Oga, Pelestari Pohon Kenari Purba di Alor Timur Laut

Daniel alias Om Oga, pembudidaya pohon kenari, duduk bersandar di akar pohon kenari purba di Nailang, Alor Timur Laut, Kabupaten Alor, Nusa Tenggara Timur. (ANTARA/M Riezko Bima Elko Prasetyo)

Jakarta, 16/6 (ANTARA/LE) – Pada pagi yang cerah, Daniel menyusuri hutan di lembah perbukitan Nailang, Alor Timur Laut, Kabupaten Alor, Nusa Tenggara Timur bersama istrinya, Norce. Mereka cuma bermodal tas anyaman bambu di tangan.

Langkah mereka tergesa-gesa  dan hanya berbicara melalui pandangan mata yang sepanjang perjalanan fokus mengamati sela akar pohon-pohon kenari raksasa di hutan bervegetasi rapat itu. Mereka memanen buah kenari yang jatuh berserakan ke tanah.

Bacaan Lainnya

Meski perawakannya sangar tapi Daniel bukanlah orang yang sinistis. Dia periang, lucu, dan sangat ramah kepada pendatang. Kepada ANTARA, pria berusia 53 tahun itu mengenalkan dirinya sebagai “Om Oga” atau akronim dari orang ganteng.

Oga adalah nama panggilan kesayangan yang diberikan oleh warga setempat kepada Daniel. Dia dinilai sebagai orang Nailang yang keren, karena banyak berteman dengan orang pintar dari dalam maupun luar negeri atas dedikasinya membudidayakan pohon kenari.

Dia sosok yang berpengaruh untuk menjadikan kenari Alor (Canarium sp.) bukan lagi sekadar tanaman hutan, melainkan menjadi sumber penghidupan khususnya bagi masyarakat adat Alor Timur Laut.

Om Oga sudah akrab dengan kenari sejak keluarganya pindah ke perbukitan Nailang pada akhir 1947. Ayahnya, seorang petani sederhana, yang mengenalkan buah hutan itu saat ia masih berusia tujuh tahun.

Konon pohon kenari yang tumbuh subur di Alor Timur Laut bermula saat seorang bernama Langtang Mautang menanam dua pohon pertama sekitar tahun 875 masehi. Satu kenari jantan, satu betina, begitu warga menyebutnya. Pohon itu tumbuh di pegunungan dan menyebar lewat banjir dan burung-burung.

Masyarakat Nailang percaya keturunan Langtang Mautang sampai hari ini masih tinggal menempati wilayah Pulau Ternate Alor.

Berbeda dengan kemiri dan jagung, buah kenari kala itu belum punya nilai jual karena masih dipakai masyarakat setempat sebagai bahan makanan pengganti.

Mereka mulai menggunakan buah kenari sebagai alat tukar dengan sistem barter, seiring biji dari buah kenari yang mulai diminati masyarakat pada tahun 1990-an.

Perpindahan masyatakat dari Jawa dan Sulawesi ke Nusa Tenggara Timur membuat tren kenari terus meningkat. Meski masih belum setenar kemiri dan vanili Alor, tapi orang-orang mulai memberi harga satu kilogram kenari setara dengan Rp1.000 untuk dipasarkan ke ibu kota provinsi, Kupang.

Om Oga menjadi salah satu petani yang melewati fase tersebut dengan sabarnya, hingga bisa merasakan nikmatnya bertani kenari seperti saat ini. Harga kenari di tingkat petani sekarang sudah berkisar Rp35.000 hingga Rp45.000 per kilogram.

“Yang dijual adalah kacangnya atau biji dari buah kenari itu. Kami sudah ada pengepul sendiri dengan harga yang bagus,” kata Om Oga. Biji buah kenari itu diproses lebih lanjut di tingkat produsen, umumnya diolah menjadi produk makanan ringan seperti keripik dan kue ataupun bumbu masakan.

Penghasilan dari menjual kenari sangat mencukupi kebutuhan hidup mereka, bahkan ia bisa menjamin semua biaya pendidikan enam orang anaknya. Keluarga petani ini mampu menikahkan dua anak tertuanya, satu kuliah, satu akan masuk SMA, dan yang bungsu masih duduk di bangku SD.

“Syukurnya anak-anak bisa hidup lebih baik sekarang,” kata dia sembari memperlihatkan wadah anyaman bambu yang penuh buah kenari berkulit hitam gelap.

 

Ancaman dan harapan di hutan kenari

Wilayah hutan tempat Daniel memungut buah kenari ini dulunya merupakan bagian dari kawasan konservasi.

Namun pada 2023, pemerintah melakukan pemetaan ulang. Sekitar 10 hektare hutan di kampungnya Daniel kini telah dilepaskan dari status konservasi, dan sedang dalam proses pengurusan menjadi kawasan perhutanan sosial.

Upaya ini dijalankan melalui kerja sama Asosiasi Petani Kenari Alor, Yayasan WVI dengan Pemerintah Kabupaten Alor dan Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Nusa Tenggara Timur.

Meski begitu, tantangan tak serta-merta hilang. Penebangan pohon kenari secara ilegal menjadi ancaman serius.

Belum ada peraturan daerah yang melindungi pohon-pohon kenari dari eksploitasi. Beberapa warga bahkan menebangnya secara serius menggunakan gergaji mesin untuk dijual menjadi kepingan papan, bahan dasar bangunan rumah panggung dan perabot rumah tangga.

“Saya berharap ada regulasi tegas dari pemerintah daerah. Saya marah, tapi saya tidak bisa berbuat banyak walaupun sekarang saya Ketua Asosiasi Kenari Alor,” kata Oga yang seketika duduk bersandar di akar pohon kenari yang menutupi badannya itu sambil mengernyitkan dahi.

Dulu, kenari dianggap liar dan tak layak dibudidayakan. Kini, setelah terbukti bernilai ekonomi dan ekologis, warga mulai ramai-ramai menanam dan mengumpulkan kenari. Di delapan desa sekitar Alor Timur Laut, lebih dari 500 orang kini menggantungkan penghidupan pada kenari.

Oga tidak lagi sekadar pengumpul, tetapi juga pembibit, pendidik komunitas, dan penjaga hutan adat. Ia aktif menyosialisasikan pentingnya pelestarian kenari, sekaligus memperjuangkan hak atas lahan yang selama ini berstatus milik negara.

“Saat ini kami masih menumpang tinggal di atas tanah negara. Kami berharap pemerintah bisa memberikan hak tinggal dan sertifikat kepada warga yang sudah lama hidup dan menjaga hutan ini,” ujarnya.

Dari pengalaman itulah Oga pada 2016 memutuskan untuk serius membudidayakan kenari. Dia memanfaatkan kebun adat keluarganya di pegunungan kampung Leimang, sekitar 40 kilometer dari Nailang, desa tua tempat nenek moyangnya dulu bermukim.

Dia bersama dengan istrinya membuktikan bahwa dengan perawatan dan teknik budi daya yang tepat, kenari bisa berbuah dalam tujuh tahun setelahnya. Awalnya, masyarakat percaya pohon kenari baru bisa berbuah setelah 20 tahun.

Kini, 300 dari 600 pohon kenari yang ia tanam telah berbuah. Dalam sekali panen, Oga dan istrinya bisa memperoleh 30–40 kilogram yang dijual ke pengepul di pasar, dua kali dalam seminggu. Jauh melimpah ketimbang mengandalkan buah kenari hutan, yang rata-rata hanya 4-5 kilogram per pekannya.

Budi daya kenari tantangannya datang dari serangan hama, seperti semut api pada bibit muda. Oga dan mama Norce menyadari bahwa pencahayaan matahari yang cukup dan penyiraman rutin saat musim kemarau (Agustus–Oktober) sangat menentukan tumbuh kembang kenari. Barulah setelah dua tahun, pohon-pohon muda bisa bertahan secara mandiri.

Ia belajar banyak dari hasil pendampingan tim Yayasan Wahana Visi Indonesia (WVI) yang menyediakan polybag, jaring pelindung, alat penyiram, dan edukasi tentang konservasi serta pembibitan bersama Dinas Pertanian dan Perkebunan Kabupaten Alor.

 

Intervensi pemerintah

Potensi kenari Alor tidak hanya terletak pada volume buahnya, tetapi juga pada kualitasnya.
Hasil uji laboratorium dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menunjukkan bahwa ukuran biji buah kenari dari Alor Timur Laut, dan termasuk dari Pulau Pantar, lebih besar dan kandungan minyaknya lebih baik dibandingkan daerah lain di luar Nusa Tenggara Timur.

Untuk itu bersama mitra pendamping, Om Oga dan komunitasnya tengah mengupayakan pengajuan indikasi geografis kenari Alor agar bisa memperluas pasar domestik – mancanegara.

Apalagi sebaran pohon kenari di Kecamatan Alor Timur Laut masih sangat luas, mencapai 5.375 hektare. Oga percaya, dengan pendekatan sosial dan ekologis, kenari bisa menjadi tulang punggung ekonomi Kabupaten Alor tanpa harus merusak lingkungan.

Dulu, kenari hanyalah buah yang dipungut dari tanah. Kini, buah kenari membawa harapan, jatuh dari pohon-pohon purba, dipungut dengan tangan penuh cinta, dan tumbuh menjadi masa depan sebuah daerah.

“Sekarang kenari bukan hanya milik hutan, tapi milik masa depan kami,” kata Oga sambil menatap langit, ke arah dahan kenari yang menjulang tinggi tempat harapan mereka bergantung.

Pemerintah Kabupaten Alor menunjukkan komitmen nyata untuk mendukung pelestarian kenari sebagai komoditas unggulan daerah.

Bupati Alor Iskandar Lakamau menyatakan bahwa pihaknya tengah mempercepat penyusunan peraturan daerah (perda) bersama DPRD yang mengatur larangan penebangan liar pohon kenari.

“Pohon kenari itu punya kualitas ya, tapi memang harus ada regulasi tegas. Kami sudah menerima banyak masukan dari asosiasi petani, dan regulasi itu sedang kami siapkan,” ujar bupati yang murah senyum ini kepada ANTARA saat ditemui di kompleks perkantoran Pemerintah Kabupaten Alor.

Selain regulasi, pemerintah daerah juga menyiapkan program bantuan bibit unggul dan peralatan pascapanen bagi petani kenari yang tersebar di Alor Timur Laut dan Pulau Pantar.

Program ini diharapkan dapat meningkatkan produktivitas sekaligus menjaga kualitas hasil panen agar memenuhi standar ekspor.

Langkah lainnya adalah menjalin kemitraan dengan eksportir kenari dari Banjarmasin, Jakarta, dan Surabaya. Upaya ini menjadi jembatan agar kenari Alor dapat menembus pasar internasional, diperkuat dengan sertifikasi indikasi geografis dari Kementerian Hukum,

Kini, kenari menjadi komoditas unggulan yang menopang ekonomi daerah, sekaligus bagian dari identitas budaya dan semangat keberlanjutan lingkungan mengingat kenari bukan hanya bahan pangan. Ia bisa diproses menjadi makanan darurat, ditumbuk sebagai pengganti nasi, atau digunakan secara tradisional sebagai minyak untuk mengobati demam dan batuk anak.

Dari tangan-tangan kreatif dan didorong semangat konservasi seperti yang dilakukan Om Oga, kenari bukan sekadar buah, tapi benih masa depan yang tumbuh dari akar pepohonan di Kabupaten Alor, tanah surga dari ujung timur matahari. (ANT/LE)

Pos terkait