Jakarta, 13/6 (ANTARA/LE) – Di tengah gejolak ekonomi global yang belum mereda, pertumbuhan ekonomi Indonesia kembali menunjukkan ketangguhannya.
Laporan kinerja Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Mei 2025 menjadi bukti bahwa strategi fiskal yang adaptif dan terukur mampu menjaga stabilitas ekonomi Indonesia. Ketika negara-negara maju masih bergulat dengan inflasi tinggi dan suku bunga yang agresif, Indonesia justru berhasil menjaga pertumbuhan dan daya beli masyarakat.
Pada kuartal pertama 2025, ekonomi Indonesia tumbuh sebesar 4,87 persen (year-on-year). Meski sedikit lebih rendah dibandingkan kuartal pertama 2024 yang mencapai 5,03 persen, angka ini masih menunjukkan ketahanan ekonomi nasional.
Ekonomi Indonesia, dibandingkan dengan China, misalnya, pertumbuhan ekonomi di Negeri Tirai Bambu itu pada periode yang sama hanya mencapai 4,5 persen. Sementara negara-negara Eropa menghadapi ancaman resesi akibat tekanan geopolitik dan inflasi tinggi.
Kontributor utama pertumbuhan ekonomi Indonesia tetap berasal dari konsumsi rumah tangga, yang menyumbang sekitar 54,5 persen terhadap produk domestik bruto (PDB). Artinya, daya beli masyarakat masih terjaga, di tengah tekanan harga dan suku bunga global yang meningkat. Konsumsi yang kuat ini menjadi penopang utama pertumbuhan, terutama di tengah ekspor yang mulai melambat akibat pelemahan ekonomi mitra dagang utama, seperti China dan Amerika Serikat.
Dari sisi fiskal, hingga akhir kuartal pertama 2025, APBN Indonesia mencatatkan surplus fiskal sebesar Rp4,3 triliun, atau setara 0,02 persen dari produk domestik bruto (PDB). Capaian ini menjadi sinyal positif di tengah ketidakpastian ekonomi global dan domestik, dan menunjukkan bahwa pemerintah mampu menjaga keseimbangan fiskal secara hati-hati dan terukur.
Surplus ini terjadi karena pendapatan negara tumbuh lebih cepat dibandingkan belanja negara. Dengan pendapatan yang hampir menyentuh 30 persen dari target, sementara belanja masih di kisaran 20–22 persen, postur APBN pada akhir April menunjukkan posisi fiskal yang sehat dan terkendali.
APBN 2025 kembali memainkan peran strategis sebagai penyangga ekonomi nasional. Pemerintah tidak hanya fokus pada belanja infrastruktur dan perlindungan sosial, tetapi juga mulai mengarahkan stimulus untuk mendorong sektor konsumsi dan pariwisata domestik.
Salah satu langkah konkret adalah pemberian diskon transportasi selama libur sekolah Juni–Juli 2025. Kebijakan ini bertujuan untuk mendorong mobilitas masyarakat dan meningkatkan belanja domestik, terutama di sektor pariwisata dan UMKM.
Langkah ini sejalan dengan strategi fiskal ekspansif yang tetap berhati-hati. Pemerintah menjaga agar belanja negara tetap produktif, dengan fokus pada program-program prioritas, seperti bantuan sosial, pembangunan infrastruktur dasar, dan dukungan terhadap sektor pendidikan dan kesehatan.
Hingga Mei 2025, realisasi pendapatan negara menunjukkan tren positif. Penerimaan pajak mulai pulih, setelah tekanan pada kuartal pertama akibat restitusi dan penyesuaian tarif efektif. Penerimaan negara bukan pajak (PNBP) juga tetap stabil, terutama dari sektor sumber daya alam dan dividen BUMN.
Di sisi lain, belanja negara diarahkan secara lebih efisien. Pemerintah menjaga defisit anggaran tetap dalam batas aman, sejalan dengan target defisit fiskal di bawah 3 persen dari PDB. Ini penting untuk menjaga kepercayaan investor dan lembaga pemeringkat internasional terhadap kredibilitas fiskal Indonesia.
Pemerintah juga terus menjaga daya beli masyarakat melalui pengendalian inflasi dan subsidi yang tepat sasaran. Inflasi Indonesia pada Mei 2025 tercatat sebesar 2,9 persen (yoy), masih dalam kisaran target Bank Indonesia (2,5 persen ± 1 persen). Ini menunjukkan efektivitas kebijakan stabilisasi harga yang dilakukan pemerintah, terutama dalam menjaga pasokan dan distribusi barang kebutuhan pokok.
Sebagai perbandingan, inflasi di Amerika Serikat pada periode yang sama masih berada di atas 3,5 persen, sementara di Eropa, bahkan mencapai 4,2 persen, akibat lonjakan harga energi dan pangan. Dalam konteks ini, stabilitas harga di Indonesia menjadi pencapaian penting yang mendukung daya beli masyarakat.
Meski kinerja ekonomi nasional cukup solid, tantangan global tidak bisa diabaikan. Kenaikan suku bunga global, ketegangan geopolitik, seperti konflik di Timur Tengah dan Eropa, serta perlambatan ekonomi mitra dagang utama masih menjadi risiko yang harus diantisipasi.
Dana Moneter Internasional (IMF), dalam laporan terbarunya merevisi proyeksi pertumbuhan ekonomi global tahun 2025 menjadi 2,8 persen, lebih rendah dari proyeksi sebelumnya sebesar 3,2 persen. Dalam situasi ini, fleksibilitas kebijakan fiskal dan moneter menjadi kunci dalam menjaga stabilitas makroekonomi ke depan.
Strategi realistis
Kinerja positif APBN hingga Mei 2025 dan pertumbuhan ekonomi kuartal pertama yang stabil menjadi sinyal kuat bahwa Indonesia berada di jalur yang tepat dalam mengelola dinamika ekonomi global. Pemerintah berhasil menjaga keseimbangan antara mendorong pertumbuhan ekonomi, mempertahankan stabilitas makro, dan memastikan keberlanjutan fiskal.
Ini bukan pencapaian yang mudah, mengingat tekanan eksternal, seperti perlambatan ekonomi global, fluktuasi harga komoditas, dan ketidakpastian geopolitik yang masih berlangsung.
Namun, keberhasilan ini bukan alasan untuk berpuas diri. Justru, di tengah pencapaian tersebut, kewaspadaan tetap menjadi kunci. Tantangan struktural, seperti ketimpangan ekonomi, ketergantungan pada sektor-sektor tertentu, serta kebutuhan akan transformasi ekonomi jangka panjang masih harus dihadapi dengan serius.
Ke depan, strategi fiskal Indonesia perlu diarahkan dengan pendekatan lebih progresif dan inklusif. Beberapa langkah yang perlu dilakukan. Pertama, perluasan basis pajak menjadi prioritas utama. Reformasi sistem perpajakan digital harus dipercepat untuk menjangkau sektor informal dan ekonomi digital yang selama ini belum tergarap optimal. Dengan digitalisasi sistem perpajakan, pemerintah tidak hanya dapat meningkatkan penerimaan negara, tetapi juga menciptakan sistem yang lebih adil dan transparan.
Kedua, efisiensi belanja negara harus terus ditingkatkan, terutama di sektor-sektor strategis, seperti pendidikan dan kesehatan. Investasi pada kualitas sumber daya manusia akan menjadi fondasi bagi pertumbuhan jangka panjang. Belanja negara harus diarahkan pada program-program yang berdampak langsung terhadap peningkatan produktivitas dan kesejahteraan masyarakat.
Ketiga, Indonesia perlu mendorong investasi hijau dan pengembangan ekonomi digital sebagai sumber pertumbuhan baru. Di tengah transisi energi global dan Revolusi Industri 4.0, Indonesia memiliki peluang besar untuk menjadi pemain utama dalam ekonomi berkelanjutan. Investasi pada energi terbarukan, teknologi bersih, dan infrastruktur digital akan membuka lapangan kerja baru, sekaligus memperkuat daya saing nasional.
Dengan strategi yang adaptif, berbasis data, dan kolaboratif lintas sektor, Indonesia tidak hanya memiliki peluang untuk bertahan di tengah ketidakpastian global, tetapi juga untuk tumbuh lebih kuat dan inklusif. Optimisme ini bukan sekadar harapan, melainkan hasil dari fondasi kebijakan yang telah dibangun secara konsisten dalam beberapa tahun terakhir.
Memasuki triwulan berikutnya, Indonesia menghadapi tantangan baru dalam menjaga surplus perdagangan.
Perjanjian dagang terbaru antara Amerika Serikat dan China memang meredakan sebagian tekanan tarif, namun potensi kembalinya kebijakan tarif era Trump dan proyeksi pertumbuhan ekspor kawasan APEC yang hanya 0,4 persen menjadi sinyal peringatan.
Ketimpangan permintaan global juga mulai terasa. Ekspor Indonesia ke China dan Uni Eropa masih kuat, namun pasar ASEAN menunjukkan pelemahan. Hal ini menegaskan pentingnya diversifikasi ekspor Indonesia, yang selama ini masih bergantung pada komoditas, seperti sawit, batu bara, dan logam dasar.
Di sisi lain, tingginya impor mesin dan peralatan menjadi indikator positif bahwa investasi domestik masih berjalan. Namun, hal ini juga menjadi pengingat bahwa Indonesia perlu segera memperkuat sektor manufaktur bernilai tambah agar tidak hanya menjadi pasar, tetapi juga produsen yang kompetitif. Penguatan kemitraan strategis dan kebijakan industri yang progresif menjadi kunci untuk menjaga ketahanan sektor eksternal.
Sementara itu, penciptaan lapangan kerja menjadi sorotan penting. Tambahan 3,6 juta lapangan kerja pada kuartal pertama 2025 menjadi kabar baik, meskipun jumlah angkatan kerja yang bertambah lebih tinggi (3,7 juta) menyebabkan tingkat pengangguran terbuka naik tipis dari 7,2 persen menjadi 7,3 persen.
Meski demikian, secara persentase terhadap total angkatan kerja, pengangguran justru sedikit menurun dari 4,82 persen menjadi 4,76 persen. Pemerintah pun menegaskan komitmennya untuk memperkuat program pelatihan dan pengembangan tenaga kerja agar pertumbuhan ekonomi dapat menyerap lebih banyak tenaga kerja baru.
Di tengah tantangan global dan domestik, sektor manufaktur yang masih lemah perlu mendapat perhatian khusus. Stimulus fiskal dan kebijakan pendukung harus diarahkan untuk menghidupkan kembali sektor ini sebagai motor pertumbuhan ekonomi. Percepatan belanja negara juga difokuskan untuk mengatasi tekanan di sektor konstruksi dan pertambangan, serta memastikan pembangunan merata ke seluruh pelosok negeri.
Selanjutnya koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah menjadi krusial dalam mengoptimalkan pemanfaatan dana transfer dan mendorong pertumbuhan yang inklusif.
Dengan pengelolaan APBN yang hati-hati dan adaptif, serta inflasi yang terkendali dan pertumbuhan ekonomi yang tetap positif, Indonesia memiliki fondasi yang kuat untuk melangkah lebih jauh menuju pemulihan dan kemajuan berkelanjutan. (ANT/LE)