Mediasi Tanah Serangan, Siti Sapurah Mohon Perlindungan Hak dari Pemerintah

Advokat Siti Sapurah SH selaku ahli waris tanah bersama warga Serangan Nyoman Kemuantara memberikan keterangan pers di Kantor BPN Kota Denpasar, Jumat (20/6/2025) - (Foto: Dok LenteraEsai/Vivi)

Denpasar – Sengketa kepemilikan lahan seluas 99,5 are di Pulau Serangan kembali mencuat ke publik setelah advokat Siti Sapurah SH atau yang akrab disapa Ipung, meminta perlindungan hak masyarakat dari Pemerintah Provinsi Bali dan Pemerintah Kota Denpasar. Permintaan ini disampaikan usai mengikuti mediasi yang digelar di Kantor Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kota Denpasar pada Jumat siang (20/6/2025).

Pada mediasi ini, Ipung didampingi warga Serangan Nyoman Kemuantara, untuk mengajukan permohonan sertifikat atas lahan yang disengketakan. Tanah tersebut berasal dari pipil 105 Klass II Persil 15c seluas 0,995 hektare atau 99,5 are yang sebelumnya milik Daeng Abdul Kadir, ayah kandung Ipung.

Bacaan Lainnya

“Tanah ini adalah warisan keluarga kami, bukan lahan kehutanan. Dalam mediasi, Dinas Kehutanan Kota Denpasar secara tegas menyebutkan bahwa lokasi tanah tersebut tidak termasuk dalam kawasan hutan, bahkan letaknya jauh dari hutan,” jelas Ipung kepada awak media.

Ipung juga menyoroti sikap PT Bali Turtle Island Development (BTID) yang menurutnya lepas tangan atas status lahan. Dalam mediasi, pihak BTID menyatakan bahwa tanah tersebut telah diserahkan kepada Desa Adat Serangan berdasarkan Nota Perjanjian Pelepasan Hak Nomor 12 tertanggal 22 Februari 2019.

“BTID berlindung di balik perjanjian itu dan menyatakan tidak akan bertanggung jawab bila muncul persoalan hukum di kemudian hari. Padahal, kami memiliki bukti kepemilikan sah dari almarhum ayah saya. Karena itu, saya meminta pemerintah memberikan perlindungan hak kepemilikan kepada kami sebagai warga negara,” tegas Ipung.

Ipung juga berharap BPN Kota Denpasar dapat bersikap objektif dan berpegang pada dokumen serta fakta hukum yang disampaikan dalam pertemuan.

“Jangan terpancing oleh opini atau wacana yang berkembang di luar. Pegang saja pada bukti yang ada,” tambahnya.

Sementara itu, Nyoman Kemuantara yang turut hadir dalam mediasi menilai pertemuan tersebut sudah mengarah pada kejelasan status tanah. Ia menyatakan bahwa tidak ada lagi alasan untuk menganggap tanah tersebut sebagai lahan kehutanan.

“Dinas Kehutanan bilang bukan lahan hutan. Meski sebelumnya BTID yang sudah melepaskan tanah itu ke Desa Adat Serangan dengan embel-embel info dikatakan tanah itu sebelumnya lahan hutan, tapi kan sudah dibantah Dinas Kehutanan. Jadi secara logika, tanah itu adalah milik warga. Apalagi kami punya pipil sebagai bukti kepemilikan,” ujar Kemuantara.

Pada mediasi ini, hadir Kepala Seksi (Kasi) Penetapan Hak dan Pendaftaran Kantah Kota Denpasar I Wayan Sukarja, ahli waris tanah Siti Sapurah atau Mbak Ipung beserta pemohon SHM Nyoman Kemuantara, Lurah Serangan Ni Wayan Sukanami, Mantan Jro Bendesa Adat Serangan I Made Sedana, dan konsultan hukum PT BTID. Sementara itu, Jro Bendesa Desa Adat Serangan I Nyoman Gede Pariatha tidak hadir, tanpa memberikan konfirmasi.

Meski mediasi belum menghasilkan keputusan akhir, pernyataan dari pihak-pihak terkait dinilai sebagai titik terang dalam penyelesaian sengketa tanah ini. Kini, Ipung menunggu langkah tegas dari BPN dan pemerintah setempat untuk memberikan keadilan dan kepastian hukum atas hak atas tanah yang mereka klaim sebagai milik sah keluarga. (LE-Vivi)

Pos terkait