Tabanan, LenteraEsai.id – Pementasan Topeng Sidhakarya dalam hubungannya dengan pelaksanaan Dewa Yadnya merupakan simbol sidanya atau puputnya karya (puput lan mapikolih).
Demikian juga pementasan Topeng Sidhakarya ada yang dilakukan pada tiga hari setelah upacara puncak, yakni pada Upacara Nyenuk. Pada upacara ini Topeng Sidhakarya dipentaskan untuk menerima tamu para Dewata yang membawa perlengkapan upacara guna suksesnya pelaksanaan yadnya.
Hal ini terungkap dari pelaksanaan Puncak Karya Pengurip Gumi di Pura Luhur Batukaru, Kecamatan Penebel, Kabupaten Tabanan, Kamis (20/2) yang melibatkan Wakil Gubernur Bali Tjokorda Oka Artha Ardhana Sukawati, yang tampil ‘nyolahan’ Topeng Sidakarya.
Selain itu sebagai pemuput karya, pementasan Topeng Sidhakarya yang dipertunjukkan sebagai tari sakral Wali dan Bebali, juga dimaksudkan sebagai suatu simbolis pengusir bhuta kala agar tidak mengganggu pelaksanaan yadnya, atau malah nyomya bhuta kala agar dapat membantu pelaksanaan yadnya (dari bhuta kasupat menjadi dewa).
“Oleh sebab itu baik seni dan juga adat harus tetap kita jaga, agar tetap lestari sekaligus mampu menjaga keseimbangan nyata secara skala dan juga niskala,” ujar Wagub Bali yang arab disapa Cok Ace.
Menurut ajaran sastra agama, wajib melaksanakan Panca Yadnya, yakni: Dewa Yadnya, Bhuta Yadnya, Rsi Yadnya, Pitra Yadnya dan Manusa Yadnya. Melaksanakan Panca Yadnya itu dilatarbelakangi oleh unsur keyakinan adanya tiga hutang yang disebut Tri Rna, yaitu : Dewa Rna, Resi Rna dan Pitra Rna.
Karya yang melibatkan seluruh warga dan pangempon di Pura Luhur Batukaru tersebut, pelaksanaannya telah dipersiapkan hampir sejak empat bulan sebelumnya.
Puncak karya yang bertepatan pada hari Umanis Galungan wuku Dungulan ini, dipuput oleh 14 sulinggih dari Karangasem, Gianyar dan Tabanan yang merupakan Sarwa Sadaka. (LE-TB1)