Darurat Kekerasan Seksual Anak, Urgensi Sinergi dan Edukasi Seks Dini

Kopri PB PMII turut serta dalam peringatan 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (HAKTP) di Bundaran HI, Jakarta, Minggu (8/12/2024). (ANTARA/HO-KOPRI PB PMII)

Jakarta, 25/12 (ANTARA/LE) – Kekerasan seksual terhadap anak di lingkungan pendidikan yang masih terjadi selama 2024 mengundang keprihatinan.

Kasus demi kasus yang terungkap sepanjang tahun 2024 menunjukkan betapa lingkungan yang seharusnya menjadi tempat aman dan nyaman bagi tumbuh kembang anak justru kerap menjadi tempat terjadinya pelanggaran hak asasi anak.

Bacaan Lainnya

Salah satu kasus kekerasan terhadap anak yang menjadi perhatian publik adalah pada Januari 2024, sedikitnya 24 siswi sekolah dasar menjadi korban pencabulan oknum guru agama di Bengkulu Utara, Provinsi Bengkulu.

Pencabulan tersebut dilakukan pelaku terhadap para korban sejak Desember 2023 hingga Januari 2024 saat pelajaran agama di kelas dan saat kegiatan perkemahan.

Sementara di Kota Pekanbaru, Riau, terjadi kekerasan seksual yang dilakukan oleh anak Taman Kanak-kanak (TK) berusia lima tahun kepada teman sekelasnya.

Peristiwa diduga terjadi pada Oktober 2023 dan baru diketahui pada awal November 2023.

Kemudian pada Juli 2024, terkuak pernikahan siri antara seorang santriwati berusia 16 tahun dengan ME, pengasuh pondok pesantren  di Kabupaten Lumajang, Jawa Timur.

Pernikahan siri antara santriwati dengan pengasuh pondok pesantren tersebut dilakukan pada 15 Agustus 2023. Sementara orang tua korban anak tidak mengetahui terjadinya pernikahan siri pada anaknya.

ME ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus tersebut, sementara korban anak kembali ke keluarganya.

Lalu pada bulan September, terjadi pencabulan dan pemerkosaan yang dilakukan oleh kepala sekolah berinisial J (41) terhadap anak perempuan berinisial T (13) yang duduk di bangku sekolah dasar (SD) di Kabupaten Sumenep, Jawa Timur.

Mirisnya, E (41) selaku ibu korban yang mengantarkan anaknya ke rumah J.

E tega membiarkan anaknya diperkosa karena diiming-iming oleh J dengan sejumlah uang dan satu unit sepeda motor.

Sementara pada Oktober, video kekerasan seksual yang melibatkan guru dan murid di Kabupaten Gorontalo, beredar di media sosial.

Dalam kasus tersebut, seorang siswi menjadi korban kekerasan seksual yang dilakukan oleh gurunya berinisial DH (57).

Pelaku DH diduga mendekati korban sejak 2022.

 

Fenomena gunung es

Serentetan kasus kekerasan seksual terhadap anak di sekolah menjadi bukti belum amannya lingkungan pendidikan bagi tumbuh kembang anak.

Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak mencatat bahwa data kasus kekerasan terhadap anak mengalami peningkatan selama lima tahun terakhir.

Untuk kasus kekerasan seksual pada 2019 ada 6.454 kasus, dan pada 2023 mencapai 10.932 kasus.

Kemudian kasus kekerasan psikis pada 2019 ada 2.527 kasus, dan pada 2023 tercatat ada 4.511 kasus.

Kekerasan fisik pada 2019 ada 3.401 kasus, dan pada 2023 mencapai 4.410 kasus.

Kekerasan berupa eksploitasi pada 2019 ada 106 kasus, dan pada 2023 menjadi 260 kasus.

Tindak pidana perdagangan orang (TPPO) pada 2019 ada 111 kasus, dan pada 2023 ada 206 kasus.

Sementara penelantaran pada 2019 ada 850 kasus, pada 2023 ada 1.332 kasus.

“Sisi positifnya adalah bahwa dengan angka-angka ini artinya ada kesadaran dari masyarakat untuk berani melapor, dari yang tidak mau lapor menjadi mau lapor,” kata Deputi Bidang Perlindungan Khusus Anak KemenPPPA, Nahar.

Kasus kekerasan terhadap anak merupakan fenomena gunung es. Jumlah kasus yang terungkap hanya secuil jika dibandingkan dengan kasus yang tidak dilaporkan.

“Itu angkanya kalau dari total prevalensi kekerasan di seluruh Indonesia itu tidak sampai 2 persen-nya. Artinya ada sekian persen yang mungkin belum terlaporkan. Ini kan fenomena gunung es,” kata Nahar.

Program Sekolah Ramah Anak (SRA) serta aktivasi Tim Pencegahan dan Penanganan Kekerasan (TPPK) dan Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan (Satgas PPK) penting dilakukan sebagai upaya pencegahan kekerasan di sekolah.

Upaya ini selaras dengan Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 46 Tahun 2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan.

Seluruh pihak harus meningkatkan pengawasan dan memberikan pengasuhan yang layak bagi anak untuk mencegah terjadinya kasus kekerasan seksual terhadap anak di kemudian hari.

Orang tua memegang peranan yang besar dalam proses pengasuhan dan pemberian edukasi seks pada anak sejak dini.

Selain itu, penting untuk meningkatkan pemahaman anak terkait hal-hal yang tidak boleh dilakukan, khususnya dalam konteks kekerasan seksual.

Tak hanya orang tua dan keluarga, pendidik, hingga masyarakat juga harus meningkatkan pengawasan terhadap anak atas perilaku-perilaku yang berisiko.

 

Darurat kekerasan seksual

Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Arifah Fauzi mengatakan bahwa Indonesia saat ini dalam kondisi darurat kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak.

“Kita menyatakan darurat kekerasan seksual untuk perempuan dan anak,” kata Arifah Fauzi.

Menurut dia, pola pengasuhan yang salah menjadi penyebab maraknya kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di Indonesia.

Kemudian, penyebab lainnya adalah pengaruh media sosial.

Dalam menghadapi isu kekerasan terhadap perempuan dan anak, KemenPPPA berkolaborasi dengan kementerian/lembaga lain menghadirkan Ruang Bersama Indonesia.

Ada enam desa menjadi proyek percontohan Ruang Bersama Indonesia, yang diresmikan pada puncak peringatan Hari Ibu ke-96, 22 Desember 2024.

Kehadiran Ruang Bersama Indonesia diharapkan dapat menjadi sarana untuk menanamkan nilai-nilai Pancasila dan membentuk karakter anak-anak.

Ruang Bersama Indonesia akan menjadi ruang edukasi yang memperkenalkan kembali permainan tradisional, cerita sejarah, dan nilai-nilai kearifan lokal, untuk mengalihkan fokus anak agar tidak lagi berkutat pada gawai.

Sementara Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) juga menekankan perlunya semua pihak mengambil peran dalam upaya pencegahan kekerasan seksual terhadap anak.

Anggota KPAI Dian Sasmita mengatakan pemerintah pusat, pemda, hingga pemerintah desa, sektor swasta, serta akademisi memiliki peran dalam meminimalisasi terjadinya kekerasan seksual pada anak, termasuk mengedukasi masyarakat mengenai ancaman kekerasan seksual yang bisa mengintai anak.

Kasus tindak pidana kekerasan seksual tidak dapat dihentikan, namun dapat diminimalisasi dengan berbagai upaya.

“Pemerintah sudah ada Perpres Nomor 101 Tahun 2022 tentang Strategi Nasional Penghapusan Kekerasan Terhadap Anak. Optimalisasi pelaksanaan strategi-strategi PKTA (Penghapusan Kekerasan Terhadap Anak) ini sangat penting,” kata Dian Sasmita.

Kekerasan seksual terhadap anak adalah persoalan kompleks yang memerlukan sinergi dan kolaborasi berbagai pihak untuk mengatasinya.

Pemerintah, masyarakat, pendidik, dan keluarga memiliki peran krusial dalam menciptakan lingkungan yang aman bagi anak-anak.

Implementasi kebijakan seperti Program Sekolah Ramah Anak, Strategi Penghapusan Kekerasan Terhadap Anak, Ruang Bersama Indonesia, serta edukasi seks sejak dini, harus diprioritaskan untuk meminimalkan risiko kekerasan.

Dengan komitmen bersama, Indonesia diharapkan dapat keluar dari kondisi darurat kekerasan seksual, menciptakan ruang yang lebih aman bagi anak-anak, dan memastikan hak-hak mereka terjaga menuju Indonesia Emas 2045. (ANT/LE)

Pos terkait