Purbalingga, Jawa Tengah, 02/12 (ANTARA/LE) – Kabut masih menggelayuti Goa Lawa Purbalingga (Golaga), Jawa Tengah, pada pengujung November 2024. Papan nama bertuliskan pengeling-eling atau yang berarti kenangan rasanya tepat menyambut kedatangan para wisatawan.
Sudah tentu setiap pengunjung akan mengingat hawa sejuk di sekitar gua. Membentang sepanjang 400 meter, pengunjung diajak menelusuri bagian-bagian gua dengan stalaktit dan stalagmit yang pendek-pendek karena tidak terbentuk dari karst atau kapur, tetapi dari letusan lava Gunung Slamet ribuan tahun silam.
Aroma khas dari parijoto juga menguar di sepanjang jalan menuju gua. Tanaman khas itu banyak ditemukan di daerah dengan dialek “ngapak” di bagian barat Jawa Tengah, yang mencakup wilayah Banjarnegara, Purbalingga, Banyumas, Cilacap, dan Kebumen. Terbukti mengandung antioksidan tinggi, tanaman itu sering digunakan oleh masyarakat sekitar untuk tradisi mitoni atau 7 bulanan bagi ibu hamil.
Golaga dan grup Objek Wisata Air Bojongsari (Owabong) berhasil mendapatkan penghargaan terbaik kedua dari Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa (Badan Bahasa) Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) atas komitmen trigatra bangun bahasa, yakni mengutamakan bahasa Indonesia, melestarikan bahasa daerah, dan menguasai bahasa asing.
Sebagai tempat wisata, sudah semestinya Golaga menjadi contoh baik bagi ruang-ruang publik lainnya di Indonesia karena di setiap penunjuk arah, pengunjung akan melihat papan-papan nama dalam tiga bahasa. Penggunaan ukuran tulisan juga sangat detail diperhatikan, di mana kata dalam bahasa Indonesia ditampilkan paling besar, bahasa Jawa dalam ukuran sedang, dan bahasa Inggris dalam ukuran kecil.
Beberapa contoh yang cukup menarik perhatian misalnya tulisan toilet yang diikuti dengan jamban dan water closet di bawahnya. Atau ruang pemasaran, berikut dengan nggon dodolan dan marketing room.
Contoh lainnya yakni cuci tangan, yang juga disertai dengan ngumbah tangan dan wash hand, juga jalur evakuasi yang diartikan dalan slamet dalam bahasa Jawa, dan evacuation route dalam bahasa Inggris.
Sekretaris Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa (Badan Bahasa) Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) Hafidz Muksin mengatakan, Golaga dapat menanamkan edukasi kepada pengunjung tentang pentingnya memperkuat kekayaan khazanah bahasa daerah kepada masyarakat.
Sebagai bangsa yang memiliki 715 bahasa daerah, Indonesia mesti terus berjuang untuk melestarikan bahasa-bahasa tersebut agar tidak kehilangan penutur dan terancam punah.
Komitmen menumbuhkan rasa cinta pada bahasa Indonesia
Pada masa kini, penggunaan bahasa Indonesia dan bahasa daerah di ruang publik terancam mengalami reduksi karena seluruh gawai yang kita gunakan sebagian besar menggunakan bahasa Inggris. Oleh karena itu, paparan bahasa Indonesia dan bahasa daerah di ruang publik menjadi penting agar masyarakat tetap berkomunikasi dan menyampaikan gagasan-gagasannya menggunakan kedua bahasa tersebut.
Edukasi untuk mengutamakan bahasa Indonesia dan melestarikan bahasa daerah juga mutlak terus dilakukan sejak dini, dan melalui tempat wisata dengan suasana yang sejuk, maka dapat menyegarkan pikiran anak-anak sehingga mampu lebih cepat menyerap dan mengingat bahasa-bahasa tersebut yang akan digunakan dalam kehidupan sehari-harinya.
Pelaksana Tugas Direktur Utama Perumda Owabong Purbalingga Eko Susilo mengemukakan, pengutamaan bahasa Indonesia di tempat wisata tersebut sudah tentu mementingkan kesenangan dan kenyamanan para pengunjung.
“Ketika pengunjung datang dan melihat terjemahan kata dalam bahasa ngapak, mereka biasanya senyum-senyum sendiri dan senang. Tujuan itulah yang ingin kita capai karena wisata sesungguhnya bersenang-senang dan membuat pikiran menjadi lebih segar sehingga bahasa-bahasa tersebut dapat menyerap lebih cepat ke dalam pikiran,” kata Eko.
Komitmen mengutamakan bahasa Indonesia juga dilakukan melalui pembekalan pemandu wisata yang mendapatkan dukungan penuh dari Dinas Olahraga, Kebudayaan Dan Pariwisata Kabupaten Purbalingga. Untuk menjadi pemandu wisata di Owabong, juga perlu menunjukkan sertifikasi kemampuan berbahasa Inggris.
Eko berharap, ke depan dapat ada penguatan kerja sama dengan Badan Bahasa terkait penguatan bahasa Indonesia kepada para pemandu wisata sehingga dapat menumbuhkan sikap positif masyarakat dalam penggunaan bahasa Indonesia.
Selain itu, apresiasi juga datang dari turis-turis mancanegara yang akan otomatis belajar menggunakan bahasa Indonesia dan bahasa Jawa ketika mengunjungi Golaga. Mereka dapat langsung melihat papan-papan penunjuk dan mempraktikkan penggunaan bahasa Indonesia dan bahasa Jawa ketika berkomunikasi dengan para pengunjung lokal.
Edukasi sejarah
Empat pengunjung asal Kabupaten Pemalang yang merupakan siswi-siswi asal SMK Medika Bantarbolang mengaku memilih Golaga sebagai tempat tujuan wisata mereka pada akhir pekan karena memiliki nilai sejarah yang penting untuk dipelajari.
Almas Miza Safura (15) memilih tempat ini karena sejuk, pemandangannya bagus, dan juga bisa belajar sejarah. Ada tempat buat bertapa dari tokoh-tokoh zaman dahulu. “Yang paling menarik ada tempat yang luas di bagian tengah untuk upacara 17 Agustus,” ujarnya.
Ketika masuk ke dalam goa, patung tokoh pewayangan Semar akan menyambut pengunjung dengan ciri khas wataknya yang selalu tersenyum dan mengayomi.
Nama Goa Lawa diambil karena gua tersebut pada dasarnya merupakan habitat dari Burung Kelelawar. Setiap sore menjelang malam, para kelelawar atau lawa dalam istilah Jawa, akan terbang secara berkelompok dan keluar dari dasar gua untuk mencari makan.
Selain itu, keunikan wujud batu di dinding-dinding gua yang mirip dengan bentuk dada kelelawar juga menjadi dasar penamaannya.
Gua tersebut mempertemukan budaya Islam dan Hindu dan Buddha di dalamnya. Di balai pertemuan agung, gua tersebut sejak zaman dahulu biasa dipakai oleh wali Allah Swt. atau waliyullah untuk bersemedi dan bermeditasi mencari ketenangan batin sambil merapal doa-doa agar senantiasa diberikan kebaikan selama hidup.
Sekitar 100 meter dari pintu masuk gua juga terdapat mata air yang dinamai Sendang Drajat, yang tidak pernah kering dan diyakini oleh masyarakat sekitar memiliki berbagai khasiat yang bermanfaat. Beberapa penelitian juga menunjukkan bahwa air yang diambil dari sumber di gua tersebut memiliki kandungan oksigen yang cukup tinggi sehingga bermanfaat untuk kesehatan.
Nama Sendang Drajat diambil karena salah seorang tokoh dalam Wali Songo atau Sunan Drajat pernah bersemedi di Goa Lawa dan mengambil air wudu untuk bersuci sebelum menunaikan salat di dalam gua.
Gua tersebut juga memiliki balai pertemuan agung, yang sering disewa pengunjung untuk pertemuan, menginap, pertunjukan busana, hingga upacara 17 Agustus.
Melangkah sedikit dari balai pertemuan agung, pengunjung akan menemukan sebuah telaga yang jernih dan memancarkan cahaya berkilauan seperti permata. Telaga itu kemudian dinamakan sebagai Kumala.
Telaga itulah yang memisahkan sejarah budaya Islam dan Hindu-Buddha di dalam gua.
Terdapat satu lokasi di mana aliran air yang jatuh dari atas dan luruh ke dinding-dinding gua secara tidak sengaja membentuk angka empat, tujuh, dan delapan, yang oleh masyarakat sekitar kemudian dimaknai sebagai “tempat tujuan yang sempurna”.
Tempat, dari angka empat, tujuan, dari angka tujuh, dan sempurna dari angka delapan karena dalam bilangan, hanya angka 8 tersebut yang tidak memiliki ujung yang terputus.
Sebagai tempat wisata atau ruang publik, semestinya Golaga menjadi contoh baik bagi tempat-tempat lain untuk mengedukasi masyarakat tentang pentingnya bahasa Indonesia, bahasa daerah, dan bahasa asing, sekaligus mengenalkan sejarah bangsa.
Bahasa Indonesia tercipta dari keinginan kuat para pemuda untuk merdeka dari segala penjajahan. Oleh karena itu, agar nilai perjuangannya tidak sia-sia, kita mesti aktif menggunakannya tidak hanya untuk berkomunikasi, tetapi juga untuk menyampaikan gagasan-gagasan, inovasi baru, dan membuat perubahan sehingga maknanya tetap hidup untuk memperkuat persatuan bangsa. (ANT/LE)