerintahan menegaskan pentingnya reformasi tata niaga dan mengusulkan skema tarif ekspor dan pengenaan pajak atas buah kelapa yang diekspor, agar kelapa yang dipanen masyarakat tidak keluar negeri mentah tetapi diolah di dalam negeri
Selain itu, regulasi di tingkat daerah dan perizinan sering tumpang-tindih. Belum ada mekanisme harga patokan ekspor (HPE) khusus kelapa (hanya untuk sawit), dan mekanisme harga di tingkat petani relatif bebas pasar. Pemerintah pusat dan daerah perlu segera menetapkan kebijakan tarif atau kuota ekspor kelapa utuh serta insentif bagi pelaku hilirisasi.
Regulasi peremajaan (replanting) juga penting, dimana usia pohon kelapa sudah sangat tua dan produktivitas rendah, sehingga program revitalisasi perkebunan kelapa harus sejalan dengan insentif bagi petani (sarana produksi, kredit murah, peralatan panen) agar kualitas dan kontinuitas pasokan dapat meningkat.
Rantai pasok
Kelembagaan petani kelapa di Indonesia masih tergolong lemah dan terfragmentasi. Sebagian besar petani bergantung pada tengkulak skala kecil, tanpa koordinasi dalam distribusi dan pemasaran. Padahal, pengalaman di berbagai daerah menunjukkan bahwa pembentukan koperasi atau kelompok tani mampu meningkatkan posisi tawar petani secara signifikan.
Konsep korporasi petani yang melibatkan BUMN dan swasta juga mulai digagas untuk menjamin standar kualitas, kesinambungan usaha, dan akses pasar yang lebih luas bagi petani kelapa.
Inisiatif petani membentuk koperasi telah muncul di beberapa sentra produksi, terutama untuk memproduksi produk olahan bernilai tambah, seperti kopra dan Virgin Coconut Oil (VCO). Koperasi ini terbukti mengurangi ketergantungan pada tengkulak dan membantu meningkatkan pendapatan petani.
Oleh karena itu, dukungan teknis, seperti pelatihan manajemen, sertifikasi, serta akses permodalan melalui program KUR atau modal ventura koperasi, perlu diperluas agar kelembagaan ini benar-benar berfungsi optimal.
Salah satu persoalan utama dalam tata niaga kelapa adalah panjangnya rantai pasok yang membuat harga di tingkat konsumen jauh lebih tinggi dibandingkan harga di tingkat petani. Infrastruktur distribusi yang buruk, mulai dari jalan rusak, minimnya transportasi, hingga kurangnya fasilitas penyimpanan, memicu ketimpangan pasokan dan harga antarwilayah. Ketidakefisienan ini, bahkan memicu kelangkaan bahan baku di beberapa daerah, seperti Kepulauan Riau, terutama saat ekspor meningkat secara mendadak.
Untuk itu, rantai pasok kelapa harus dipangkas dan diperpendek secara sistematis. Petani perlu difasilitasi agar dapat menjual langsung ke koperasi atau industri, seperti yang telah diterapkan di daerah Riau dan Sulawesi Utara. Pemerintah daerah juga harus berperan dengan membangun infrastruktur pendukung, menyediakan izin usaha terpadu, pasar lelang, dan mendorong digitalisasi pemasaran. Dengan rantai pasok yang efisien, margin keuntungan bisa dibagi lebih adil, harga di tingkat petani meningkat, dan konsumen tidak terbebani selisih harga yang besar.
Ke depan, hilirisasi menjadi kunci utama untuk meningkatkan nilai tambah kelapa nasional. Produk, seperti VCO, cocopeat, dan arang batok kelapa memiliki potensi ekspor tinggi dan sudah mulai dikembangkan oleh UMKM dan koperasi di berbagai daerah. Hanya saja, pengembangan ini harus ditopang oleh kebijakan yang mendukung: pembebasan PPN untuk produk olahan, harmonisasi regulasi perdagangan, dan insentif investasi.
Dukungan riset dan teknologi, termasuk perakitan varietas baru dan pengembangan benih unggul, serta inovasi pascapanen, sangat diperlukan untuk memperkuat daya saing kelapa Indonesia di pasar global.
Dibutuhkan solusi menyeluruh, dimana reformasi regulasi hingga penguatan kelembagaan perlu dijalankan. Kebijakan yang berpihak pada petani akan meratakan manfaat ekonomi bagi hulu dan hilir.
Dengan sinergi pemerintah, pelaku usaha, dan petani, dan ditopang program hilirisasi yang nyata, maka industrialisasi kelapa dapat dibangkitkan kembali. Hanya dengan demikian, potensi besar kelapa Indonesia dapat diwujudkan untuk kesejahteraan petani kelapa dan menjadikan kelapa sejajar dengan sawit sebagai komoditas unggulan nasional. (ANT/LE)