Presiden: Bangun Industri Katalis Nasional agar Harga Sawit Tidak Didiskriminasi

Kelapa sawit (Ist)

Jakarta, LenteraEsai.id – Presiden Joko Widodo menyampaikan bahwa Indonesia memiliki banyak pakar dan ahli dari berbagai universitas untuk mengubah katalis. Menurut Presiden, katalis mengubah minyak sawit menjadi solar, minyak sawit menjadi bensin, dan minyak kelapa menjadi avtur.

“Saya belum pernah bertemu sebelumnya dengan Prof Subagjo, tapi saya sering bertemu di YouTube. Tadi malam saya tanya ke Pak Menteri, ‘Ini Prof Subagjo tim dari ITB datang enggak?’. Pak Menteri menyampaikan, ‘Datang Pak, besok datang’. Prof Subagjo silakan berdiri, juga Dr Melia Laniwati Gunawan, silakan berdiri. Dr Makertiharta silakan berdiri, Dr Rasrendra semuanya tim dari ITB. Saya minta Prof Bagjo maju sebentar,” ujar Presiden Jokowi pada Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) Kementerian Riset dan Teknologi (Kemenristek)/Badan Riset dan Inovasi (BRIN) Tahun 2020, di Graha Widya Bhakti Kawasan Pusat Penelitian Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Puspiptek), Serpong, Tangerang Selatan, Provinsi Banten, Kamis (30/1).

Bacaan Lainnya

Pada kesempatan itu, Presiden Jokowi menanyakan bagaimana minyak kelapa sawit bisa dijadikan katalis, kemudian menjadi B20. Ia menambahkan bahwa pihaknya sudah sejak tiga tahun lalu memerintahkan agar industri menggunakan B20, namun hingga kini belum dapat dilaksanakan.

Menjawab pertanyaan Presiden, Prof Bagjo menyampaikan sekitar tahun 1982 saat pulang dari sekolah tentang katalis, dirinya berpikir minyak sawit juga sebetulnya hidro karbon. Maksudnya hidro karbon itu seperti minyak bumi, tapi di ujungnya ada CO2. Prof Bagjo menambahkan, jika diputus langsung akan menjadi seperti minyak bumi.

“Karena saya belajar katalis, saya mencari katalis yang cocok untuk memutus itu. Kami lakukan dan memang kami sangat gembira waktu itu, reaksinya waktu itu kadang-kadang baunya seperti solar tergantung kondisi. Dalam temperatur tinggi hasilnya gas LPG, kalau temperatur lebih rendah nanti diperoleh bensin. Lebih rendah lagi, kerosin itu bahan baku avtur, lebih rendah lagi bisa solar, lebih rendah lagi enggak jadi apa-apa,” cerita Prof Bagjo.

Untuk menghasilkan yang seperti ini, menurut Prof Bagjo, dirinya mengaku mulai mencari pihak ketiga sebagai mitra industri untuk bisa memproduksi hal tersebut, namun ternyata tidak mudah.

“Tahun 2009 kemudian mulai mendengar ada proses untuk menghasilkan yang disebut oleh orang-orang dari luar negeri green diesel, tapi sebetulnya saya tidak ingin membiasakan untuk green diesel, tapi saya menyebut diesel biohidrokarbon. Artinya diesel yang seperti minyak bumi. Jadi hidro karbon tapi dari bahan nabati,” ujar Prof Bagjo yang mengaku sejak saat itu bekerja sama dengan Pertamina serta telah mendapat bantuan dua kali yakni Rp 8 miliar dan Rp 46 miliar.

Saat ditanya oleh Presiden apakah perlu kerja sama dengan negara lain, Prof Bagjo menyampaikan bahwa kalau proses melibatkan katalis tidak perlu dengan negara lain, cukup dengan ITB saja. Prof Bagjo juga menjelaskan bahwa bantuan dari Pertamina sebesar Rp 46 miliar akan digunakan untuk membangun pabrik katalis.

“Jadi sejak dua tahun saya sudah menginginkan ada pabrik katalis. Dan resep-resep katalis yang kami pergunakan tidak akan lepas ke luar negeri. Saat ini resep-resep itu terpaksa dijahitkan ke pabrik milik multinasional. Jadi diharapkan nanti ada perjanjian walaupun nanti sudah di kepala akan bisa pindah,” cerita Prof Bagjo.

Mendengar cerita Prof Bagjo, Presiden menyampaikan akan memberikan penghargaan berupa uang kepada Prof Bagjo dan tim, yang nantinya dapat digunakan untuk penelitian B20 dan B30. “Ini berbeda ya nanti yang saya berikan dengan dana sawit maupun Pertamina, di sana juga akan saya perintahkan untuk memperbesar apa yang tadi sudah saya sampaikan. Di sini lebih kecil karena memang dari saya enggak mungkin sampai kalau dana penelitian tadi juga dari dana Pertamina, dana sawit. Saya pastikan sokongan terus kita berikan kepada ITB untuk hal ini,” ujar Presiden, menjelaskan.

Pada acara dialog tersebut, Prof Bagjo juga bercerita bahwa dirinya sudah lima kali mengejar Presiden Jokowi. “Di laboratorium saya ada gambar saya naik tiang bendera, karena itu yang paling cepat bertemu dengan Pak Jokowi, betulkan Pak?. Jadi tiga hari setelah ada anak SMP naik tiang bendera ketemu Pak Jokowi, saya, laboratorium saya udah didatangi 10 menteri, 10 menteri sebelum Pak Arifin Tasrif datang selalu saya dengungkan: ‘Ini kalau saya tidak bisa ketemu Pak Jokowi, saya mau naik tiang bendera saja.’ Sekarang saya sudah bertemu Pak Jokowi,” tambah Prof Bagjo.

Diakui Prof Bagjo bahwa dirinya ingin memberikan peluit agar ditiup oleh Pak Jokowi dan seluruh potensi bangsa yang bisa mendirikan pabrik katalis dan pabrik biohidrokarbon segera bergerak dengan cepat.

“Karena saya pikir Pak Jokowi-lah yang bisa mempercepat karena saya sudah bertemu dengan 10 menteri Pak, tidak ada yang bergerak,” ujar Prof Bagjo seraya menyampaikan lebih senang bekerja senyap karena negara lain seperti Malaysia lebih cepat bergerak.

Mendengar cerita itu, Presiden berjanji akan rapat dengan tim khusus berbicara mengenai katalis. Kepala Negara tahu Pertamina saat ini butuh 50 katalis dan nyaris semuanya impor karena hanya 3 katalis yang mampu diproduksi sendiri, padahal Indonesia punya kemampuan untuk memproduksi katalis.

“Nanti yang disampaikan Prof akan kita tindak lanjuti dalam rapat terbatas khusus. Dengan menggunakan bahan dalam negeri, dengan teknologi sendiri dan dengan SDM kita sendiri ini yang kita inginkan seperti tadi yang sudah disampaikan ibu Megawati Soekarnoputri, arahnya semuanya memang harus seperti itu,” ujar Presiden.

Dengan membangun industri katalis nasional, menurut Presiden, akan menjamin harga sawit. “Hati-hati bukan urusan impor minyak tapi harga, kemarin waktu B20 kita pakai harga sawit langsung naik, begitu B30 kita pakai lagi harga otomatis semuanya yang berkaitan dengan sawit naik semuanya. Petani kita mendapatkan keuntungan dari itu, impor minyak kita menjadi turun, neraca transaksi berjalan kita menjadi lebih baik, defisit neraca perdagangan kita juga semakin baik,” jelas Presiden.

Dengan membangun industri katalis nasional, lanjut Presiden, akan menjamin harga sawit dan enggak bisa Indonesia dimainkan oleh negara lain seperti diskriminasi dalam hal jual beli kelapa sawit.

“Sekali lagi meningkatkan kesejahteraan petani sawit swadaya yang saat ini menguasai kurang lebih 42-45% dari perkebunan sawit nasional. Apalagi jika industri katalis tersebut bisa dibuat dalam skala menengah bisa dioperasikan oleh kelompok-kelompok petani sawit,” ujar Presiden seraya menambahkan pasokan diesel biohidrokarbon itu akan mengurangi biaya logistik dan biaya produksi, sehingga petani pasti jauh lebih efisien juga murah karena tidak ada transportasi yang lain-lain.

Implikasi nasional, lanjut Presiden, mengurangi defisit neraca perdagangan di sektor energi, meskipun telah disampaikan bolak-balik mengenai penggunaan B20 ini sudah 3 tahun yang lalu, tapi memang juga tidak gampang memaksa untuk memakai B20 dan B30, sehingga nanti jika penggunaan makin banyak tidak memerlukan impor minyak.

“Upaya-upaya anak bangsa seperti ini harus didukung penuh, tidak boleh dihambat harus dibuat industri manufaktur katalis secara massal, BUMN seperti Pertamina harus lebih berperan besar untuk mendukung perkembangan industri katalis ini, jangan takut dan malah menghindar,” kata Presiden.

Keuntungan Pertamina itu bukan hanya miliar, sambung Presiden, bukan hanya 1-2 triliun tapi sudah yang terakhir di atas 20 triliun. Jadi kalau dipakai untuk riset seperti ini, menurut Presiden, tidak ada ruginya. Ia menambahkan BUMN seperti Pertamina harus berperan besar untuk mendukung pengembangan industri katalis dan Badan Pengelola Dana Sawit juga harus aktif mendukung riset-riset yang sangat berdampak besar seperti ini.

“Nah di sinilah peran BRIN, harus bisa mengorkestrasi pengembangan proyek-proyek riset yang sangat strategis seperti ini. yang meningkatkan kesejahteraan masyarakat, kesejahteraan rakyat, memecahkan permasalahan bangsa, dan memanfaatkan peluang global bagi kemajuan negara kita Indonesia,” tambah Presiden Jokowi.

Turut hadir dalam agenda tersebut, Presiden ke-5 RI Megawati Soekarnoputri, Menko Polhukam Mahfud MD, Menko PMK Muhadjir Effendy, Ketua DPR RI Puan Maharani, Ketua DPD RI La Nyala, Menteri Ristek/Kepala BRIN Bambang Brodjonegoro, Mendikbud Nadiem Makariem, Menteri ESDM Arifin Tasrif, Menteri PPPA I Gusti Ayu Bintang Darmavati , Mensesneg Pratikno, Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita, Gubernur Banten Wahidin Halim, Wali Kota Tangsel Airin Rachmi Diany. (LE-JK)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *