Menata Ulang Regulasi Industri Pangan Indonesia

Petani mengangkut hasil panen padi di Kasemen, Kota Serang, Banten, Rabu (16/4/2025). ANTARA FOTO/Muhammad Bagus Khoirunas/rwa.

Jakarta, 16/4 (ANTARA/LE) – Ketahanan pangan telah lama menjadi isu strategis nasional, terlebih dalam situasi global yang semakin tidak menentu.

Namun sering kali, diskursus tentang pangan hanya terpaku pada soal ketersediaan dan harga bahan pangan, sementara aspek yang lebih fundamental seperti kedaulatan dan kemandirian pangan luput dari perhatian. Padahal, ketiganya harus berjalan beriringan—dan salah satu penopangnya yang paling vital adalah regulasi industri pangan.

Bacaan Lainnya

Dalam konteks Indonesia sebagai negara agraris yang tengah tumbuh menjadi kekuatan industri, peran sektor industri dalam membangun sistem pangan nasional tak bisa diabaikan. Industri pangan tidak hanya berfungsi sebagai pengolah hasil pertanian, tetapi juga sebagai jembatan antara petani dan pasar.

Dalam praktiknya, banyak tantangan regulatif yang membuat industri pangan nasional justru berkembang tidak selaras dengan cita-cita ketahanan, kedaulatan, dan kemandirian pangan nasional.

Ketahanan pangan, kedaulatan pangan, dan kemandirian pangan adalah tiga pilar yang sering dipisahkan.

Konsep ketahanan pangan mengacu pada kemampuan negara dan masyarakat untuk memastikan ketersediaan, akses, dan pemanfaatan pangan yang cukup. Sementara itu, kedaulatan pangan menekankan hak rakyat dan negara untuk menentukan sistem pangannya sendiri, termasuk perlindungan terhadap petani, benih lokal, dan pangan tradisional.

Adapun kemandirian pangan berarti memproduksi sebagian besar kebutuhan pangan dari dalam negeri tanpa bergantung pada impor.

Sayangnya, dalam praktik kebijakan, konsep-konsep tersebut belum terintegrasi dengan baik, terutama dalam kerangka regulasi industri. Banyak industri pangan nasional justru lebih bergantung pada bahan baku impor, seperti gandum, kedelai, jagung, dan gula rafinasi, sehingga melemahkan posisi petani lokal dan memperbesar defisit neraca perdagangan sektor pangan.

 

Problem regulasi

Saat ini Indonesia memiliki sejumlah regulasi yang menjadi tulang punggung sistem pangan dan industri nasional. Namun sebagian besar regulasi tersebut masih bersifat sektoral dan belum mampu menjembatani kepentingan industri dengan basis produksi pangan rakyat.

Contoh paling krusial adalah Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan yang lebih menitikberatkan pada aspek ketahanan pangan, tetapi belum menjabarkan secara konkret bagaimana kedaulatan pangan bisa dicapai.

Dalam UU ini, tidak ada pembatasan yang jelas terhadap dominasi korporasi besar dalam sistem pangan nasional. Akibatnya, industri besar yang mampu mengakses bahan baku impor dan distribusi modern menjadi dominan, sementara petani dan pelaku usaha pangan lokal sering tertinggal.

Kemudian, UU No. 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian juga belum memberi perhatian khusus terhadap penguatan agroindustri lokal berbasis komoditas pangan nasional. Fokusnya masih pada industrialisasi skala besar dan orientasi ekspor, bukan pada hilirisasi berbasis pertanian rakyat.

Padahal, jika regulasi ini direvisi dengan menyisipkan klausul khusus tentang industri pangan strategis nasional, maka daya saing produk lokal bisa meningkat, sekaligus menyerap hasil produksi petani.

Regulasi lainnya seperti UU No. 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani pun belum terimplementasi secara maksimal. Jaminan harga, perlindungan dari kerugian, hingga kemitraan yang adil antara petani dan industri, masih banyak yang hanya berhenti di atas kertas.

Tanpa revisi dan penguatan implementasi, petani akan terus menjadi pihak yang paling rentan dalam rantai pasok pangan nasional.

Revisi dan harmonisasi regulasi di sektor pangan bukan lagi wacana, melainkan sebuah kebutuhan mendesak yang harus segera dijawab oleh DPR dan pemerintah. Dalam konteks ini, peran strategis legislatif dan pemerintah untuk mendorong lahirnya kebijakan yang lebih berpihak pada industri pangan lokal, sekaligus membangun sistem pangan nasional yang berdaulat dan berkeadilan.

Selama ini, berbagai regulasi yang ada cenderung berjalan sendiri-sendiri, belum menyatu dalam visi besar yang menjadikan industri sebagai penggerak utama kemandirian dan ketahanan pangan bangsa.

Beberapa langkah konkret perlu segera diambil. Pertama, merevisi UU No. 18 Tahun 2012 tentang Pangan agar lebih tegas dalam melindungi produksi dalam negeri dan membatasi impor yang merugikan petani.

Kedua, menyisipkan klausul khusus dalam UU No. 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian yang mengafirmasi keberpihakan terhadap industri pangan berbasis lokal.

Ketiga, memperkuat implementasi UU No. 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani, khususnya dalam pemberian insentif bagi industri yang bermitra dengan petani kecil.

Keempat, mengevaluasi UU Cipta Kerja, terutama klaster pangan dan industri, agar tidak melemahkan kontrol negara atas sistem pangan nasional.

Kelima, mendorong lahirnya regulasi baru, baik dalam bentuk RUU maupun Perpres, yang mengatur hilirisasi industri pangan lokal dan integrasi rantai pasok dari hulu ke hilir berbasis kemandirian nasional.

Revisi regulasi bukan sekadar soal bahasa hukum, tetapi tentang arah politik pangan dan industri kita.

Jika ingin Indonesia tidak lagi terguncang oleh krisis pangan global, maka industri kita harus berdiri di atas pondasi produksi dalam negeri. Petani harus diposisikan sebagai mitra, bukan sekadar pemasok murah. Industri pangan harus menjadi penggerak, bukan penghisap.

Menata ulang regulasi industri pangan adalah langkah strategis untuk mengubah wajah sistem pangan nasional: dari yang tergantung pada pasar global, menjadi berdaulat atas kebijakan sendiri. Dan di titik itulah, ketahanan, kedaulatan, dan kemandirian pangan bisa benar-benar terwujud secara bersamaan.

 

*) Rioberto Sidauruk, Pengamat Hukum Ekonomi Politik/Peneliti Industri Strategis (ANT/LE)

Pos terkait