Apa Kabar Kota Layak Anak?

Tim Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kementerian PPPA) menggelar visitasi fasilitas ruang bermain ramah anak (RBRA) yang ada di Taman Hijau Demangan Kota Madiun, Jawa Timur sebagai bagian dari audit untuk mendukung Kota Layak Anak (KLA), Selasa (5/11/2024). (ANTARA/HO-Diskominfo Kota Madiun)

Jakarta, 18/12 (ANTARA/LE) – Telah lebih dari satu dekade berlalu, sudah sejauh mana pelaksanaan program Kabupaten/Kota Layak Anak (KLA) di Indonesia?

Program Kabupaten/Kota Layak Anak (KLA) yang telah diinisiasi sejak 2006 merupakan satu upaya pemerintah dalam rangka mewujudkan pemenuhan hak dan perlindungan anak.

Bacaan Lainnya

Penyelenggaraan KLA sendiri dilaksanakan melalui pengintegrasian kebijakan, program, anggaran, serta kegiatan pembangunan anak, baik di tingkat pemerintah pusat maupun pemerintah daerah.

Penyelenggaraan KLA berarti setiap pembangunan di kabupaten/kota mengintegrasikan hak-hak anak ke dalam setiap proses penyusunan kebijakan, program dan kegiatan pada masing-masing tingkatan wilayah, dimulai dari pemerintah pusat, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota, pemerintah kecamatan, hingga pemerintah desa/kelurahan.

Pelaksanaan KLA di daerah yang sudah lebih dari satu dekade nyatanya masih menghadapi berbagai tantangan.

Saat ini masih terdapat perbedaan antara kriteria penilaian KLA dengan kondisi yang ada di daerah. Dalam kriteria penilaian KLA daerah diminta untuk memiliki peraturan daerah tersendiri terkait dengan pelaksanaan KLA.

Namun di sisi lain di Indonesia telah mengalami hiper regulasi yang dapat menimbulkan potensi tumpang tindih pengaturan, baik secara vertikal maupun horizontal, serta memberi beban dalam proses harmonisasi peraturan.

Berdasarkan website peraturan.go.id (diakses pada 17 Desember 2024 pukul 13.35 WIB), saat ini di Indonesia telah memiliki 56.452 peraturan yang masih berlaku dan 19.602 di antaranya merupakan peraturan daerah.

Tantangan lain yang terjadi adalah rotasi pegawai yang cukup sering terjadi di daerah. Kondisi ini tentu menjadikan koordinasi dan proses transfer pengetahuan menjadi terhambat karena terputusnya informasi dengan dan dari pegawai yang sebelumnya terlibat dalam program KLA.

Pengetahuan yang kurang mengenai KLA serta proses transfer pengetahuan yang terhambat tentu membawa dampak pada penurunan komitmen serta peran para pemangku kepentingan dalam pengembangan KLA di daerah.

Tantangan selanjutnya adalah terbatasnya ruang partisipasi anak yang diberikan oleh orang tua maupun lingkungan, sebab anak kerap kali masih dianggap sebagai objek pembangunan.

Partisipasi anak sebenarnya dapat dijaring melalui forum anak yang berfungsi sebagai pelopor dan pelapor.

Sebagai pelopor, anak diharapkan dapat memulai aksi atau kontribusi dan sebagai agen perubahan di berbagai level, baik di tingkat nasional maupun daerah untuk mengatasi berbagai permasalahan anak di wilayahnya.

Sementara sebagai pelapor, anak diharapkan dapat melaporkan segala hal yang berkaitan dengan pemenuhan hak anak melalui berbagai macam saluran yang telah disediakan.

Frekuensi rotasi pegawai yang cukup sering terjadi di daerah tidak dapat terlepas dari adanya perubahan kebijakan politik dan/atau pergantian kepala daerah.

Rotasi yang tidak direncanakan dengan optimal tentu dapat membawa dampak pada terganggunya stabilitas administrasi pemerintahan serta pelayanan publik.

Untuk meminimalisir dampak tersebut, dapat dilakukan dengan memastikan bahwa proses rotasi dilakukan secara terencana dan transparan dengan menggunakan kriteria yang berbasis pada kinerja pegawai.

Selain itu, penyediaan sarana komunikasi, informasi, dan edukasi (KIE) dapat dilakukan untuk dapat meningkatkan pemahaman serta pengetahuan pegawai, pimpinan daerah dan/atau lembaga, serta masyarakat terhadap suatu isu atau program, dalam hal ini program KLA.

Komunikasi dengan menggunakan berbagai saluran untuk penyampaian pesan. Informasi dengan menyediakan data serta fakta yang dibutuhkan. Edukasi dengan memberikan materi untuk peningkatan kapasitas.

Bentuk KIE yang sering dianggap cukup efektif dan efisien, di antaranya adalah penggunaan media sosial, media cetak, serta kampanye komunitas.

Media sosial dengan konten berupa infografis, video pendek maupun unggahan interaktif lainnya yang dapat lebih menarik dan dapat menjangkau banyak orang secara cepat.

Media cetak dengan memberikan informasi secara jelas dan ringkas serta dapat disebarkan di lokasi yang strategis, sehingga dapat menjangkau audiens secara langsung.

Kampanye komunitas dengan melibatkan partisipasi masyarakat dan meningkatkan kesadaran secara langsung, dalam hal ini dapat bekerja sama dengan organisasi Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga (PKK) yang juga memiliki salah satu program berupa pendidikan keluarga melalui pelatihan dan seminar tentang pendidikan anak, kesehatan, dan gizi.

Kondisi ini dapat terwujud apabila terdapat komitmen dari pimpinan daerah untuk dapat mewujudkan KLA di daerahnya, tidak sekadar untuk meraih penghargaan serta mendapatkan tambahan Dana Alokasi Khusus Non-Fisik Bidang Perlindungan Perempuan dan Anak (DAK NF PPA).

Sementara itu, salah satu kunci untuk suksesi pelaksanaan upaya pemenuhan hak dan perlindungan anak adalah partisipasi aktif dari kelompok anak itu sendiri.

Suara anak

Nigel Thomas (2007) dalam tulisannya yang berjudul “Toward a Theory of Children’s Participation” menyebutkan bahwa “partisipasi” secara umum dapat merujuk pada pengambilan bagian dalam suatu kegiatan atau secara khusus untuk mengambil bagian dalam pengambilan keputusan.

Sementara Undang-Undang Perlindungan Anak Nomor 35 Pasal 10 Tahun 2014 menyatakan bahwa setiap anak berhak menyatakan dan didengar pendapatnya, menerima, mencari, dan memberikan informasi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya demi pengembangan dirinya sesuai dengan nilai-nilai kesusilaan dan kepatutan.

Oleh karena itu, untuk meningkatkan partisipasi anak dalam ranah publik, yang pertama harus dilakukan adalah dengan memberikan akses informasi terhadap isu-isu terkini yang anak sedang hadapi.

Setelahnya, anak perlu dilatih tentang keterampilan komunikasi, kepemimpinan, serta negosiasi untuk dapat merumuskan, menyampaikan, serta mengawal suara anak.

Hal yang tak kalah penting adalah dengan memberikan anak ruang untuk berbicara melalui forum yang mendiskusikan isu-isu penting bagi anak.

Perlu dipastikan bahwa suara anak tidak hanya disampaikan dan didengar saat forum diskusi berlangsung, melainkan juga diadvokasi dalam program dan kebijakan yang dijalankan oleh pemerintah, baik di level nasional maupun daerah.

Ketika program maupun kebijakan terkait anak sudah diimplementasikan oleh para pemangku kepentingan terkait, tentu perlu ada pelibatan Forum Anak untuk turut serta terlibat di dalamnya, termasuk dengan melakukan evaluasi serta umpan balik atas program tersebut, apakah sudah berjalan sebagaimana mestinya atau masih memerlukan perbaikan.

Kondisi ini tentu akan dapat tercipta jika ada pemahaman serta komitmen dari orang dewasa, bahwa anak bukanlah objek pembangunan, melainkan anak juga merupakan subjek pembangunan yang harus dilibatkan sejak perencanaan, pelaksanaan, hingga monitoring dan evaluasi dari program serta kebijakan, khususnya yang menyangkut tentang isu-isu anak.

Berbagai tantangan yang dihadapi tentu perlu direspons melalui evaluasi secara komprehensif untuk dapat mengukur bagaimana dampak atas kebijakan dan implementasi bagi anak di seluruh pelosok negeri.

Pelibatan seluruh pemangku kepentingan dalam proses evaluasi kebijakan menjadi penting dilakukan untuk dapat mengumpulkan data, menganalisis, memahami, serta memastikan bahwa kebijakan terkait KLA yang selama ini telah diterapkan dapat lebih tepat sasaran, tidak berlebihan dan tidak memberatkan.

Hal pertama yang perlu dilakukan adalah dengan mengidentifikasi pemangku kepentingan mana saja yang akan terlibat dan secara aktif dapat memberikan masukan serta pendapat tentang kebijakan yang telah diterapkan.

Langkah selanjutnya adalah dengan mengumpulkan data serta informasi dari berbagai sumber serta menganalisis dampaknya dengan mempertimbangkan berbagai aspek.

Selanjutnya adalah menentukan indikator keberhasilan yang relevan dengan tujuan kebijakan serta mencerminkan suara dari tiap pemangku kepentingan yang terlibat.

Setelahnya dapat dilakukan diskusi untuk mendapatkan hasil serta umpan balik yang kemudian dapat dijadikan sebagai bahan rekomendasi perbaikan.

Sebelum memasuki langkah terakhir, tentu perlu dibuat laporan hasil yang dapat dipahami dan diakses oleh semua pihak.

Terakhir, perlu dipastikan adanya tindak lanjut atas rekomendasi hasil evaluasi kebijakan yang telah dilakukan sehingga kegiatan evaluasi tidak sekadar kegiatan formalitas, namun juga membawa dampak secara nyata.

Kondisi ini dapat terwujud apabila terdapat kesadaran dari seluruh pemangku kepentingan bahwa kepentingan terbaik bagi anak perlu diupayakan serta untuk mewujudkan cita-cita mulia Indonesia Layak Anak (IDOLA) 2030 dan Indonesia Emas 2045. (ANT/LE)

Pos terkait