Bertemu Baleg DPR RI, Gubernur Koster: UU Yang Memayungi Bali Sudah Tak Relevan Lagi

Jakarta, LenteraEsai.id – Guna mempercepat terwujudnya Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Provinsi Bali menjadi Undang-Undang (UU), Gubernur Bali Wayan Koster mendatangi Badan Legislasi (Baleg) DPR RI di Jakarta, Jumat (7/2).

Sebelumnya, Gubernur bersama rombongan dari berbagai lintas disiplin dan institusi di Bali, tercatat telah menemui petinggi di Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) dan Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham), juga DPR RI dan DPD RI di Jakarta.

Bacaan Lainnya

Kunjungan secara maraton pada Desember 2019 lalu itu, berhasil mengatongi rekomendasi dan dukungan agar RUU secepatnya dapat diundangkan dari Mendagri Tito Karnavian, Menkumham Yasona Laoly, serta dari DPD RI dan Komisi II DPR RI.

Pada pertemuan kali ini yang berlangsung di Gedung Nusantara I DPR RI di Senayan, Gubernur Koster bersama rombongan yang terdiri atas bupati/wakil bupati se-Bali, pimpinan DPRD Provinsi, ketua DPRD kabupaten/kota, tokoh politik, para rektor, para ketua organisasi umat lintas agama dan tokoh adat, diterima oleh Ketua Baleg DPR Supratman Andi Agtas, didampingi Putra Nababan, Arif Wibowo dan Kariasa Adnyana.

Dalam pemaparannya, Gubernur Koster menyebutkan sejumlah alasan mendasar terkait pengajuan RUU Provinsi Bali. Salah satunya yang termasuk fundamental ialah bahwa Bali sejaun ini dibentuk oleh Undang-Undang No.64 Tahun 1958 tentang Pembentukan Daerah-daerah Tingkat I Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur, yang masih didasarkan atas Undang-Undang Dasar Sementara Tahun 1950 (UUDS 1950), di mana negara ketika itu masih berbentuk Republik Indonesia Serikat (RIS).

Padahal saat ini, kata Gubernur, Indonesia kembali menggunakan UUD 1945 dengan bentuk negara yakni Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Dengan kata lain, Indonesia tidak lagi merupakan negara federal seperti halnya yang berlaku berdasarkan konstitusi RIS.

“Jadi (UU No 64 Tahun 1958, red) sudah tidak relevan lagi. Saat itu (RIS, red), misalnya namanya masih Sunda Kecil dan ibukotanya di Singaraja. Dan ibu kota Provinsi Bali sekarang adalah Denpasar,” ujarnya, menjelaskan.

Mengingat itu, kata Gubernur Koster, UU No.64 Tahun 1958 jelas-jelas sudah tidak sesuai lagi dengan UUD 1945 dan NKRI. Celakanya, mau tidak mau, sejumlah produk hukum daerah seperti Peraturan Daerah dan Peraturan Gubernur, konsiderannya masih harus mengacu pada UU No.64 Tahun 1958, karena belum ada undang-undang yang menggantikannya.

Dilihat dari sejarah dan latar belakang pembentukannya, sesungguhnya UU No.64 Tahun 1958 sudah tidak dapat diberlakukan lagi.

“Itu pertimbangan utama, dan karena Undang-Undang No.64 nyatanya masih berlaku, telah membuat setiap produk hukum di daerah Bali masih harus menggunakan dasar hukum Undang-Undang Nomor 64 Tahun 1958, yang secara substansi tidak bisa dilakukan sebagai rujukan, sehingga tidak sesuai dengan hukum tata negara,” katanya, menandaskan.

Selain itu, menurutnya UU Nomor 64 Tahun 1958 sudah tidak mampu lagi mengakomodir kebutuhan perkembangan zaman dalam pembangunan daerah Bali.

Kepada para wakil rakyat Gubernur Koster menjelaskan bahwa RUU Provinsi Bali sama sekali tidak dimaksudkan untuk membentuk daerah otonomi khusus. Justru, lanjut dia, akan memperkuat otonomi di tingkat kabupaten/kota sesuai dengan UU Nomer 32 Tahun 2004 tentang Otonomi Daerah.

“Otonomi tetap di tingkat kabupaten/kota, dan melalui RUU Provinsi Bali kami harapkan justru ketimpangan kabupaten/kota di Bali segera dapat teratasi,” ujar Gubernur yang juga Ketua DPD PDI Perjuangan Bali.

Gubernut kembali menjelaskan, UU Nomor 64 Tahun 1958 sudah tidak sesuai dengan perkembangan ketatanegaraan serta perkembangan politik, ekonomi, sosial-budaya, potensi daerah, kemajuan teknologi, informasi dan komunikasi, dalam rangka menciptakan otonomi daerah yang berdaya saing. Mengingat itu, mendesak perlu disesuaikan.

Pelaksanaan pembangunan dan penyelenggaraan pemerintahan daerah Provinsi Bali, selama ini belum sepenuhnya menjamin pelestarian adat istiadat, tradisi, seni dan budaya, serta kearifan lokal sebagai jati diri masyarakat Bali, serta belum mampu mencegah dampak negatif terhadap lingkungan sebagai akibat pemanfaatan ruang yang tidak terkendali.

Selain itu juga telah menimbulkan terjadinya ketimpangan perekonomian antarwilayah di Provinsi Bali, dan ketidakseimbangan pembangunan antarsektor, sehingga menyulitkan terwujudnya kesejahteraan masyarakat Bali secara adil dan merata, kata Gubernur menegaskan.

Gubernur Koster menjabarkan, materi dan sistematika RUU Provinsi Bali terdiri atas 12 Bab dan 39 Pasal, yaitu Bab I Ketentuan Umum; Bab II Asas Dan Tujuan; Bab III Posisi, Batas dan Pembagian Wilayah; Bab IV Pola dan Haluan Pembangunan Bali; Bab V Pendekatan Pembangunan Bali; Bab VI Bidang Prioritas Pembangunan Bali; Bab VII Pembangunan Bali Secara Tematik; Bab VIII Pembangunan Perekonomian Dan Industri; Bab IX Kewenangan Pemerintahan Provinsi Bali; Bab X Pedoman Penyusunan Dokumen Perencanaan Pembangunan Bali; Bab XI Pendanaan, dan Bab XII Ketentuan Penutup.

Sementara itu, Wakil Ketua Komisi II DPR RI Arif Wibowo bahkan menyebutkan bahwa sebetulnya saat ini ada sekitar 9 provinsi dan 40 kabupaten/kota yang bernasib sama dengan Bali. Yakni pembentukan daerahnya masih menggunakan dasar-dasar konstitusi UUDS 1950 dengan bentuk negara RIS, yang seharusnya kini mengacu pada dasar-dasar konstitusi UUD 1945 dengan bentuk NKRI.

“Jadi Komisi II (DPR) melihat memang harus ada penyesuaian konstitusi kepada daerah-daerah yang pembentukannya masih mengacu pada Undang-Undang Sementara 1950, termasuk Bali. Dan Komisi II DPR RI mempunyai komitmen serius untuk hal itu,” ujarnya.

Sedangkangkan terkait proses RUU Provinsi Bali, menurutnya telah masuk dalam agenda Program Legislasi Nasional (Prolegnas) dengan nomor urut 1962 yang meski tidak masuk dalam agenda prioritas tahun 2020, namun masuk dalam daftar Komulatif Terbuka Komisi II DPR RI. Yang pembahasannya berpeluang bisa dilakukan pada tahun 2020 ini.

“Jadi Komulatif Terbuka itu, meski tidak masuk dalam Prolegnas tapi sewaktu-waktu bisa dibahas. Artinya, misalnya apabila RUU porioitas Komisi II yaitu RUU tentang Pemilu dan RUU Pertahanan yang pembahasannya kurang delapan subtansi lagi, bisa diselesaikan di tahun ini, maka RUU Provinsi Bali bisa segera diajukan pembahasannya,” kata Arif.

Pada kesempatan yang sama, Ketua Baleg DPR Supratman Andi Agtas menjelaskan bahwa saat ini terdapat perbedaan model pembahasan RUU dibanding sebelumnya. “Kalau dulu, kita hanya bisa mengubah Prolegnas sekali dalam setahun. Tapi kalau sekarang kita bisa ubah Prolegnas setiap saat. Kalau kita putuskan ini bisa masuk dalam Prolegnas dan masuk dalam Daftar Komulatif terbuka, tidak masalah. Tetapi kalaupun tidak, InsyaAllah saya sampaikan kepada Bapak Ibu sekalian bahwa di Baleg sudah berkomitmen untuk menyelesaikannya,” ujar Andi.

Sebelum bertemu Baleg DPR RI pada siang itu, Gubernur Koster terlebih dahulu bertemu dengan pihak Badan Pengkajian DPR RI, di Ruang Rapat Badan Keahlian DPR RI Gedung Sekretariat Jenderal, Lantai 7, Kompleks MPR/DPR/DPD Senayan, Jakarta. (LE-JK)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *