Meninjau Ulang Kualitas Pekerjaan di Indonesia

Pekerja memasukkan barang kiriman ke truk di salah satu tempat jasa ekspedisi kawasan Tanah Abang, Jakarta, Rabu (29/5/2024). ANTARA FOTO/Reno Esnir/wpa.

Jakarta, 06/5 (ANTARA/LE) – Indonesia kerap merayakan penurunan angka pengangguran sebagai penanda kemajuan ekonomi.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), tingkat pengangguran terbuka pada Agustus 2024 tercatat sebesar 4,91 persen, lebih rendah dibandingkan angka sebelum pandemi yang mencapai 5,23 persen pada Agustus 2019.

Bacaan Lainnya

Sekilas, angka-angka ini menunjukkan bahwa semakin banyak warga Indonesia yang bekerja, yang secara teori seharusnya berdampak positif terhadap kesejahteraan ekonomi mereka. Namun, optimisme ini cepat memudar ketika kita menelaah lebih jauh, melampaui angka agregat, ke dalam pengalaman nyata para pekerja.

Di era ini, memiliki pekerjaan tidak lagi menjamin jalan keluar dari kemiskinan. Banyak dari mereka yang secara statistik tercatat sebagai “bekerja” tetap hidup dalam ketidakpastian ekonomi, penghasilan tidak tetap, tanpa jaminan sosial, dan menghadapi kondisi kerja yang buruk.

Ketika peningkatan jumlah pekerja tidak disertai dengan perbaikan kualitas pekerjaan, maka keberhasilan yang diproklamirkan menjadi semu. Kemajuan yang tampak justru menyembunyikan masalah struktural mendalam di pasar kerja Indonesia.

Salah satu indikator paling mencolok dari krisis kualitas pekerjaan ini adalah tingginya proporsi pekerja informal. Per Agustus 2024, sebanyak 57,95 persen angkatan kerja Indonesia masih berada dalam sektor informal. Mereka termasuk pekerja mandiri, pekerja keluarga tak dibayar, buruh harian lepas, dan kategori lain yang berada di luar jangkauan perlindungan hukum.

Bagi kelompok ini, bekerja tidak berarti memperoleh asuransi kesehatan, jaminan pensiun, pesangon, apalagi jaminan kerja. Dengan kata lain, mayoritas pekerja Indonesia terpaksa mengarungi pasar kerja yang menuntut mereka bertahan sendiri dengan dukungan kelembagaan yang sangat minim.

Sektor informal telah menjadi bantalan dari kegagalan sektor formal menyerap tenaga kerja secara layak. Ketika industri tidak mampu atau tidak mau membuka lapangan kerja yang bermartabat, masyarakat didorong untuk mencari nafkah dalam bentuk-bentuk kerja serabutan –berjualan di jalanan, menjadi pengemudi ojek daring, atau merangkai beberapa pekerjaan sekaligus demi bertahan hidup.

 

Keberadaan pekerjaan informal memperdalam kerentanan dan ketimpangan.

Keberadaan pekerjaan informal memang menurunkan angka pengangguran secara statistik, namun sekaligus memperdalam kerentanan dan ketimpangan.

Bahkan, di sektor formal, kondisi kerja jauh dari kata ideal. BPS mencatat, pada 2023, sebanyak 27,57 persen pekerja upahan menerima gaji di bawah dua pertiga dari median upah nasional, kategori yang secara internasional digolongkan sebagai pekerjaan bergaji rendah.

Artinya, lebih dari satu dari empat pekerja berada dalam pekerjaan berupah minim yang tak memenuhi standar hidup layak.

Masalah ini diperparah oleh lemahnya sistem pengupahan minimum di Indonesia. Meskipun pemerintah telah menaikkan rata-rata upah minimum provinsi sebesar 6,5 persen pada 2025, kenaikan tersebut belum mampu mengejar laju kebutuhan hidup.

Sementara itu, pekerja informal yang jumlahnya lebih dari separuh jumlah pekerja Indonesia, tidak tercakup dalam regulasi upah minimum sama sekali. Pendapatan mereka sangat tergantung pada permintaan harian dan negosiasi tanpa dasar hukum yang kuat. Tidak ada batas bawah upah, tidak ada perlindungan ketika krisis melanda. Bagi mereka, pekerjaan bukanlah jalan menuju kemakmuran, melainkan perjuangan harian demi bertahan hidup.

Kegandrungan terhadap penurunan angka pengangguran telah menciptakan bias kebijakan yang lebih mengutamakan penciptaan lapangan kerja ketimbang perbaikan mutu kerja. Pola pikir ini mengabaikan satu kenyataan penting: pekerjaan semata tidak menjamin martabat maupun kestabilan hidup. Fokus yang terlalu kuantitatif telah membuka jalan bagi menjamurnya pekerjaan berkualitas rendah, yang tidak memberi kompensasi adil maupun prospek jangka panjang.

 

Fenomena kerja non-standar merusak rasa aman, bahkan di sektor formal

Fenomena kerja non-standar seperti kontrak jangka pendek, outsourcing, dan pekerjaan paruh waktu semakin merusak rasa aman, bahkan di sektor formal. Banyak pekerja kini hidup dalam ketidakpastian yang konstan, dengan kontrak kerja sementara yang bisa tak diperpanjang sewaktu-waktu. Peralihan menuju fleksibilitas tenaga kerja, yang kerap dibenarkan demi daya saing global, justru mengorbankan hak pekerja dan meningkatkan kecemasan finansial.

Dalam kondisi seperti ini, loncat kerja bukan lagi cerminan ambisi atau mobilitas karier, melainkan kebutuhan. Pekerja berpindah dari satu posisi sementara ke posisi lainnya, tanpa kesempatan membangun jenjang karier yang stabil atau mengumpulkan manfaat jangka panjang.

Konsekuensi jangka panjang dari kondisi ini sangat serius yaitu stagnasi upah, tekanan mental, mandeknya mobilitas sosial, dan kekecewaan kolektif terhadap janji kesejahteraan lewat kerja keras.

Kerentanan ini tidak hanya menimpa kelompok miskin. Kelas menengah yang selama ini dianggap sebagai mesin konsumsi domestik juga semakin terhimpit. Data BPS menunjukkan bahwa proporsi kelas menengah menyusut dari 21,45 persen pada 2019 menjadi 17,13 persen pada 2024. Sebaliknya, proporsi individu rentan yang hidup sedikit di atas garis kemiskinan justru meningkat.

Inflasi, stagnasi penghasilan, dan lonjakan biaya pendidikan, perumahan, serta kesehatan telah menekan segmen ini. Banyak yang terpaksa menggunakan tabungan, menunda kepemilikan rumah, atau bergantung pada utang konsumtif demi mempertahankan gaya hidup yang semula stabil.

Erosi kelas menengah bukan sekadar gejala sosial, melainkan peringatan ekonomi. Kelas menengah yang menyusut melemahkan permintaan agregat, menggerus basis pajak, dan memperbesar ketimpangan. Dalam jangka panjang, kondisi ini bisa mengarah pada masyarakat yang terbelah antara segelintir elite kaya dan mayoritas yang hidup tanpa jaminan ekonomi.

Menghadapi tantangan ini, kebijakan ketenagakerjaan Indonesia memerlukan pergeseran paradigma. Tujuan kita tak lagi sekadar menambah jumlah pekerjaan, melainkan memastikan kualitas pekerjaan. Ini berarti mereposisi peran kerja dalam pembangunan ekonomi, bukan sebagai prestasi statistik semata, melainkan sebagai wahana pertumbuhan inklusif, perlindungan sosial, dan pemuliaan martabat manusia.

Pertama, sistem upah minimum harus ditinjau ulang. Alih-alih ditentukan lewat negosiasi politik antara pengusaha dan pemerintah daerah, upah minimum seharusnya berlandaskan kajian empirik atas kebutuhan hidup layak dan struktur pengeluaran rumah tangga. Kerangka upah layak yang disesuaikan antarwilayah dan diperbarui secara berkala akan menjadi tolok ukur yang lebih akurat terhadap kesejahteraan pekerja.

Kedua, perlindungan ketenagakerjaan perlu diperluas hingga mencakup pekerja informal. Ini bisa mencakup skema jaminan sosial portabel, subsidi pemerintah untuk asuransi kesehatan, serta dukungan pendapatan bagi pekerja mandiri. Indonesia juga dapat menjajaki model inovatif seperti program pendapatan dasar universal atau bantuan bersyarat yang dikaitkan dengan pelatihan keterampilan.

Ketiga, kualitas kerja harus diintegrasikan dalam insentif fiskal dan regulasi. Perusahaan yang memenuhi standar kerja layak –upah layak, kontrak stabil, protokol keselamatan– seharusnya memperoleh keringanan pajak, prioritas pengadaan, atau insentif lainnya. Dengan cara ini, perhitungan bisnis akan beralih dari efisiensi biaya semata menuju investasi pada sumber daya manusia.

Keempat, mekanisme penegakan hukum ketenagakerjaan harus diperkuat. Banyak pengusaha yang melanggar ketentuan hukum tanpa konsekuensi. Tanpa inspeksi rutin, sistem pengaduan pekerja, dan sanksi efektif, standar ketenagakerjaan akan tetap menjadi angan-angan. Kementerian Ketenagakerjaan perlu diberi kewenangan dan sumber daya untuk benar-benar menjadi penjaga hak pekerja.

Kelima, pengembangan tenaga kerja harus menjadi pilar utama dalam perencanaan nasional. Pendidikan dan pelatihan vokasional perlu lebih responsif terhadap tren pasar kerja, dengan keterlibatan aktif dari industri, serikat pekerja, dan pemerintah daerah. Program pembelajaran sepanjang hayat, peningkatan keterampilan, dan literasi digital harus diperluas secara signifikan agar tenaga kerja Indonesia tidak tertinggal.

Pekerjaan bukan sekadar alat mencari nafkah. Ia adalah fondasi harga diri, inklusi sosial, dan aktualisasi potensi manusia. Ketika pekerjaan menjadi tidak pasti, upah rendah, dan tanpa hak, masyarakat terfragmentasi dan kontrak sosial mulai rapuh.

Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB), khususnya Tujuan 8 tentang “Pekerjaan Layak dan Pertumbuhan Ekonomi”, menawarkan arah yang relevan. Namun, tujuan ini harus diterjemahkan menjadi aksi nyata di tingkat nasional. Indonesia perlu melampaui pengukuran kerja sebagai angka headline dan mengadopsi visi ketenagakerjaan yang berpusat pada kualitas, keadilan, dan ketahanan.

Saat dunia memperingati Hari Buruh pada 1 Mei, Indonesia mesti menjadikan momen ini bukan hanya untuk merayakan kerja, melainkan juga untuk menghadapi kenyataan pahit: bahwa pekerjaan tanpa martabat adalah keberhasilan yang kosong.

Mewujudkan hal ini tentu tidak mudah. Dibutuhkan keberanian politik, investasi fiskal, dan kolaborasi lintas sektor. Namun alternatifnya, yakni ekonomi yang tumbuh tanpa mengangkat rakyat dari ketidakpastian, bukanlah pilihan yang berkelanjutan.

Jika Indonesia sungguh ingin membangun pembangunan yang inklusif, maka pekerjaan layak tidak boleh menjadi hak istimewa bagi segelintir orang. Ia harus menjadi standar bagi semua. (ANT/LE)

Pos terkait