Wamena, 06/7 (ANTARA/LE) – Mama Tabuni, perempuan asal Kabupaten Tolikara, Papua Pegunungan, berjalan dengan menaruh noken (tas tradisional Papua) yang talinya ditautkan di kepala sebagai penahan.
Aktivitas harian itu dilakukan berulang kali di halaman tempat tinggalnya, saat ini, di Jalan Safri Darwin, Distrik Wamena Kota, Kabupaten Jayawijaya, Papua Pegunungan.
Terkadang aktivitas yang sama dilakukan oleh anak-anaknya, baik yang masih berusia di bawah 10 tahun maupun usia remaja.
Mungkin sebagian orang menganggapnya sebagai aktivitas biasa, padahal yang dilakukan adalah aktivitas “membujuk” seorang balita agar nyaman, yang ditaruh di dalam noken.
Aktivitas ini, dalam bahasa Suku Dani dikenal sebagai “Su Elege Aleka” atau menggendong anak atau balita di dalam noken. Dalam pengertian yang lebih dalam, “su” artinya noken, “elege” artinya anak, dan “aleka” tempat balita atau tempat mengisi, menggendong balita.
“Su Elege Aleka” merupakan warisan budaya masa lalu yang telah diwariskan oleh nenek moyang bagi masyarakat Papua Pegunungan, yang lestari, hingga saat ini.
Budaya atau kebiasaan ini masih dipraktikkan oleh masyarakat Papua Pegunungan pada umumnya di delapan kabupaten, di antaranya Jayawijaya, Lanny Jaya, Tolikara, Nduga, Yahukimo, Mamberamo Tengah, Pegunungan Bintang dan Kabupaten Yalimo.
Seorang perempuan asal Papua Pegunungan memiliki tanggung jawab ganda, baik sebagai seorang mama dari anak-anaknya, istri, dan juga menjadi tulang punggung keluarga.
Dalam filosofi masyarakat Papua pada umumnya, setelah maskawin dibayarkan secara tuntas pada saat pernikahan, maka tugas perempuan bukan hanya melahirkan dan membesarkan anak, tetapi sekaligus mengurus semua kebutuhan keluarga, dari dalam, hingga keluar rumah.
Dalam sektor pertanian atau perkebunan, contohnya, kaum pria biasanya bertugas membongkar hutan dan membuat lahan pertanian. Selanjutnya dilanjutkan dengan tugas menanam, merawat, hingga waktunya panen.
Oleh sebab itu, dalam tradisi tersebut perempuan dituntut untuk menjadi kuat, sehingga dua atau tiga pekerjaan dilakukan dalam satu waktu.
Ketika seorang perempuan Papua Pegunungan bertugas menyusui anak, usai melahirkan, pada saat yang sama juga harus mengurus pertanian yang lahannya sudah digarap oleh kaum pria.
Aktivitas pertanian tetap berjalan seperti biasa dan merawat bayi pun berjalan di waktu yang sama. Oleh karena itu tradisi Su Elege Aleka diterapkan dalam satu waktu, sehingga pekerjaan itu tidak menjadi penghalang antara satu dengan yang lain.
“Budaya ini telah ada sejak lama dan diwariskan oleh orang tua kami, hingga saat ini,” kata pemerhati budaya dan noken Papua Pegunungan Maria K Logo ketika ditemui ANTARA.
Era modern
Zaman yang semakin maju dan berkembang, seperti saat ini, dan banyak sekali alat yang ditawarkan serta digunakan untuk merawat bayi atau menggendong bayi, tetapi perempuan Papua Pegunungan tetap teguh merawat tradisi Su Elege Aleka.
Tradisi ini tidak hanya melekat pada perempuan Papua Pegunungan di kampung-kampung, tetapi di wilayah perkotaan pun masih kerap dijumpai.
Noken yang mereka gunakan itu tidak hanya satu, tetapi ada dua, dengan ukuran yang sama dijadikan satu untuk keseimbangan anak di dalamnya serta ada lapisan yang menjadi alas di dalam noken, yaitu wangkika dan yabe.
Dalam bahasa Dani, wangkika artinya daun pisang dan yabe itu sejenis daun yang digunakan masyarakat Papua Pegunungan, sejak zaman dulu, untuk alas balita di dalam noken, yang berfungsi memberikan keseimbangan rasa antara hangat dan dingin serta mengharumkan.
Kalau sekarang daun-daun itu tidak mudah ditemukan di alam, biasanya mereka menggunakan kain untuk menjadi alas di dalam noken. Karena noken itu hangat, maka dibutuhkan alas daun yang memberikan sensasi rasa dingin dan harum bagi bayi.
Budaya ini masih dipegang teguh oleh perempuan Papua Pegunungan untuk mencegah anak-anak mereka dari bahaya dan cuaca ekstrem. Meskipun udara di Papua Pegunungan bisa mencapai 9-15 derajat Celcius, di waktu-waktu tertentu, tetapi balita yang berada di dalam noken tetap hangat.
Karena budaya noken, secara alamiah, anak-anak Papua Pegunungan masih kental dengan warisan budaya leluhur karena telah diperkenalkan oleh orang tua atau keluarga sejak lahir, lewat buaian noken.
Balita akan berada di dalam noken, saat orang tua mereka bekerja. Kondisi itu dialami bayi, mulai usia satu pekan atau sebelum pemberian nama, hingga satu tahun, bahkan lebih. Ketika anak mereka sudah bisa berjalan atau beraktivitas, maka alat Su Elege Aleka sudah tidak digunakan lagi.
Noken yang digunakan untuk menaruh bayi itu, sejak zaman dulu dibuat dengan bahan baku alami dari serat kayu.
Dalam tradisi masyarakat Papua Pegunungan terdapat sembilan jenis tanaman yang bisa digunakan untuk menjadi bahan baku pembuatan berbagai jenis noken, di antaranya Su Elege Aleka.
Sembilan jenis tanaman yang digunakan untuk membuat noken asli itu, di antaranya digi, honawun, ilak-ilak, yakik, lisani, yawi, win, aberek, dan isiwar.
Biasanya pasangan muda yang baru menikah, sebelum ada momongan, mereka menyiapkan noken khusus untuk menaruh bayi di dalamnya. Proses pembuatan noken khusus itu berlangsung dua hingga tiga pekan, bahkan lebih, tergantung kelincahan si pembuat. Kalau sudah mahir, maka bisa diselesaikan dalam waktu dua hingga tiga pekan, sedangkan kalau lambat, bisa satu bulan.
Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Jayawijaya memberikan dukungan dana Rp50 juta untuk kelompok Suara Hati Ibu menanam pohon yang seratnya menjadi bahan dasar pembuatan noken di Distrik Kurulu, Kabupaten Jayawijaya.
Bantuan itu merupakan wujud nyata upaya Pemkab Jayawiya dalam mendukung kelestarian noken sebagai simbol dan identitas masyarakat Papua Pegunungan yang mendiami Lembah Baliem.
Dari bantuan pemkab itu, masyarakat di Distrik Karulu, Kabupaten Jayawijaya, sudah menanam 1.500 pohon. Jenis tumbuhan ini memang tidak mudah berkembang, sehingga yang tumbuh hanya 37 pohon dari sembilan jenis tanaman yang menjadi bahan dasar pembuatan noken.
Noken untuk masyarakat Papua Pegunungan merupakan identitas dan jati diri. Noken selalu berada di dalam setiap aktivitas masyarakat Papua Pegunungan sehari-hari, baik di dalam maupun luar rumah.
Berkat semangat memelihara warisan leluhur dan bantuan dari negara lewat pemerintah daerah, masyarakat di Lembah Baliem hingga kini tidak kehilangan budaya agung dan kearifan lokal yang diwariskan secara turun temurun. (ANT/LE)