DenpasarHeadlines

Sidang Sengketa Tanah Serangan, Siti Sapurah: Masa Saya Harus Mulai dari Nol Lagi?

Denpasar, LenteraEsai.id – Persidangan sengketa tanah di Serangan, kembali bergulir di Pengadilan Negeri Denpasar, pada Senin tanggal 27 Mei 2024. Kali ini, tergugat menghadirkan seorang saksi warga asli Serangan bernama Muhammad Zulkipli (48), yang memiliki pengetahuan tentang sejarah dan batas objek sengketa.

Sidang sengketa tanah Serangan ini melibatkan advokat Siti Sapurah SH selaku penggugat terhadap PT Bali Turtle Island Development (tergugat I). Sidang dipimpin Ketua Majelis Hakim Gede Putra Astawa SH MH. Di hadapan majelis hakim, Zulkipli menjelaskan bahwa dirinya memiliki pengetahuan tentang objek sengketa, dikarenakan rumahnya terletak di sebelah baratnya. Artinya rumahnya tidak berjauhan dengan objek sengketa.

“Rumah saya sekitar 30 meter sebelah barat objek sengketa. Mengenai batas objek sengketa, sebelah timur berbatasan kanal, di selatan dan utara berbatasan dengan jalan, sedangkan di sebelah barat objek sengketa berbatasan dengan tanah milik Rastika. Pembatas antara lahan milik tanah milik Daeng Abdul Kadir di Serangan SHM Nomor 69 atas nama Maisarah seluas 9.400m2 dengan lahan milik Haji Anwar adalah berupa gundukan yang digunakan sebagai jalan umum bagi warga yang ingin aktivitas,” ujar Zulkipli.

Selanjutnya, ketika penggugat menanyakan beberapa hal kepada saksi, ternyata Zulkipli lebih banyak memilih menghindar dengan menjawab dengan nada tinggi, berdalih tidak ada korelasi sehingga tidak mau menjawab. Hal ini berulang kali terjadi.

Usai persidangan, Siti Sapurah atau akrab dipanggil Mbak Ipung menegaskan bahwa kehadiran saksi ini justru ingin mementahkan semua dokumen yang dimilikinya. Di mana saksi sebelumnya pernah menggugat pihak Maisarah selama kurun Waktu 11 tahun lamanya, artinya sudah mengenal betul permasalahan dengan objek sengketa. “Tapi anehnya, ketika saya menanyakan sesuatu, hampir selalu dijawab tidak tahu dan tidak ada korelasi. Seolah-olah udah didoktrin demikian,” ujar Mbak Ipung.

Dia melanjutkan bahwa dalam kasus ini sudah ada 15 putusan yang seharusnya menjadi pertimbangan selanjutnya oleh majelis hakim. “Saya hanya ingin bertanya sama hakim yang semua memutuskan perkara ini sampai 15 putusan, bertanggung jawablah kalian semua, kalau ini tidak ada artinya, silahkan anda jumpa pers bahwa ini tidak ada benarnya, ini adalah pengadilan sesat, saya akan lanjutkan ini sidang, itu lah permintaan saya, saya orang miskin, saya orang daerah, saya orang Pulau Serangan, saya nelayan, tapi saya bukan orang bodoh, saya tau semua orang Serangan itu tidak ada orang pintar mungkin, tidak ada orang berani seberani saya, tapi saya bukan orang bodoh, saya hanya ingin minta pertanggung jawaban Pengadilan Negeri Denpasar, Pengadilan Tinggi Denpasar, Mahkamah Agung, Kasasi sampai PK dua kali, saya bertanya, hello ini ada gunanya tidak? Kalau ini tidak ada gunanya, saya akan lanjutkan persidangan ini, tapi kalau tidak, tolong beritahu saya apa yang menyebabkan ini bisa dibatalkan?,” kata Mbak Ipung yang didampingi penasihat hukum Horasman Diando Suradi SH.

Mbak Ipung menyayangkan bahwasanya seharusnya sidang ini tidak perlu sampai panjang lebar. “Seolah-olah saya punya pipil, saya punya sertifikat, saya punya akte jual beli, saya punya SPPT 112 are, tetapi ini tidak ada gunanya, saya seolah diajak ke jalan mulai dari nol lagi, harus menjelaskan kembali tanah saya berapa, ini gunanya apa. Saya hanya ingin Indonesia ini katanya berdasarkan hukum, di tindakan gitu, pakai tindakan hukum. Ini sudah dikeluarkan oleh lebih dari 45 hakim majelis, pertanggungjawaban ini bukan saya yang membaca, tapi majelis hakim yang membaca di ruang sidang, dan ada saya di sana sebagai kuasa hukum orang tua saya, saya ingin kembali lagi seolah tanah ini bisa hilang, ini tidak ada gunanya kasihan sekali kalau bukan saya,” ujarnya dengan nada prihatin.

Dijelaskannya, supaya persoalan ini kembali ke nol, maka diperlukan saksi berlapis-lapis sehingga kasusnya jadi terang benderang. “Saya tidak habis pikir, apa sekalian saja kalau perlu, maka 36 KK suruh jadi saksi semua dan saksi-saksinya penggugat dulu suruh hadirkan untuk jadi saksi lagi biar sidang ini seumur hidup gak selesai-selesai karena 15 putusan pengadilan (PN, PT dan MA) kasasi dan dua kali PK tidak ada gunanya saat ini,” kata Mbak Ipung.

Pada akhir keteranan, Mbak Ipung menyebutkan kalau minggu depan tanggal 3 Juni 2024, kembali dihadirkan saksi dari T1 (BPN). Selanjutnya,  tanggal 10 Juni 2014  saksi dari pihak T1 yang hadir adalah berasal dari Desa Serangan. “Barulah tanggal 24 Juni 2024, saya diminta sama Pak Hakim untuk bawa saksi yang bisa menjawab semua alat bukti saya sidang ini. Lha saya harus mulai dari nol lagi padahal sudah jelas ada 15 putusan, ada pipil, ada akta beli, ada SPPT, ada surat keterangan tanah, ada surat dari BPN ada surat dari dinas kehutanan, ada tapal batas yang di tandatangani oleh PT BTID, desa, wali kota, dan BPN. Terus ada peta kelasiran 1948 milik desa, ada peta data fisik tanah desa milik desa juga kan gak mungkin satu orang saksi bisa menguasai dan mengetahui semua dokumen ini kecuali saya yang punya kasus. Jujur saya pesimis kalau melihat jalannya sidang seperti ini. Seakan-akan ingin mementahkan semua dokumen saya,” kata Mbak Ipung.

Sebelumnya, kasus ini telah mencuat sejak tahun 2009 silam. Hal ini bermula ketika lahan dengan sertifikat Nomor 69 yang luasnya 94 are milik Maisarah digugat oleh 36 KK warga Kampung Bugis ke PN Denpasar. Begitu juga pipil tanah yang luasnya 1 hektare 12 are. Dalam gugatan tersebut, pihak Maisarah atau ibunda dari Siti Sapurah selalu menang hingga ke Mahkamah Agung. Peninjauan Kembali (PK) juga ditolak. Atas putusan pengadilan yang mengikat ini, Ipung menunjukkan berbagai dokumen kepada Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kota Denpasar, seperti 15 putusan pengadilan hingga tahun 2020, foto copy pipil tanah seluas 1 hektar 12 are dan pajak tanah seluas 2 hektare 18 are, serta foto peta tanah.

Sementara PT BTID hanya berpegang teguh pada SHGB Induk Nomor 41 Tahun 1993 atau HGB Nomor 81, 82, 83 atas nama PT BTID. Melalui hal ini diatur tentang jalan lingkar luar di Pulau Serangan dengan PT BTID sebagai pihak pertama dan Desa Serangan sebagai pihak kedua. Jalan lingkar luar itu mulai dari jalan tanah hingga berhenti di penangkaran penyu sepanjang 2.115 meter. “Bagaimana mungkin jalan lingkar luar ini melompat, melewati lahan orang lain. Dan mengenai HGB juga tidak bisa digunakan untuk selamanya karena itu sama dengan kontrak atau sewa,” kata Mbak Ipung seraya menggeleng-gelengkan kepala.

Pewarta: Vivi Suryani
Redaktur: Laurensius Molan

Lenteraesai.id