IMO-Indonesia Sikapi RUU Omnimbus Law Cipta Kerja

Jakarta, LenteraEsai.id – Dinamika Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja yang disampaikan oleh pemerintah ke DPR RI sembilan hari yang lalu tepatnya pada Rabu, 12 Februari 2020, menuai kontra atau penolakan dari sejumlah organisasi usaha serta pekerja pada lintas sektor di tanah air.

Tujuan yang dicanangkan oleh pemerintah melalui RUU Cipta Kerja tersebut, tentunya agar kemaslahatan yang lebih besar dapat segera terwujud di bumi pertiwi yang berbanding lurus dengan perkembangan globalisasi dewasa ini. Dengan harapan, bangsa Indonesia mampu bersaing dan sejajar dengan bangsa-bangsa lain di dunia.

Bacaan Lainnya

Sebagaimana diketahui, RUU Cipta Kerja selain mengatur soal investasi, juga memasukkan revisi sejumlah pasal dalam Undang Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers. Setidaknya ada dua pasal yang akan diubah, yaitu soal modal asing di pasal 11 serta ketentuan pidana di pasal 18. 

Atas kondisi tersebut, IMO-Indonesia selaku organisasi badan usaha media online yang berpedoman kepada UU 40 Tahun 1999 dan beraviliasi kepada Dewan Pers, merasa perlu angkat bicara terkait industri media khususnya online, ujar Ketua Umum IMO-Indonesia Yakub Ismail ketika diwawancarai sejumlah awak media massa terkait RUU Cipta Kerja, di Jakarta, Sabtu (22/02/20).

“Kami ingin sumbang suara serta memberikan masukan terkait industri media khususnya online, sebagaimana kesempatan yang disampaikan langsung oleh Presiden Republik Indonesia Ir H Joko Widodo, di mana masyarakat dikatakan dapat menyampaikan masukan terkait RUU Cipta Kerja,” ucapnya.

Seiring dengan arah perubahan, imbuh Yakub, yang didorong oleh pemerintah tentunya hal tersebut juga harus dapat memberikan rasa keadilan kepada industri media khususnya online, bahwa organisasi media yang terbentuk dan sudah memiliki legalitas harus mendapat perlakuan yang sama, terlepas sudah atau belum terverifikasi.

“Kiranya harus ada saluran komunikasi dua arah yang sehat serta harmonis antara industri media online dengan lembaga yang diakui,” imbuhnya.

Untuk itu, dapat dibuat data base yang baik dengan kualifikasi baru untuk dapat mengakomodir seluruh media, baik yang padat karya maupun padat modal, dan kiranya juga bisa diberikan ruang yang cukup besar agar ada pembinaan serta edukasi secara langsung dari lembaga yang diakui kepada perseroan media yang belum sepenuhnya memenuhi ketentuan maupun yang sudah, serta kepada seluruh masyarakat pers di Indonesia. 

“Industri media khususnya online mampu menjadi sebuah peluang usaha serta kerja di sektor media untuk menjadi salah satu solusi dari sekian banyak program pemerintah. Hal tersebut tentunya sejalan dengan semangat perubahan dalam menyongsong era globalisasi yang berkeadilan untuk semua, terutama semangat nasionalisme untuk yakin dan percaya bahwa tetap akan menjadi tuan di negerinya sendiri,” kata Yakub, yang diamini Sekretaris Jenderal IMO-Indonesia M Nasir bin Umar dan Bendahara Umum Jeffry Karangan.

Di tempat terpisah, Dewan Pembina IMO-Indonesia Tjandra Setiadji, menyampaikan pandangannya. Menurut dia, keberadaan RUU tersebut jangan sampai mengganggu kebebasan media atau pers dalam menjalankan fungsi dan tugasnya. Ia pun memberi kebebasan untuk proses pengesahannya.

“Bagi saya yang penting jangan sampai menyentuh pada kebebasan media massa yang kini telah dimiliki oleh para pegiat media. Kalau mengganggu, IMO saya sarankan untuk melawan,” ujar Andy, sapaan akrab Tjandra Setiadji.

Andy yang sering tampil sebagai pembicara pada acara yang menyangkut peran media, meminta agar RUU menjadi penerus semangat reformasi, yang salah satunya soal kebebasan berpendapat. Sehingga, rezim tidak terkesan mundur.

“Rezim jangan kembali kepada rezim kegelapan, di mana kebebasan bagi rakyat tidak sejalan dengan reformasi yang kita bangun,” ujar Andy yang juga berprofesi sebagai praktisi hukum tersebut.

Oleh karenanya, saran dan masukan pengurus IMO bagi Andy sudah tepat. Sebagai organisasi yang bergerak di sektor media punya tanggung jawab untuk mengawalnya. Tujuannya, lanjut tokoh kelahiran Bagan Siapi-Api itu, untuk memberi kontribusi secara akademik.

“IMO tentu dalam rangka untuk memberi masukan, sekali lagi biar tidak kembali ke zaman otoriter,” kata Andy, menandaskan.

Senada dengan Tjandra Setiadji, Dewan Penasehat IMO-Indonesia Adi Suparto menyampaikan pandangannya, bahwasanya setelah mengikuti rintisan Onmibus Law ini sejak Oktober tahun lalu yang tujuan utamanya untuk menggalakkan investasi agar masuk ke Indonesia, dirasakan ada yang janggal.

Pihak pemerintah menengarai bahwa para investor itu ada keengganan berinvestasi di negeri ini karena terkendala dengan aturan-aturan yang ketat dan terkesan sulit. Salah satu upaya untuk mengurangi rasa was-was para investor tersebut, ialah dengan menghilangkan atau menyederhanakan pasal-pasal yang dinilai menghambat investasi tersebut, yang antara lain beberapa pasal pada UU No 40 tahun 1999 tentang Pers. 

Agar sebuah peraturan perundang-undangan dapat berjalan efektif, seharusnya dimulai sejak awal. Yakni sejak menyusunan draft RUU, pihak pemerintah sudah harus fair. “Insan Pers harus dilibatkan agar kami dapat memberi masukan yang tidak merugikan bagi semua pihak,” ucapnya, lantang. 

Menurut Adi, salah satu bentuk kebebasan pers adalah bahwa UU No.40 tahun 1999 tentang Pers itu adalah satu-satunya undang-undang yang tidak disertai dengan Peraturan Pemerintah. Segala peraturan dan ketentuan yang terkandung dalam UU Pers tersebut telah dituangkan dalam bentuk Peraturan Dewan Pers. Jika saat ini diwacanakan bahwa UU Pers akan direvisi bahkan akan diterbitkan PP oleh Pemerintah, ini sudah merupakan bentuk intervensi dari pemerintah (membelenggu kebebasan pers). “Tentu saja hal demikian ini kami tolak,” kata Adi, menegaskan.

Pandangan lainnya juga disampaikan ketika Pembina IMO-Indonesia Dr Yuspan Zalukhu SH MH diwawancarai media terkait perubahan pasal 11 dan pasal 18 UU No.40 Th 1999 tentang Pers melalui RUU Omnibus Law. Ia spontan mengatakan, jadi begini, menurut pemerintah RUU Omnibus Law ini bermaksud mendorong kemajuan investasi di Indonesia, yang tentunya untuk kemaslahatan bangsa dan negara.

“Nah UU No. 40 th 1999 tentang Pers khususnya pasal 11 dan pasal 18 yang akan diubah, apakah dirasakan sudah terealisasikan mewujudkan pemajuan peran Pers nasional dalam menjalankan kontribusinya pada pembangunan nasional dengan segala kondisi yang ada ?,” ujar Yuspan, balik mempertanyakan.

Sekarang silahkan masyarakat pers dan setiap warga negara umumnya menyimak bunyi pasal 11 dan pasal 18 UU No. 40 th 1999, kemudian sandingkan dengan bunyi pasal 11 dan pasal 18 perubahan melalui RUU Omnibus Law, mana yang lebih menguntungkan pemajuan pers nasional untuk berkontribusi mendorong pemajuan investasi di Indonesia ?

“Kita berharap eksekutif dan legislatif sunguh-sungguh bertujuan baik akan mengundangkan Omnibus Law demi kemaslahatan bangsa dan negara, tidak sebaliknya kemunduran yang akan terjadi kemudian. Karenanya silahkan masyarakat bersuara lantang dan elegan melalui saluran-saluran inspirasi yang tersedia secara profesional, baik terkait perubahan UU Pers maupun lainnya,” ungkap Yuspan Zalukhu, menekankan.

Adapun hal yang sama juga disampaikan oleh Helex Wirawan (Dewan Pembina IMO-Indonesia ) saat dihubungi untuk diminta pandangannya terkait RUU Cipta Kerja. Menurutnya, pada Omnibus Law RUU Cipta Kerja terdapat dua pasal UU Pers yang diubah melalui pasal 87, yakni Pasal 11 dan Pasal 18.

Pasal 11 UU Pers semula tertulis, “Penambahan modal asing pada perusahaan pers dilakukan melalui pasar modal.” Dalam RUU Cipta Kerja, diubah menjadi, “Pemerintah Pusat mengembangkan usaha pers melalui penanaman modal sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang penanaman modal.”. Dengan masuknya investasi asing melalui penanaman modal asing, hal yang perlu diperhatikan adalah berapa besar dominasi asing dan independensinya.

Sedangkan Pasal 18 UU Pers mengalami perubahan di Omnibus Law RUU Cipta Kerja menjadi berbunyi: 1. Setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi pelaksanaan ketentuan Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp 2000.000.000,00 (dua miliar rupiah). 

2. Perusahaan pers yang melanggar ketentuan Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal 13 dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah). 

3. Perusahaan pers yang melanggar ketentuan Pasal 9 ayat (2) dan Pasal 12 dikenai sanksi administratif. 

4. Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis, besaran denda, tata cara, dan mekanisme pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah. 

Helex juga mengatakan bahwa melalui perubahan Pasal 18, pemerintah menaikkan empat kali lipat denda atas ayat 1 dan ayat 2 dari Rp 500 juta menjadi Rp 2 miliar. Perubahan Pasal 18 yang penyusunanya tidak melibatkan insan pers ini perlu dipertanyakan apa motifnya.

”Hal dapat memberi celah kepada pemerintah untuk campur tangan lagi urusan pers, dan itu tidak sesuai UU Pers yang mendorong sistem self regulation dalam bentuk Kode Etik Jurnalistik yang merupakan Peraturan Dewan Pers, bukan diturunkan dalam bentuk Peraturan Pemerintah. Pelaksanaan kode etik jurnalistik dapat menjadi salah satu tolak ukur profesionalisme wartawan dalam melaksanakan tugas jurnalistiknya, sehingga tidak perlu diatur lebih lanjut lagi dalam bentuk PP,” ujarnya.

Helex menuturkan bahwasanya secara umum terdapat 4 teori pers yang dianut oleh negara-negara di dunia, yaitu Teori Otoritarian, Teori Liberartarian, Teori Tanggung Jawab Sosial dan Teori Soviet Komunis. Pada masa pemerintahan Order Baru, Indonesia lebih cenderung menganut sistem Otoritarian, kemudiaan pada masa reformasi sistem pers di Indonesia berubah menjadi sistem tanggung jawab sosial. Teori ini menekankan pada tanggung jawab moral dan tanggung jawab sosial orang-orang atau lembaga-lembaga yang menjalankan media massa.

“Dalam sistem pers ini, pers harus mempunyai rem sendiri untuk mengontrol dirinya sendiri dari dalam. Rem itu berupa kode etik jurnalistik. Kode etik jurnalistik merupakan aturan-aturan yang menjadi batasan-batasan pers dalam membuat berita, sehingga tidak perlu diatur lagi dalam Peraturan Pemerintah seperti yang diamanat dalam RUU Cipta kerja,” katanya, menegaskan.

Sebagai sebuah organisasi penerbit media online, IMO-Indonesia memiliki visi & misi untuk ‘Menjadi Organisasi Media Online yang Berimbang Dalam Pemberitaan dan Pemersatu Kebhinekaan serta Menjadikan Media Online Bagian Dari Industri Pers yang Memiliki Nilai Tambah dengan Memperjuangkan Regulasi yang Berpihak Kepada Industri Pers Online untuk Mencerdaskan Kehidupan Berbangsa Dengan Pemberitaan Yang Benar dan Berimbang’. (LE-JK)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *