judul gambar
HeadlinesKlungkung

Geliat Asa Kehidupan Petani Garam di Desa Kusamba

Kusamba, LenteraEsai.id – Siang nampak benderang di bawah langit cerah di Banjar Tribuana, Dusun Bias, Desa Kusamba, Kabupaten Klungkung, Bali. Seorang pria berkulit legam tengah sibuk menuang air laut ke batangan pohon kelapa yang dibuat cekungan memanjang, yang biasa disebut palungan.

Gerak pria yang bernama lengkap I Wayan Rena (68) ini terbilang lincah, dengan ekspresi wajah antusias, tanpa memperdulikan terpaan cahaya menyengat matahari di penghujung Oktober 2022 silam.

Pada ladang seluas 10 are yang terletak di tepi Pantai Kusamba itu, geliat semangat terlihat nyata dari wajah pria yang akrab dipanggil Mangku Rena tersebut. Betapa tidak, hidup berkutat dengan air laut yang semula hanya sebagai ‘pelarian’ karena tidak adanya pekerjaan lain, kini sudah menjadi lahan mata pencaharian yang cukup menjanjikan.

Pekerjaan menjadi petani garam belakangan menjanjikan penghasilan yang menggiurkan dikarenakan harga garam yang stabil di kisaran angka Rp 20.000 – Rp 25.000 per kilogram untuk KW1. Sedangkan harga garam KW2 ialah sekitar Rp 15.000 per kilogram.

Sehari-hari, Mangku Rena tercatat mampu memproduksi sekitar 20-25 kilogram garam yang kemudian dikumpulkan untuk siap dipasarkan ke para pelanggan, baik di dalam maupun luar Bali.

Hasil menggiurkan dari membuat garam tradisional di tepian pantai, telah menjadikan Mangku Rena begitu intens menekuni pekerjaannya. Nyaris setiap hari ketika matahari sedang berpendar terang, ia terjun melakukan proses pembuatan garam yang dimulai dengan menyedot air laut menggunakan pompa, selanjutnya dicurahkan ke bentangan ladang penggaraman, yakni permukaan tanah berpasir yang sudah dipadatkan di bagian halaman rumah.

Setelah disiram air laut, bagian permukaan bentangan ladang penggaraman diratakan dengan alat yang disebut tulud. Setelah itu, ladang penggaraman dibiarkan kering hingga mengalami retak-retak. Ditunggu dalam hitungan jam, ladang mulai mengering dan bagian permukaannya tampak retak-retak. Selanjutnya bagian yang retak-retak itu digemburkan dengan menggunakan bangkrak.

Setelah gembur, permukaan ladang disiram kembali dengan air laut dan lagi-lagi dikeringkan. Proses ini terus berulang, biasanya dilakukan sebanyak dua kali sehari selama empat hari berturut-turut, dengan tujuan media yang tampak mengkristal memiliki kadar garam yang tinggi dan siap untuk dinaikkan ke atas ‘tinjung’ sebagai media penyaring. Kegiatan ini disebut nabuh, yang membutuhkan waktu kurang lebih 4-6 jam.

Bongkahan yang mengkristal lantas dipadatkan dan diratakan, kemudian kembali disiram dengan air laut secara perlahan. Volume air laut yang dimasukkan ke atas ‘tinjung’ sebanyak 20 pasang sene atau sekitar 1.000 liter. Biasanya ini dilakukan sore hari agar proses penyaringan terjadi pada malam hari dan hasil saringan tersebut bisa dijemur keesokan harinya. Air laut dibiarkan menetes ke gerombong (tempat penampungan air) dengan media tanah di dalam tinjung yang berfungsi sebagai penyaring. Hasil saringan tersebut merupakan ‘air tua’ karena telah mengalami proses penyaringan dengan tanah yang telah mengandung kadar garam lebih tinggi melalui proses penyiraman air laut dan penjemuran selama kurang lebih empat hari berturut-turut.

Proses selanjutnya adalah memindahkan ‘air tua’ yang tertampung dalam gerombong ke dalam palungan menggunakan teku. Palungan sendiri merupakan tempat untuk menjemur ‘air tua’ yang terbuat dari bilahan batang kelapa yang dibuat cekung menyerupai saluran air. Penjemuran di atas palungan sangat bergantung pada intensitas panas matahari dan angin untuk membantu proses penguapan. Pada cuaca yang cerah, kristal garam dapat terbentuk pada hari kedua setelah pengambilan ‘air tua’.

Berikutnya adalah tahap panen yang biasanya dilakukan pada hari kedua atau ketiga setelah pengambilan ‘air tua’. Teknik panen dilakukan menggunakan alat penggaruk yang bertangkai panjang. Garam yang dihasilkan ditempatkan pada wadah yang memiliki lubang-lubang kecil untuk meniriskan ‘air tua’.

Gumpalan yang menyerupai pasir berwarna keputihan itu, selanjutnya diangkut  menggunakan keranjang sok kenong dan disuling di dalam bak penyosoran, sehingga keluar air tua yang kemudian dituangkan ke dalam palungan di bawah terik sinar matahari untuk proses pengkristalan. Dua hari kemudian, akhirnya mengering dan terbentuklah garam tradisional.

Proses pembuatan garam memerlukan waktu yang tidak sebentar, melainkan cukup panjang. Selain itu, dalam proses pembuatannya juga sangat bergantung pada intensitas sinar matahari dan cuaca. Karenanya, tidak heran kuantitas produksi garam setiap panen dapat berbeda-beda. Sangat tergantung cuaca.

“Warga Kusamba menyebut garam yang dihasilkan itu sebagai garam organik, karena proses sejak awal hingga penjemuran menggunakan palungan yang berbahan organik atau alami, yakni potongan pohon kelapa,” kata Mangku Rena menuturkan pada media LenteraEsai di rumahnya, yang terletak di pinggiran Pantai Kusamba, Kabupaten Klungkung, Jumat (29/10/2022).

Ia mengungkapkan, di luar garam organik, memang ada sebagian warga yang melakukan proses pengeringkan air laut menjadi garam dengan menggunakan bahan plastik. Hasil dari proses pengeringan menggunakan palung dari plastik, membuat cita rasa garam yang jauh berbeda. Rasa ‘gurihnya’ garam menjadi hilang.

Sehubungan dengan adanya perbedaan rasa dengan garam organik, garam yang dibuat menggunakan palung plastik itupun harga jualnya menjadi  berbeda pula. Selisih harga biasanya lebih mahal antara Rp 5.000 sampai Rp 10.000 per kilogram untuk garam organik. “Kalau harga garam organik bisa mencapai Rp 25.000 per kilogram, maka garam nonorganik paling tinggi dihargai Rp 15.000 per kilogram,” kata Mangku Rena, menjelaskan.

Sembari bersandar di pinggiran bale bengong di halaman rumahnya, Mangku Rena mengisahkan bahwa dahulu kehidupan petani garam di Kusamba tidak secemerlang belakangan ini. Mangku Rena sudah puluhan tahun menekuni profesi sebagai pembuat garam tradisional. Menjadi pembuat garam tradisional, telah dijalankan keluarganya secara turun-temurun hingga empat generasi sebelummya. Dahulu, Mangku Rena hanya melakukan pekerjaan membuat garam sebagai kegiatan sambilan belaka, dikarenakan harganya terbilang murah sehingga dirasakan teramat jauh dari kata cukup untuk menghidupi istri dan ketiga anaknya.

Murahnya harga garam ketika itu, membuat Mangku Rena memilih menjadi buruh bangunan atau sesekali menjadi nelayan, supaya mendapatkan penghasilan yang lebih layak. Meski demikian, guna melanjutkan produksi garam di rumahnya, Mangku Rena mengupah salah seorang tetangga untuk bekerja sebagai tenaga harian pembuat garam di lahannya.

Hari berganti hari. Nasib pembuat garam tradisional di Kusamba beberapa waktu lalu bak diombang-ambingkan tengkulak. Ketika musim hujan, harga garam naik, namun di sisi lain, tidak ada warga yang bisa membuat garam dikarenakan tidak ada cahaya matahari. Pada saat kemarau, justru harga garam rendah. Sampai-sampai pembuat garam merasa patah arang dengan harga garam yang tidak kunjung mensejahterakan kehidupan warga, sehingga mereka kebanyakan berlabuh pada pekerjaan lain seperti menjadi buruh di perhotelan atau sektor lain yang lebih menjanjikan penghasilan.

Namun bersyukur, menginjak tahun 2020, PT Pertamina (Persero) Marketing Operation Region (MOR) V mulai melirik aktivitas petani pembuat garam tradisional di Kusamba. Pihak Pertamina, kata Mangku Rena yang dibenarkan beberapa petani lainnya, terjun langsung membina para petani garam yang sebelumnya boleh dikatakan hidup segan mati pun tak mau.

Mangku Rena menambahkan, perwakilan Pertamina yang turun ke ladang petani garam sempat mengatakan bahwa potensi garam di Pantai Kusamba masih sangat mungkin untuk dikembangkan ke segmen yang lebih luas.

Ia menambahkan, pihaknya sangat bersyukur dengan uluran bantuan pemberdayaan dari Pertamina. “Bantuan yang telah diberikan Pertamina meliputi pembinaan proses produksi, packing produk, dan pembuatan jalan menuju akses ladang garam milik warga. Selain itu, sebagian besar warga juga diberi bantuan palungan dari pohon kelapa supaya melestarikan pembuatan garam secara tradisional,” ucapnya.

Mangku Rena yang telah ditunjuk sebagai Ketua Kelompok Petani Garam Tradisional Sarining Segara Desa Kusamba, mengaku mendapat bantuan 18 palungan, sehingga sekarang produktivitas untuk membuat garam menjadi lebih meningkat karena memiliki palungan yang lebih banyak.

Suami dari Ni Nengah Lunga ini menjelaskan, dengan meningkatnya produktivitas, kini berbanding lurus dengan tingginya permintaan pasar. Rata-rata, setiap bulan Mangku Rena mendapat pesanan 5 ton garam, khususnya untuk memenuhi suplai permintaan dari Kabupaten Gianyar, Badung dan luar Bali, seperti Surabaya, Jawa Timur.

“Hanya saja karena belakangan curah hujan tinggi, kadang kala permintaan tidak dapat kami penuhi semuanya,” katanya dengan menambahkan, terlebih belakangan ini setelah Covid-19 mereda, sering ada wisatawan yang mampir ke tempat pembuatan garam, dan pulangnya selalu tertarik untuk membeli garam sebagai oleh-oleh, membuat pihaknya kadang tidak dapat memenuihi seluruh permintaan.

Untuk memenuhi permintaan konsumen yang datang, para petani garam umumnya menyiapkan garam yang sudah di-packing rapi, sehingga sangat ‘molek’ bila kemudian dipakai cenderamata. “Garam ini kami pak 150 gram per bungkus dan harganya Rp 10.000,” ujar Mangku Rena dengan raut wajah ceria, seraya menyampaikan bahwa anggota Kelompok Petani Garam Tradisional Sarining Segara Desa Kusamba kini memiliki geliat asa menuju kehidupan yang lebih baik, berkat pendampingan dari Pertamina.

Program ‘Uyah’

Sementara itu, Unit Manager Communication, Relations & CSR MOR V Jatimbalinus, Rustam Aji menjelaskan bahwa PT Pertamina (Persero) Marketing Operation Region (MOR) V telah membuat program ‘Uyah (Garam) Tradisional’ di Desa Kusamba, Kabupaten Klungkung pada tahun 2020. Program ini dilaksanakan didasari pertimbangan potensi wilayah Kusamba sebagai sentra petani garam tradisional, sehingga bisa dikembangkan menjadi pilihan objek berwisata di Pulau Dewata.

Langkah ini diambil, ujar Rustam Aji, sebagai upaya pemulihan ekonomi warga setempat mengingat sejauh itu kehidupan petani garam terbilang ‘ngos-ngosan’. Pasang surutnya harga garam di pasaran, membuat kehidupan petani garam jauh dari sejahtera.

“Keberadaan program ‘Uyah Tradisional’ Kusamba dengan memberdayakan masyarakat pembuat garam, menjadi terobosan diversifikasi penghasilan bagi warga setempat. Di mana warga tidak hanya mendapatkan pembinaan bagaimana cara mendapatkan penghasilan maksimal dari hasil menjual garam tradisional, lebih dari itu, daerah Kusamba juga diproyeksikan sebagai objek wisata alternatif. Kami berharap dengan adanya program ‘Uyah Tradisional’ Kusamba, maka kesejahteraan warga akan meningkat berlipat-lipat,” katanya, menjelaskan.

Petani garam di Desa Kusamba yang dulunya berjumlah sekitar 100 orang, sempat melorot menjadi tinggal 16 petani saja. Fenomena ini tidak lain disebabkan oleh penghasilan petani garam di masa lalu yang bersifat fluktuatif, sehingga sebagian besar dari mereka memilih untuk bekerja di tempat lain. Selain itu, masyarakat juga lebih tertarik pada pekerjaan di sektor lain yang lebih menjanjikan. Namun belakangan, jumlah petani garam terus beranjak naik seiring dengan penghasilan mereka yang semakin menjanjikan.

Di samping kondisi yang telah disebutkan di atas, pekerjaan sebagai petani garam sesungguhnya memiliki potensi dan peluang tersendiri. Potensi dapat dilihat dari sektor pariwisata alternatif yang berperan dalam memberikan multiplier effect kepada sektor lainnya termasuk kepada petani garam. Peluang pengembangan dapat memanfaatkan obyek wisata yang berada di sekitar tempat pembuatan garam yaitu Goa Lawah dan Pantai Candi Dasa. Adanya obyek wisata tersebut dapat menjadi perangsang bagi para wisatawan untuk mampir, melihat, dan membeli produk dari petani garam. Wisatawan yang datang ke tempat pembuatan garam alami juga mendapat pengetahuan cara dan proses pembuatan garam karena para petani garam akan dengan senang hati memeragakan dan mempraktikkannya.

PT Pertamina (Persero) Integrated Terminal Manggis berupaya untuk ikut berkontribusi dalam meningkatkan taraf hidup petani garam yaitu dengan cara memberikan bantuan-bantuan yang dibutuhkan oleh para petani. Bantuan tersebut mencakup pelatihan, pemberian bantuan akses jalan, dan pengadaan sarana dan prasarana. Sasaran utama dari program ini adalah kelompok Sarining Segara. Berikut ini adalah road map program yang telah disetujui oleh para pihak:

Pada tahun pertama Pertamina fokus pada bantuan perbaikan akses jalan yang diperuntukkan tidak hanya untuk petani garam tetapi juga bagi masyarakat sekitar. Kemudahan akses ke tempat pembuatan garam merupakan suatu bentuk stimulus terhadap konsumen yaitu dengan memberikan kenyamanan dalam perjalanan untuk mencapai tujuan. Harapan dari keberhasilan program ini adalah kemandirian petani garam dalam proses produksi maupun pemasaran produk. Melalui kolaborasi dengan sektor pariwisata, promosi dan pemasaran produk dapat disebarluaskan dengan lebih mudah. Anggota kelompok nantinya juga akan diberikan pelatihan untuk menggunakan media sosial dalam rangka
penyebarluasan informasi produk.

Pelaksanaan program UMAMI melibatkan stakeholder terkait seperti Dinas Koperasi, Dinas Perikanan dan Kelautan, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata dan tentunya Pemerintah Kabupaten Klungkung sebagai garda terdepan dalam pelestarian petani garam tradisional yang menjadi ciri khas daerahnya ini. “Pihak pemerintah dalam segi pembuatan kebijakan tetapi juga kita ajak untuk ikut berkontribusi dalam perizinan, pengemasan dan pemasaran produk sehingga lebih mudah dikenal oleh masyarakat dari berbagai kalangan,” ujar Rustam Aji, menandaskan.  (Tri Vivi Suryani)

Lenteraesai.id