Mengubah “Brain Drain” Jadi “Brain Gain” dengan GDPK yang Kuat

Menteri Luar Negeri RI Retno Marsudi dan Menteri BUMN Erick Thohir serta Sekjen Kemenkes mengadakan pertemuan dengan Koordinator UK-Indonesia Consortium for Interdisciplinary Sciences (UKICIS), DR. Bagus Muljadi, Kandidat Ph.D pada Imperial College London, Dr. Eric Daniel Tenda dan Indra Rudiansyah, peneliti vaksin Covid-19 dari Universitas Oxford mewakili diaspora ilmuwan di UK. (KBRI)

Jakarta, 24/2 (ANTARA/LE) – Fenomena #KaburAjaDulu sempat menjadi perbincangan ramai di media sosial, terutama oleh generasi muda yang mengaku lelah menghadapi kondisi politik, ekonomi, serta sosial yang tak menentu.

Di tengah situasi yang “tak menentu” itu, mereka  ramai-ramai menggemakan gerakan kabur ke luar negeri untuk mendapatkan peruntungan lebih baik dari segi pekerjaan maupun pendidikan.

Bacaan Lainnya

Salah satu dampak yang menjadi kekhawatiran dengan ramainya tagar ini adalah brain drain, yakni keluarnya tenaga kerja berkualitas yang terdidik ke luar negeri sehingga tenaga di dalam negeri menjadi berkurang.

Namun, terlepas dari kekhawatiran-kekhawatiran khalayak akan berkurangnya tenaga berkualitas di Indonesia, fenomena tersebut justru ditanggapi secara positif oleh Deputi Bidang Pembangunan Manusia, Masyarakat, dan Kebudayaan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Bappenas Amich Alhumami.

Menurut dia, brain drain kini memiliki pemaknaan baru. Jika dulu brain drain disesali karena orang-orang terbaik pergi meninggalkan Indonesia, kini brain drain justru dapat dipahami dalam perspektif baru yang lebih bisa mendatangkan keuntungan berlipat ganda bagi negara yang mengalaminya.

“Jadi orang-orang pintar Indonesia pergi ke luar negeri, memperoleh kesempatan sekolah dan kemudian bekerja di sana. Nah, dengan bekerja di sana, mereka bisa menambah pengetahuan dan pengalaman. Kita bisa bayangkan bahwa orang-orang terbaik bisa bekerja di Yahoo, Google, atau perusahaan multinasional di sektor-sektor yang strategis, dan pada waktunya jika mereka kembali ke Indonesia, maka yang diperoleh bukan lagi brain drain melainkan brain gain,” katanya.

Negara-negara maju seperti Korea dan China, menurut dia, telah menerapkan hal tersebut dan kini memiliki talenta-talenta terbaik yang menjadi representasi kedua negara maju itu di mata dunia. Jika hal yang sama dilakukan melalui strategi yang benar oleh Pemerintah Indonesia, maka di masa depan, Indonesia juga akan menyusul menjadi negara maju yang mampu memanfaatkan talenta-talenta terbaiknya untuk berkontribusi bagi kemajuan negara.

Saat ini, berdasarkan data agregat, Malaysia menempati urutan tertinggi dengan Warga Negara Indonesia (WNI) terbanyak, sebanyak 2.540.450. Mayoritas dari mereka adalah pekerja migran di sektor perkebunan, konstruksi, serta asisten rumah tangga. Selain itu, terdapat pula WNI yang menikah dengan warga setempat yang generasi keturunannya masih mempertahankan kewarganegaraan Indonesia.

Di urutan kedua adalah Arab Saudi, dengan total 857.613 WNI, yang mayoritas bekerja di sektor domestik dan pelayanan haji serta umrah. Kota-kota seperti Riyadh, Jeddah, dan Makkah menjadi pusat populasi WNI di negara ini.

Urutan ketiga ditempati Taiwan, dengan total 238.639 WNI. Taiwan menjadi destinasi utama pekerja migran asal Indonesia, terutama di sektor manufaktur dan tenaga kerja domestik. Selain itu, cukup banyak mahasiswa Indonesia yang menempuh pendidikan di berbagai universitas di Taiwan.

Menurut Amich, apabila ada 1 atau 2 persen pemuda yang diberikan kesempatan menempuh pendidikan di luar negeri dan nantinya memiliki pengalaman 1 atau 2 tahun bekerja di sana, maka ketika kembali ke Indonesia, mereka harus mendapatkan jaminan pekerjaan atau tempat untuk berkarya dengan pendapatan yang sepadan, serta pengaman sosial yang lebih baik.

“Diharapkan ketika kembali lagi, itu harus disiapkan. Kalau misalnya mereka sebagai peneliti, dosen, maka kita harus membangun perguruan tinggi yang bagus dengan pengembangan bidang-bidang keilmuan yang relevan, dan itu dikaitkan dengan strategi pengembangan kewilayahan,” ujar dia

Pemetaan potensi kewilayahan juga menjadi salah satu hal penting apabila ingin menuai brain gain di Indonesia; sehingga perlu mengidentifikasi sektor-sektor strategis atau bidang-bidang ilmu apa yang harus ditawarkan dan dikembangkan.

“Misalnya di daerah Kalimantan Barat, yang berbatasan dengan Sarawak (pintu masuk ke Malaysia), yang memiliki potensi ekonomi maritim., atau di daerah-daerah lain, yang memiliki potensi ekonomi pertanian untuk dikembangkan,” kata Amich.

 

Belajar dari negara-negara lain

Amich mencontohkan pengalaman dari Ethiopia, Afrika Timur, yang pernah menjadi negara sangat miskin dengan pendapatan per kapita sekitar 100-300 dollar saja. Akibat minimnya lapangan pekerjaan, maka secara otomatis juga menyebabkan perekonomian tidak tumbuh, ditambah dengan konflik sosial politik yang tidak teratasi.

“Mereka pergi ke luar Jadi lebih mudah menemukan insinyur atau dokter orang Ethiopia di Chicago, di Boston, atau di California (Amerika Serikat) daripada di Addis Ababa (Ibukota Ethiopia), tetapi, setelah pembangunan dimulai, konflik sosial-politik diatasi, lalu strategi domestiknya itu adalah dengan membangun institusi perguruan tinggi, sekolah-sekolah yang bagus, lalu lapangan pekerjaan tersedia karena investasi mulai masuk,” paparnya.

Ia menjelaskan, orang-orang terbaik yang semula bekerja di luar negeri, secara otomatis kembali ke Ethiopia sehingga kini perkembangan di Ethiopia itu perlahan maju, dari semula mengalami brain drain, menjadi berhasil memetik brain gain.

Untuk itu, ia menyarankan agar investasi pemerintah di Indonesia difokuskan pada pembangunan perguruan tinggi untuk mengembangkan riset-riset inovatif yang dapat mendukung pembangunan ekonomi kewilayahan.

Selain belajar dari Ethiopia, Pemerintah Republik Indonesia juga bisa belajar dari Singapura, yang berhasil mendatangkan salah satu musisi ternama, Taylor Swift, pada tahun 2024 yang lalu. Tak tanggung-tanggung, selama enam hari berturut-turut, pelantun lagu “Love Story” tersebut tampil di Negeri Singa tersebut.

Keberhasilan tersebut dinilai sebagai sebuah kesuksesan memanfaatkan globalisasi, yang dilakukan melalui beberapa strategi, di antaranya menciptakan lingkungan bisnis yang kuat dengan kemudahan-kemudahan izin berbisnis, sistem pajak yang rendah, meningkatkan hibah dan inisiatif dari pemerintah, serta mengumpulkan tenaga kerja yang berkualitas.

Selain itu, China misalnya, juga memiliki Program Ribuan Bakat (Thousand Talents Program/TTP) yang diluncurkan pada 2008 untuk menarik ilmuwan, insinyur, dan pengusaha terkemuka China dari luar negeri (terutama dari AS dan Eropa). Melalui TTP, China menawarkan gaji yang tinggi, hibah penelitian, dan tunjangan perumahan untuk membujuk para profesional China kembali.

Sedangkan Korea, negara yang berhasil menciptakan pasar Korean Pop (K-Pop) yang membuktikan keberhasilan diplomasi budayanya, juga memiliki inisiatif dalam mengatasi brain drain, yakni dengan membangun Institut Sains dan Teknologi Korea (KIST), sebuah lembaga riset nasional pertama di Korea Selatan, yang didirikan dengan dukungan Amerika Serikat. Tujuannya adalah untuk mengembangkan teknologi dalam negeri dan mengurangi ketergantungan pada keahlian pihak asing.

 

Grand Design Pembangunan Kependudukan (GDPK)

Wakil Menteri Kependudukan dan Pembangunan Keluarga/Wakil Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Ratu Ayu Isyana Bagoes Oka menyampaikan pentingnya Grand Design Pembangunan Kependudukan yang kuat untuk mengubah fenomena brain drain menjadi brain gain.

Saat ini, Kementerian Kependudukan dan Pembangunan Keluarga (Kemendukbangga) tengah berkolaborasi dengan berbagai pihak, termasuk Bappenas untuk menyusun dan memetakan GDPK sehingga nantinya sumber daya manusia di Indonesia dapat dioptimalkan dengan baik.

“Nantinya bisa dipetakan potensi atau lapangan pekerjaan yang tersedia, yang perlu disediakan dan nantinya perlu ada link and match (keterkaitan dan kesepadanan) antara ketersediaan lapangan pekerjaan dengan apa yang nantinya akan ditelurkan oleh universitas-universitas misalnya,” kata Isyana.

Melalui GDPK yang kuat, potensi-potensi sumber daya manusia dapat dipetakan dengan jelas berdasarkan sektor-sektor yang strategis, misalnya di bidang-bidang mana yang membutuhkan tenaga kerja lebih banyak, untuk disesuaikan dengan jumlah atau kebutuhan dari lulusan perguruan tinggi yang ada.

Pekerjaan rumah untuk menciptakan GDPK yang kuat memang tidaklah mudah. Namun, strategi memanfaatkan jumlah penduduk produktif yang terus meningkat hingga tahun 2030 mendatang menjadi sebuah keniscayaan untuk menghasilkan penduduk yang berkualitas dengan kontribusi nyata bagi bangsa.

Indonesia kini juga telah memiliki Data Tunggal Sosial Ekonomi Nasional (DTSEN) yang bisa menjadi salah satu acuan untuk menyusun GDPK lebih kuat. Komitmen satu data pemerintah tersebut, mestinya juga bisa mendukung Indonesia agar tidak mengalami kekeringan daya pikir, tetapi justru berhasil mewujudkan negara dengan kualitas penduduk terbaik, yang mampu mewujudkan cita-cita Indonesia Emas 2045. (ANT/LE)

Pos terkait