Dianggap ‘By Design’, Penyidik Polresta Denpasar Dipropamkan Advokat di Polda Bali

Advokat Siti Sapurah SH (Foto: Dok BFT)

Denpasar, LenteraEsai.id – Silang sengketa kasus harta warisan berupa tanah dan lahan bangunan yang terletak di Jalan Suwung Batan Kendal No. 27 Lingkungan Banjar Suwung Batan Kendal, Kelurahan Sesetan, Kecamatan Denpasar Selatan (Densel), Kota Denpasar, hingga sekarang masih bergulir.

Sementara itu, tak puas atas penanganan kasus SHM asli yang saat ini masih dikuasai terlapor I Gusti Putu Susila yang masih terbilang kerabatnya, pemilik tanah/pelapor I Gusti Putu Wirawan melalui kuasa hukumnya melaporkan penyidik Polresta Denpasar bernama Bripka IGAS ke Propam Polda Bali karena dianggap ‘by design’.

Bacaan Lainnya

Menjawab wartawan terkait Laporan ke Propam Polda Bali terhadap Bripka IGAS, penasehat hukum I Gusti Putu Wirawan, yang merupakan pemilik tanah seluas 1095 m² di Jalan Bypass I Gusti Ngurah Rai, Banjar Suwung Batan Kendal, Kelurahan Sidakarya, Kota Denpasar, Siti Sapurah, S.H., biasa disapa Mbak Ipung menjelaskan bahwa,”Persoalan ini kami lakukan karena menganggap Penyidik Polresta Denpasar atas nama Bripka IGAS karena telah ada ‘by design’. By desgin yang seperti apa, dapat saya terangkan, karena dari awal pemeriksaan harusnya perkara ini simple dengan melakukan upaya paksa terhadap SHM asli yang masih dikuasai oleh I Gusti Putu Susila selaku terlapor, namun penyidik malah mengajukan permohonan sita khusus yang ditolak ke Pengadilan Negeri Denpasar, akhirnya tidak diterima dengan alasan perkara aquo bukan Tipikor atau TPPU, jadi penyidik akan merasa tidak bersalah, dengan tidak disitanya SHM asli untuk pemberkasan, akhirnya tentu berkas tersebut tidak bisa dianggap lengkap atau P21 jika di ajukan ke Jaksa. Jadi konsekuensi nya jika perkara ini di limpahkan ke pengadilan tentu hakim tidak akan pernah bisa menjatuhkan pidana kepada terdakwa karena alat buktinya tidak sah hal ini tercantum didalam pasal 183 (1) KUHAP. Jadi barang bukti tidak ada. Harusnya penyidik sudah tau ini pidana umum atau pidana biasa, melakukan upaya paksa dulu atas penyitaan barang bukti, baru diajukan penetapan sita biasa ke Pengadilan, bukan penetapan sita khusus, semestinya untuk menyita alat bukti penyidik bisa meminta surat perintah sita dari Kasatreskrimnya bukan penetapan sita khusus dari Pengadilan karena perkara aquo merupakan tindak pidana umum atau biasa,” jelas Mbak Ipung di Denpasar pada Senin (10/2/2025) siang.

Menurut Mbak Ipung, penyidik dalam hal ini telah diduga melanggar pasal 221 KUHP yaitu Perintangan Penyidikan (obstruction of justice) karena tidak menyita barang bukti. “Jika penyidik mengajuan permohonan penetapan sita biasa sudah pasti diterima, karena ini pidana biasa,” tegasnya.

Lambannya proses penyitaan barang bukti berupa sertifikat SHM ini kata Mbak Ipung menyebabkan kliennya merasa telah dipermainkan penyidik Polresta Denpasar hingga dirinya selaku kuasa hukum melakukan upaya Propamkan IGAS selaku Penyidik Polresta Denpasar.”Waktu saya mengantar klien saya melapor pada tanggal 29 Juni 2024 laporan saya klien saya di terima dalam bentuk Pengadan Masyarakat (DUMAS). Setelah berjalan beberapa bulan pada tanggal 17 Oktober 2024 di lakukan dan tanggal 22 Oktober 2024 di naikan ke penyidikan dan di sarankan membuat laporan polisi atau LP itu artinya ditemukan dua alat bukti yang cukup. Pada saat masih proses Dumas penyidik memberitahu saya bahwa SHM asli aman masih atas nama klien saya I Gusti Putu Wirawan yaitu pelapor, setelah itu saya tanya kapan sertifikat asli  disita, dan penyidik bilang tidak bisa langsung menyita, karena ini adalah dokumen Negara, dan terlapor punya paman Hakim di Pengadilan Negeri Denpasar, dan punya paman anggota Dewan, dan punya kuasa hukum jadi saya harus hati-hati, kalau dia tidak punya Pengacara kita gampang memaksa, ini dia punya Pengacara, kita mengajukan permohonan sita khusus ke Pengadilan Negeri Denpasar, akhirnya saya agak sedikit kecewa. Pada tanggal 9 Januari 2025 saya menerima SP2HP yang isinya karena permohonan penetapan sita khusus tidak diterima oleh PN Denpasar dengan alasan bukan Tipikor atau TPPU maka penyidik akan menyita fotocopy sertifikat yang di legalisir. Namun pada tanggal 18 Januari 2025, klien saya pagi-pagi diundang ke penyidik, namun disuruh jangan membawa Pengacara, sampai di penyidik klien saya diginikan, “Pak Agung tolong keluarkan Ipung, jangan jadikan pengacaranya Pak Agung, nanti kami akan bantu, karena pengacaranya Pak Agung itu cerewet dan kita ini sama-sama orang Bali masak kita mau musuhan”. Jadi ada perlakuan-perlakuan yang didiskriminatif, yang mengeluarkan statemen seperti itu, itu saya tidak terima,” lanjut Mbak Ipung.

Terkait propamkan Penyidik Polresta Denpasar, lebih jauh Mbak Ipung menjelaskan, “Saya melapor tanggal 20 Januari 2025, hari ini (Senin, 10 Februari 2025, red) saya di BAP untuk mengklarifikasi pengaduan saya yang saya kirim lewat surat, tadi sudah saya menjawab semua pertanyaan penyidik propam. Disitu ada 19 pertanyaan selama +- 4 jam, setelah ini akan dipanggil klien saya untuk membenarkan bahwa ini adalah Perkaranya dan Sertifikat Hak Milik nya , setelah itu baru melangkah ke penyidik,” tutup Ipung.

“Sampai sekarang belum disita, saya dapat SP2P terakhir pada tanggal 5 Februari kemarin, itu masih bahasanya permohonan sita khusus kami tidak diterima karena bukan Tipikor dan TPPU, maka penyidik akan melaksanakan gelar perkara, jadi kami tidak tau perkara kami ini sudah sampai mana,” sambung Mbak Ipung.

“Saya berharap, polisi segera sita barang bukti supaya kasus ini mempunyai kepastian hukum” tegasnya. (LE-VV)

Pos terkait