Badung, LenteraEsai.id – Mengaitkan kebencanaan dan pentahelix ? Doni Monardo ahlinya. Sejak dilantik menjadi Kepala BNPB, Januari 2019, mantan Danjen Kopassus ini sudah banyak bicara di depan forum –resmi maupun tidak resmi—tentang pentingnya penanganan kebencanaan menggunakan konsep sinergis Pentahelix.
Tak heran jika Doni diminta “Kebencanaan dan Pentahelix”. Podium tempat Doni berceramah, sungguh agung, yakni forum *“9th International Conference on Building Resilience (ICBR) – Investing In Disaster Risk Reduction and Climate Change Adaptation for Building Resilience Cities – International Conference.”
Penyelenggaranya juga institusi yang sangat kredibel, yakni ITB dan Hudderfields University, Inggris. Acara itu sendiri berlangsung di Westin, Nusa Dua tanggal 13 – 15 Januari 2020, dalam rangka 100 tahun ITB.
Doni tidak perlu membaca teks untuk menjabarkan materi ceramah. Dalam banyak kesempatan, ia sudah mengupas materi itu dengan sangat fasih. Pernah suatu kali, Doni berbicara tentang pentahelix. Saat itu, konsep pentahelix di tangan Kepala BNPB Doni Monardo, menjadi lebih hidup dan paripurna. Pentahelix dimaknai sebagai kerangka kerja dalam berkegiatan dan berkarya agar lebih maksimal.
Ada lima pihak yang harus diperhatikan peran, kepentingan, maupun karakternya. Unsurnya terdiri atas pemerintah (administration), masyarakat (society), bisnis/investor (business), peneliti (knowledge), dan media.
Berbicara tentang pentahelix, Doni sudah mengaplikasikannya dalam kinerja sehari hari. Betapa pun, sinergitas yang menjadi ruh pentahelix tidak melulu untuk kepentingan bisnis, tetapi juga bisa diterapkan untuk menangani bencana.
Bahkan, di tangan seorang yang berkarakter creative leader pentahelix adalah kunci sakti yang mampu membuahkan hasil ideal serta maksimal. Pentahelix juga semacam kuda tunggangan yang membawa sang penunggang menjadi agen perubahan.
Sejak dilantik sebagai Kepala BNPB 9 Januari 2019 Doni menanamkan kepada semua jajarannya di tingkat provinsi dan kabupaten, terkhusus para eselon satu dan dua kiranya mengaplikasikan jurus pentahelix.
“Pencegahan dan penanganan bencana alam, tidak bisa dilakukan oleh satu pihak. Dalam hal ini, pentahelix adalah sebuah jawaban. Tinggal disesuaikan jurus pentahelix pra bencana, tanggap darurat dan pasca bencana. Sebab karakter masalahnya berbeda beda dan juga memperhatikan aspek lokal,“ papar Doni yang siang itu didampingi Tenaga Ahli BNPB Egy Massadiah, Plt Deputy Darurat Dody Ruswandi dan Made Rentin Kalaksa BPBD Bali.
Doni kemudian mengimbuhkan dua unsur lain yang menjadikan pentahelix paripurna sebagai *“senjata trisula”* BNPB melaksanakan tugas negara.
Dua unsur itu yakni, jiwa gotong royong dan semangat untuk berbuat baik. Jadilah trisula : sinergi (pentahelix), gotong royong, dan semangat berbuat baik.
Doni mengingatkan Pidato Bung Karno 1 Juni 1945, yang kemudian dirumuskan menjadi Pancasila. Dalam pidato itu, Bung Karno menawarkan konsep ideologi negara, lima jumlahnya. Dari yang lima, bisa diperas menjadi tiga, bahkan bisa diperas lagi menjadi satu. Lima sila menjadi satu, disebut gotong royong.
“Sebuah jiwa bangsa Indonesia. Tradisi bangsa yang tidak ada di bangsa-bangsa lain. Gotong royong adalah murni jadi diri bangsa Indonesia, dan saya percaya jika itu jiwa maka tidak akan pernah luntur. Kita hanya perlu mengasah,” papar Doni pula.
Ruh gotong royong, tidak melulu kerjasama, dan tidak cukup dengan penjabaran sinergi. Di dalam spirit gotong royong, terdapat pengertian tulus-ikhlas, ringan sama dijinjing-berat sama dipikul, rela berkorban, tanpa pamrih.
“Karena itu, pentahelix dalam praktiknya adalah semangat jiwa gotong royong,” kata prajurit yang dikenal peduli lingkungan itu.
Doni kembali menyitir, betapa kata *“gotong royong”* memiliki makna magis bagi bangsa Indonesia. Saat itu, Bung Karno berkata, “Gotong-royong adalah pembantingan tulang bersama, pemerasan keringat semua, keringat semua buat kebahagiaan semua. Holopis kuntul baris buat kepentingan bersama. Dari semua untuk semua,” ujar Doni mengutip Bung Karno. (LE – BD)