Jakarta, 06/5 (ANTARA/LE) – Indonesia memiliki anugerah besar dalam bentuk kekayaan sumber daya alam yang melimpah. Dari Sabang hingga Merauke, dari hutan-hutan tropis yang rimbun hingga tambang-tambang emas dan tembaga yang menjadi incaran dunia, negeri ini ibarat permata di mata geopolitik global.
Keberlimpahan itu, seperti yang diangkat oleh sejarawan dan Indonesianis Dr. Greg Poulgrain dalam GREAT Lecture yang digelar di Kebayoran Baru pada 5 Mei 2025, sudah semestinya menjadi berkah bagi seluruh rakyat Indonesia, termasuk Papua, yang kekayaannya layak dinikmati masyarakatnya sendiri.
Kekayaan alam diharapkan tidak menjadi sumber ketidakpuasan, atau bencana politik, sehingga pengelolaan dan distribusinya harus adil dan berorientasi pada kesejahteraan rakyat.
Dalam forum tersebut, Dr. Poulgrain menyoroti bahwa sejarah panjang Indonesia sebagai wilayah strategis dalam percaturan politik global telah menempatkannya di tengah pertarungan kekuatan besar dunia.
Di masa Perang Dingin, Indonesia bukan sekadar negara berkembang yang baru merdeka, tetapi juga medan tempur kepentingan antara Blok Barat dan Blok Timur.
Bahkan, Poulgrain menyingkap kemungkinan adanya ketegangan di tubuh elite Amerika Serikat sendiri, antara Presiden John F. Kennedy dan Direktur CIA Allen Dulles, yang salah satunya berkaitan dengan kepentingan atas kekayaan alam Papua.
Di titik inilah, menurut Poulgrain, bangsa ini perlu memahami bahwa isu Papua tidak semata-mata soal separatisme, melainkan cerminan dari pentingnya untuk memperhatikan lebih dalam soal distribusi hasil kekayaan alam.
Kekayaan mineral di Papua, yang mencakup emas, tembaga, dan berbagai komoditas bernilai tinggi, telah lama menjadi tumpuan ekspor dan sumber devisa negara.
Namun, realitas sosial dan ekonomi di wilayah tersebut kerap menunjukkan fakta yang berbeda dari harapan. Akses terhadap pendidikan, layanan kesehatan, infrastruktur dasar, dan kesempatan ekonomi yang belum merata masih menjadi persoalan mendasar.
Sebagian masyarakat Papua masih ada yang merasa tertinggal, terpinggirkan, dan tidak dilibatkan dalam pengambilan keputusan mengenai masa depan tanah mereka.
Ketimpangan ini yang kemudian, menurut Poulgrain, menjadi pemicu ketidakpuasan berpotensi untuk mengemuka.
Pentingnya pendekatan yang holistik dan jangka panjang dalam pengelolaan sumber daya.
Poulgrain, yang juga dikenal luas lewat buku-bukunya seperti The Incubus of Intervention (2015), Genesis of Konfrontasi (2019), dan JFK vs Allen Dulles: Battleground Indonesia (2020), serta satu karya mendatang berjudul The Curse of Gold, menyampaikan pentingnya pendekatan yang holistik dan jangka panjang dalam pengelolaan sumber daya.
Ia menegaskan bahwa strategi nasional Indonesia dalam hal ini harus mencakup aspek ekonomi, lingkungan, budaya, dan yang tak kalah penting, keadilan sosial.
Visi semacam ini hanya bisa dicapai bila ada tata kelola yang transparan, inklusif, dan menjunjung tinggi kepentingan rakyat banyak di atas kepentingan segelintir elite.
Diskusi yang dimoderatori oleh peneliti Omar Thalib ini menghadirkan sejumlah pemikir dan tokoh penting, termasuk Dr. Sidratahta Mukhtar dan Dr. Zarmansyah sebagai penanggap utama, serta dihadiri akademisi dari berbagai institusi seperti Dr. Indra Wardhana dari Pertamina University, Dr. Faisal Nurdin dan Dr. Rahmi Fitryani dari UIN Jakarta, hingga tokoh internasional seperti peneliti isu Kashmir asal Belanda Laura Schuurmans dan diplomat Kedutaan Besar AS, Jeremy Kight.
Kehadiran para pengambil kebijakan dari kementerian, politisi lintas partai seperti Dr. Poempida Hidayatulloh dan Dr. Nurhayati Assegaf, hingga pelaku usaha seperti Poppy Dharsono dari KADIN menambah bobot strategis pertemuan ini.
Mereka menjadi cermin bahwa isu pengelolaan sumber daya alam bukan hanya urusan teknokratis, tapi juga politis, kultural, dan menyangkut masa depan bangsa secara keseluruhan.
Instrumen Pemerataan
Ketua Dewan Direktur GREAT Institute, Dr. Syahganda Nainggolan menegaskan bahwa “kutukan” sumber daya alam dapat diubah menjadi rahmat bila bangsa ini dipimpin oleh figur yang punya nasionalisme kuat dan visi kebangsaan yang jelas.
Pernyataan ini sangat relevan dengan situasi saat ini, ketika Presiden terpilih Prabowo Subianto menghadapi tantangan besar dalam membawa Indonesia keluar dari paradoks antara kaya sumber daya tetapi belum makmur secara menyeluruh.
Syahganda menyampaikan harapan bahwa di bawah kepemimpinan Prabowo, Indonesia mampu menjadikan kekayaan alam sebagai instrumen pemerataan kesejahteraan.
Senada dengan itu, Direktur Geopolitik GREAT Institute, Teguh Santosa, menyoroti pentingnya kemandirian nasional dalam situasi global yang kian rumit, seperti yang ditandai oleh perang dagang antara Amerika Serikat dan Tiongkok.
Ia mencatat bahwa Indonesia mulai menunjukkan arah kebijakan yang tidak lagi hanya bersandar pada kepentingan asing, tetapi lebih berorientasi pada nasionalisme ekonomi.
Teguh menambahkan bahwa jika semangat ini juga diterapkan dalam pengelolaan sumber daya, dan diiringi oleh distribusi hasil yang adil, maka bangsa ini bisa terhindar dari jebakan konflik internal dan eksploitasi luar yang berkepanjangan.
Pentingnya pendekatan atas prinsip keadilan, partisipasi lokal, dan pengakuan atas hak-hak adat.
Dalam konteks Papua, pendekatan baru yang dibangun di atas prinsip keadilan, partisipasi lokal, dan pengakuan atas hak-hak adat menjadi sangat penting.
Sumber daya alam harus dikelola secara berkelanjutan dengan memperhatikan kearifan lokal dan nilai-nilai budaya setempat.
Alih-alih melihat wilayah seperti Papua hanya sebagai tambang kekayaan, negara harus memandangnya sebagai wilayah yang memiliki martabat, sejarah, dan kontribusi strategis dalam mozaik kebangsaan.
Negara ini bisa belajar dari negara-negara lain yang berhasil mengelola sumber daya mereka untuk kepentingan rakyat, seperti Norwegia yang menerapkan sovereign wealth fund berbasis hasil minyaknya, atau Botswana yang mampu mengelola tambang berlian dengan model tata kelola yang inklusif dan transparan.
Indonesia memiliki peluang besar untuk menempuh jalan serupa, dengan catatan ada kemauan politik yang kuat dan keberanian untuk mengubah struktur lama yang terlalu sentralistik dan elite-oriented.
Langkah pertama adalah membangun kembali kepercayaan antara negara dan rakyat, terutama mereka yang tinggal di wilayah kaya sumber daya namun miskin manfaat.
Langkah berikutnya adalah merancang kebijakan yang berbasis data, adil secara spasial, dan berpihak pada masyarakat akar rumput.
Pendekatan ini bukan saja akan memperkuat integrasi nasional, tapi juga menjadi jawaban atas pertanyaan besar tentang bagaimana kekayaan alam Indonesia bisa menjadi rahmat dan bukan kutukan.
Diskusi soal kekayaan alam dan pemerataan pengelolaannya ini bukan sekadar soal sejarah dan geopolitik. Ia membuka ruang refleksi yang lebih dalam tentang masa depan bangsa.
Bahwa kekayaan bukanlah jaminan kesejahteraan jika tidak disertai dengan keadilan. Bahwa sumber daya bukanlah modal kekuatan jika tidak dikelola dengan kearifan dan visi jangka panjang.
Dan bahwa masa depan Papua dan Indonesia secara keseluruhan berada di tangan anak bangsa, dalam cara semua merumuskan ulang arti pembangunan, kemakmuran, dan keadilan.
Pada akhirnya, Papua bukan hanya tanah yang kaya mineral, tetapi juga kaya nilai dan martabat. Dalam martabat itulah seharusnya pembangunan dimulai.