OMSP bukan Dwifungsi TNI

Prajurit TNI membawa anjing pelacak saat upacara gelar Operasi Penegakan Ketertiban (Gaktib) dan Yustisi Polisi Militer TNI 2025 di Mabes TNI, Cilangkap, Jakarta, Senin (10/2/2025). . ANTARA FOTO/Asprilla Dwi Adha/tom. (ANTARA FOTO/ASPRILLA DWI ADHA)

Jakarta, 11/4 (ANTARA/LE) – Pengesahan UU TNI menyisakan kekhawatiran kembalinya Dwifungsi TNI di tengah masyarakat.

Istilah Dwifungsi TNI merujuk pada Dwi Fungsi ABRI yang terjadi pada masa Orde Baru. Pada saat itu, jabatan-jabatan politik di eksekutif maupun legislatif diperbolehkan untuk diisi tentara, dari mulai kepala desa, camat, bupati/wali kota, gubernur, menteri, hingga anggota DPR. Bahkan, ada Fraksi ABRI di DPR.

Bacaan Lainnya

Apakah mungkin Dwifungsi TNI itu kembali di masa reformasi, terutama setelah disahkannya UU TNI?

Dalam pandangan penulis, hal itu kemungkinannya kecil akan terjadi. Pengisian jabatan-jabatan sipil oleh prajurit TNI aktif sebagaimana yang dirumuskan dalam pasal 7 (2), huruf b dan pasal 47, tidak lain adalah bentuk operasi militer selain perang (OMSP).

Dalam dunia militer, OMSP dikenal di era 1990-an. Amerika Serikat menyebutnya dengan military operation other than war (MOOTW), sementara Inggris menyebutnya dengan Peace Support Operations (PSO). Dalam Joint Doctrine for Military Operations Other Than War (US Military: 1995) disebutkan bahwa MOOTW berfokus pada pencegahan perang, menyelesaikan konflik, mempromosikan perdamaian, dan mendukung otoritas sipil dalam menanggapi krisis domestik.

OMSP muncul dari kesadaran bahwa militer bukan hanya sebagai alat perang, tetapi juga sebagai instrumen politik yang dapat digunakan untuk membentuk lingkungan internasional yang menguntungkan sebuah negara ataupun memperkuat pertahanan domestik. Meskipun militer secara historis berfokus pada peperangan, profesi militer modern semakin mengubah fokusnya ke serangkaian operasi militer yang kompleks, selain perang.

AS adalah negara pertama yang mengembangkan kerangka doktrinal OMSP, lalu diikuti oleh militer di seluruh dunia dengan mengembangkan pedoman mereka sendiri. Pada 2006, AS menghilangkan dikotomi formal antara operasi militer perang dan non-perang. Doktrin operasi gabungan AS kontemporer menggambarkan operasi militer pada kontinum konflik yang membentang dari masa damai hingga perang (James Siebens dan Ryan Lucas: 2022).

China mengembangkan OMSP pada misi non-tradisional dengan menempatkan Tentara Pembebasan Rakyat (PLA) sebagai alat kenegaraan yang semakin banyak digunakan. China telah mengerahkan pasukan di lebih dari selusin negara dalam misi penjaga perdamaian PBB. PLA membentuk pasukan khusus untuk operasi militer selain perang, di antaranya pasukan bantuan banjir dan bencana, pasukan penyelamatan darurat pascagempa bumi, pasukan penyelamatan darurat untuk bencana nuklir, kimia, dan biologi, pasukan bantuan darurat untuk fasilitas transportasi, dan pasukan penjaga perdamaian internasional.

Penerapan OMSP di Indonesia, dapat dipastikan merujuk pada perkembangan ini. Setiap negara mengembangkan konsep dan kebutuhannya berbasis pada kepentingan nasional masing-masing.

Dalam UU TNI terbaru, OMSP dirumuskan lebih luas. Selain fokus pada pencegahan peperangan (separatisme, pemberontakan, terorisme, pengamanan presiden, pengamanan perbatasan di pulau terluar) dan penyelesaian konflik, OMSP juga berfokus pada tugas pembantuan bersama pemerintah dan pemerintah daerah (sesuai kebutuhan dan permintaan lembaga terkait).

Oleh karena itu, sejak Reformasi, pengaturan OMSP ini didefinisikan batasannya dalam UU TNI agar “dwifungsi” sebagaimana yang dikhawatirkan tidak terjadi. Pos-pos kementerian yang diisi jabatannya oleh prajurit TNI adalah pos-pos kementerian yang berkaitan langsung dengan pertahanan negara atau penegakan hukum untuk prajurit TNI itu sendiri. Pengisian ini tidak lain bertujuan untuk meningkatkan efektivitas operasi dan pengawasan militer.

Dalam UU TNI, terdapat 14 kementerian/lembaga negara yang dapat diduduki oleh prajurit TNI aktif, semuanya berkaitan dengan pertahanan atau penegakan hukum untuk TNI itu sendiri, seperti Kementerian Pertahanan, Badan Intelijen Negara (BIN), Badan Sandi dan Siber Negara (BSSN), Sekretariat Kepresidenan (pengamanan presiden), dan Kejaksaan Agung bidang Tindak Pidana Militer. Ke-14 K/L tersebut sejak lama telah diisi oleh prajurit TNI dan tidak ada masalah dengan itu. Sementara di luar 14 K/L tersebut, jika ada jabatan yang diisi oleh prajurit TNI, maka yang bersangkutan harus mengundurkan diri dari dinas militer.

Data yang dirilis Markas Besar TNI menunjukkan bahwa ada 4.472 prajurit TNI aktif yang tersebar di 14 K/L sebagaimana yang dimaksud UU TNI. Jika dilihat persebarannya, memanglah lembaga-lembaga tersebut merupakan domain utama dari fungsi TNI itu sendiri, misalnya Kementerian Pertahanan (2.534 prajurit) dimana TNI adalah lembaga di bawah kementerian tersebut, kemudian Badan Intelijen Negara (656 prajurit) yang merupakan bagian dari tugas pertahanan untuk mengantisipasi ancaman, tantangan, hambatan dan gangguan (ATHG), dan Mahkamah Agung (524 prajurit), yaitu orang-orang yang mengurusi peradilan militer di bawah MA.

Artinya, penempatan personel yang ada masih dalam koridor dan proporsional, terutama dalam konteks OMSP, dibutuhkan koordinasi lintas lembaga dan lintas sektor untuk pencegahan terjadinya peperangan, peningkatan pertahanan negara dan penegakan hukum untuk prajurit TNI itu sendiri.

OMSP semakin efektif dilakukan dengan menempatkan prajurit TNI sesuai kapasitasnya pada lembaga-lembaga terkait, misalnya penempatan prajurit TNI di Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), di Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) atau di BIN akan meningkatkan efektivitas OMSP dalam penanggulangan bencana, penanggulangan terorisme dan pengumpulan informasi intelijen.

Masalahnya, OMSP memperluas interaksi dengan lembaga-lembaga sipil, sehingga membuka ruang interaksi politik yang tinggi antara militer dengan sipil. Hal inilah yang perlu diatur secara lebih spesifik. Jika pengisian jabatan di 14 K/L tersebut bertujuan untuk memperkuat koordinasi dalam memperkuat pertahanan dan menjaga perdamaian, maka ada batasan-batasan untuk mereka yang bertugas agar tidak diartikan sebagai tindakan politis untuk mengembalikan Dwi Fungsi TNI.

Oleh karena itu, TNI perlu mengembangkan doktrin OMSP yang dibahas secara terbuka dengan tujuan untuk menghilangkan kekhawatiran dari kelompok sipil bahwa TNI ingin berpolitik kembali.

Pada akhirnya, kekuatan militer dan sipil diharapkan saling mengisi satu sama lain, tidak saling menegasikan. Dengan menyatukan kekuatan dari berbagai sisi, membangun sinergi dengan seluruh komponen bangsa, diharapkan mampu menghantarkan kita untuk mengolah potensi unggulan nasional guna membangun kekuatan nasional yang kuat dan tangguh demi mewujudkan Indonesia Emas 2045.

*) Ngasiman Djoyonegoro adalah analis intelijen, pertahanan dan keamanan (ANT/LE)

Pos terkait