K-Wave, Contoh Memajukan Ekonomi Kreatif

Menteri Kebudayaan Fadli Zon (tengah) didampingi Wakil Menteri Kebudayaan Giring Ganesha (kanan) dan pendiri Museum Rekor Indonesia (Muri) Jaya Suprana (kiri) menyaksikan aksi tari payung usai pemecahan rekor Muri Pawai Kebaya Lintas Generasi dengan peserta terbanyak di pelataran Sarinah, Jakarta, Minggu (22/12/2024). ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso/Spt.

Jakarta, 24/12 (ANTARA/LE) – Terhitung 25 kali kata “kreatif” dicantumkan dalam dokumen Asta Cita, delapan misi pemerintahan Prabowo-Gibran. Dari jumlah itu, 10 kali di antaranya disebut “industri kreatif” dan 10 kali pula dimunculkan “ekonomi kreatif”.

Poin  kedua Asta Cita misalnya, berbunyi: memantapkan sistem pertahanan keamanan negara dan mendorong kemandirian bangsa melalui swasembada pangan, energi, air, ekonomi kreatif, ekonomi hijau, dan ekonomi biru.

Bacaan Lainnya

Dari sini terlihat ada keinginan kuat memajukan ekonomi kreatif sebagai bahan bakar pertumbuhan ekonomi 8 persen.

Kementerian Ekonomi Kreatif, dalam lokakarya jurnalis yang diselenggarakan oleh Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI) bersama Korea Foundation, menjabarkan 17 sub-sektor dalam ekonomi kreatif.

Cakupan ekonomi kreatif ini amat luas, antara lain mulai dari kuliner, fesyen, seni pertunjukan, arsitektur, desain interior, desain produk, gim, aplikasi gawai, hingga film, animasi, musik dan fotografi.

Kebudayaan lokal menjadi akar yang melahirkan produk kreatif tersebut. Ciri khas budaya menambah keunikan dan nilai jualnya. Berbarengan dengan menghasilkan keuntungan ekonomi, sektor kreatif juga berarti merawat kebudayaan bangsa.

Sebagian besar dari aspek ekonomi kreatif itu juga berpindah media ke dunia digital, menyesuaikan dengan perkembangan teknologi zaman kini. Potensi cuan yang dihasilkan juga tercatat tak main-main.

Muhammad Neil El Himam, Deputi Ad Interim Bidang Kreativitas Digital dan Teknologi Kementerian Ekonomi Kreatif, mencontohkan perputaran ekonomi di sektor perfilman Tanah Air.

“Film Indonesia di bioskop tengah mendominasi pasar domestik. Ada sebuah aplikasi bernama CinePoint yang menunjukkan data bahwa penjualan di Tanah Air mencapai 150-an juta tiket. Dan sekitar 75-78 juta di antaranya adalah film Indonesia,” kata Neil.

Pertanyaannya sekarang adalah bagaimana caranya agar segala potensi itu tak hanya merajai negeri sendiri, namun juga bisa dikenal oleh masyarakat dunia luar.

 

Cara Korea Selatan

Ketekunan Korea Selatan patut menjadi contoh, bagaimana negara yang merdeka hanya lebih awal dua hari dengan Indonesia itu mampu menyebarkan K-Wave hingga mencapai popularitasnya saat ini.

Bicara popularitas, Indonesia telah menjadi pasar super besar bagi gelombang budaya Korea, mulai dari drama seri, film, musik, bahasa, kuliner, hingga terus merambah ke fesyen, produk kosmetik, dan teknik perawatan kecantikan.

Gangsim Eom, kandidat doktor Universitas Harvard sekaligus peneliti tamu di Universitas Indonesia, menyebut K-Wave memulai debut di panggung Tanah Air pada 2009 lewat konser penyanyi kenamaan Rain dalam Asia Tour in Jakarta.

Satu setengah dekade kemudian, ternyata gelombang penggemar dari masyarakat Indonesia tak terlihat redup sama sekali, malah kian membesar.

“Tahun lalu kita merayakan peringatan 50 tahun hubungan bilateral Indonesia-Korea, dan saat itu salah satu pakar ilmu kebudayaan dari UGM, Dr. Suray Agung Nugroho, berpandangan bahwa K-Wave telah berkembang menjadi K-Tsunami di Indonesia,” kata Eom dalam lokakarya FPCI-Korea Foundation.

Istilah ini tidak berlebihan jika kita melihat besarnya pengaruh fenomena ke-Korea-an. Gelombang budaya Korea telah menjalar ke mana-mana.

Belakangan, tak jarang tokoh dan kampanye politik melibatkan unsur K-Pop, K-Drama untuk menggaet massa. Penggemar K-Pop dan K-Drama juga seringkali menggalang dana sumbangan untuk masyarakat yang dilanda musibah.

Keberhasilan soft-power diplomacy Korea Selatan diganjar dengan nilai fantastis. Badan Perdagangan dan Pembangunan PBB (UNCTAD) menyebut sektor kreatif negara itu tumbuh 4-5 persen dengan lebih dari 600.000 pekerja, menghasilkan laba ekspor hingga 12,4 miliar dolar AS pada 2021 lalu.

Korea telah mengupayakan soft power sejak 1990-an yang secara geopolitik berada di tengah kekuatan besar dunia kala itu, Amerika Serikat, China, Jepang. Kebudayaan menjadi modal besar bagi Korea untuk menyebarkan pengaruh kepada dunia.

Dukungan pendanaan dari pemerintah pastinya berperan besar terhadap perkembangan K-Wave. Inovasi dari pelaku budaya dan ekonomi kreatif pun diperlukan agar dunia dibuat penasaran dengan hal baru. Kolaborasi hal mutlak.

“Tentu saja supaya bisa mencapai itu, kebebasan berekspresi adalah aspek yang sangat penting. Sensor terhadap kebebasan bisa jadi berbahaya bagi industri kreatif,” kata Eom.

 

Yakin dengan I-Wave

Indonesia memang tidak diam saja, banyak cara dicoba demi mengekspos budaya dan sektor kreatif kita agar lebih dikenal dunia. Festival Indonesia hadir di berbagai negara sebagai langkah diplomasi antar-masyarakat.

Di Korea, misalnya, Indonesian-Wave baru mulai bangkit pada 2019. Dampak yang dihasilkan memang belum semasif budaya Korea di Indonesia.

Tentu banyak faktor yang memengaruhi hal itu. Eom melihat salah satunya karena pandangan masyarakat Korea terhadap masuknya budaya luar—tidak cuma dari Indonesia.

Korea Selatan mengalami peristiwa sejarah politik dan budaya yang tidak bisa dibilang biasa saja, sebutlah kolonialisme Jepang dan perang Korea. Hal-hal itu berdampak pada pola perilaku masyarakat negara itu.

“Krisis eksistensial semacam ini membuat masyarakat Korea lebih memikirkan permasalahan di dalam negeri sendiri. Sehingga mereka tidak punya banyak waktu untuk memikirkan hal di luar itu,” kata Eom.

Bagaimanapun, Indonesia tetap percaya diri untuk tampil di panggung dunia. Menteri Kebudayaan Fadli Zon menekankan bahwa bangsa ini amat kaya budaya, pelaku industri kreatif juga begitu menggeliat. Dan itulah modal besar yang kita miliki.

Indonesia bisa meniru langkah-langkah strategis yang dilakukan negara Asia seperti Korea Selatan dalam memajukan ekonomi kreatif. Namun, penyebaran budaya Indonesia bisa saja menarget negara di belahan dunia lain yang budayanya sama sekali berbeda.

“Dalam perfilman, misalnya, ada JAFF dan JAFF Market juga yang dihadiri oleh 96 peserta pameran dari berbagai negara. Dan itu membuat jejaring yang sangat baik antara semua stakeholders yang ada,” kata Menbud.

Dengan modal kebudayaan melimpah, kemauan dari pelaku industri kreatif, dan dukungan pemerintah, pantas kalau  I-Wave diyakini juga bisa menciptakan gelombang pengaruhnya di luar Indonesia. (ANT/LE)

Pos terkait