judul gambar
DenpasarHeadlines

Setahun Lebih Mandek, Advokat Ipung Minta Kasus Pencabulan Cucu Oleh Kakeknya Dibuka

Denpasar, LenteraEsai.id – Tindak pencabulan yang dilakukan seorang kakek terhadap cucu tirinya berinisial MC di Balikpapan, Kalimantan Timur yang telah lebih dari satu tahun berlalu, dipertanyakan sejumlah kalangan karena hingga kini belum ada kepastian tentang penanganan kasusnya.

“Peristiwanya sudah berlangsung sejak setahun tiga bulan lalu, tapi terduga pelaku yang seharusnya ditahan, nyatanya masih bebas berkeliaran menghirup udara bebas,” kata Siti Sapura, advokat yang juga pemerhati anak dan perempuan, kepada pers di Denpasar, Selasa (19/10).

Aktivis anak dan perempuan yang akrab disapa Mbak Ipung itu menyebutkan, ibu kandung MC sempat menghubungi dirinya, meminta untuk dilakukan pendampingan atas kasus yang menimpa anaknya.

“Ibu kandung korban menangis dan meminta bantuan agar kasus anak perempuan kesayangannya itu bisa mendapat kepastian hukum. Sang ibu mengaku gerah melihat pelaku tetap bebas, meski telah melakukan kesalahan yang besar,” ucap Mbak Ipung, menjelaskan.

Setelah mendapat telepon dari ibu kandung korban, Ipung mengaku langsung mempelajari berkas perkara atas kasus pencabulan yang sudah berproses di Polda Kalimantan Timur (Kaltim) tersebut.

“Awalnya tak ada masalah, sampai akhirnya pada sebuah penjelasan yang menyebut kasus ini minim bukti. Namun yang cukup mencengangkan, korban MC dituduh memiliki kelainan mental oleh terduga pelaku, karena dianggap mengarang cerita,” ujar Ipung, geram.

Dalam surat pengaduan masyarakat yang dibuat pada 5 Oktober 2021 yang dilengkapi dengan 11 lampiran lengkap soal kasus ini, Ipung pun menuliskan jawaban dari beberapa keraguan yang membuat kasus ini mandek.

Di antaranya Ipung membantah kondisi kesehatan mental korban memiliki kelainan. Advokat kenamaan ini juga menyatakan bahwa tidak diperlukan adanya saksi tambahan berupa saksi mata yang melihat kejadian tersebut, seperti yang sempat diminta penyidik.

“Dalam kejadian ini, korban dalam kondisi normal bahkan bisa dengan jelas menceritakan kronologis kejadian. Diperkuat dengan bukti yang sudah ada. Sementara untuk permintaan saksi yang melihat kejadian, kan tidak mungkin,” tuturnya.

Alasannya, kata Ipung, jika mengacu pada bukti-bukti yang sudah ada, hasil visum yang menunjukkan adanya robekan pada selaput dara dan keterangan saksi korban, sudah menjadi dasar kuat untuk menetapkan tersangka dan melanjutkan proses hukum.

Tetap pada lampiran pengaduannya, Ipung mengingatkan hukuman yang sebenarnya yang pantas diterima oleh pelaku pencabulan, sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.

Ia menjelaskan, berdasarkan Perpu Nomor I Tahun 2016 yang sudah menjadi UU Nomor 17 Tahun 2016 yang menjadi perubahan kedua UU Nomor 23 tahun 2002 dan perubahan pertamanya UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak UU Nomor 17 Tahun 2016, khusus mengatur Pasal 81 jo 82 tentang perbuatan cabul dan persetubuhan anak di bawah umur, dengan ancaman pidana minimal 10 tahun dan maksimal 20 tahun penjara.

Bahkan sampai hukuman mati atau seumur hidup dan ada ancaman pemberatan lainnya seperti kebiri kimia, pemasangan chip dalam tubuh, jika pelaku tidak dihukum mati atau seumur hidup, katanya.

Selain itu juga berupa penyiaran secara jelas identitas lengkap pelaku agar mendapat sanksi sosial dari masyarakat, agar masyarakat tahu jika pelaku sudah melakukan tindak pidana berat sebagai predator anak atau pedofilia.

“Jadi tidak ada alasan pembenar bagi aparat penegak hukum yang menangani kasus ini menyebut minim bukti, apalagi meminta adanya bukti tambahan saksi yang melihat,” ujar Ipung, menandaskan.

Terbaru, lanjut dia, barang bukti lainnya berupa kain seprai yang ditemukan bercak sperma milik pelaku hasil pemeriksaan laboratorium di Surabaya telah mengeluarkan hasilnya.

Dari sini pula, Ipung mengingatkan tak ada lagi alasan kasus ini tak bisa diselesaikan. Kasus ini juga sebelumnya sudah masuk dalam pra-rekonstruksi menuju rekonstruksi.

“Hanya saja karena rekonstruksi mendapat penolakan dari ibu korban karena ibu korban dilarang mendampingi korban yang ingin menghadirkan pelaku bersama korban, akhirnya proses ini dihentikan sementara,” ujar Ipung.

Ipung juga menyayangkan tindakan penyidik yang ingin melakukan rekonstruksi antara korban dan pelaku, yang sesungguhnya tidak diperlukan. “Kalau pun ingin melakukan rekonstruksi, harus menggunakan peran pengganti sebagai korban,” katanya, menekankan.  (LE-DP)

Lenteraesai.id