Jejak Juang Marsinah Menuju Gelar Pahlawan Nasional

Pengunjuk rasa yang tergabung dalam Komite Perjuangan Perempuan (KPP) Yogyakarta melakukan aksi di kawasan Tugu Pal Putih, Yogyakarta, Sabtu (14/5). Mereka mendesak pemerintah untuk mengusut tuntas kasus pembunuhan aktivis buruh, Marsinah, yang dibunuh 23 tahun silam, tepatnya pada 8 Mei 1993. (ANTARA FOTO/Hendra)

Jakarta, 06/5 (ANTARA/LE) – Pada Kamis (1/5), nama Marsinah kembali menggema di antara kibaran bendera dan lautan manusia berseragam serikat pekerja yang memadati jantung ibu kota. Lapangan Monas menjelma menjadi panggung peringatan bahwa perjuangan kaum buruh tidak pernah benar-benar usai.

Nama aktivis buruh yang meninggal tragis pada 1993 kembali mencuat di peringatan Hari Buruh Internasional (May Day) 2025, ketika Presiden Prabowo Subianto mengungkap hak istimewanya memberi gelar Pahlawan Nasional bagi sosok Marsinah.

Bacaan Lainnya

“Asal seluruh pimpinan buruh mewakili kaum buruh, saya akan mendukung Marsinah menjadi Pahlawan Nasional,” kata Presiden, disambut gemuruh tepuk tangan buruh.

Dukungan itu disampaikan sebagai respons atas aspirasi yang telah lama disuarakan para pimpinan serikat buruh. Salah satunya, Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Said Iqbal, yang menilai belum ada satu pun tokoh otentik dari garis kaum mereka yang diakui secara resmi sebagai pahlawan bangsa.

Nama Marsinah dianggap lebih mewakili pergerakan kaum buruh di Indonesia, meski dalam catatan sejarah, nama Jacob Nuwa Wea dan Muchtar Pakpahan selalu menempati posisi penting sebagai tokoh yang berpengaruh.

Jacob Nuwa Wea dikenal sebagai Menteri Tenaga Kerja yang berangkat dari latar belakang manajer di sebuah pabrik di Pasar Rebo, Jakarta. Ia terkenal setelah berhasil meloloskan Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, sebuah regulasi yang hingga kini menjadi rujukan utama perlindungan tenaga kerja di Indonesia.

Meskipun demikian, kiprahnya kerap dianggap lebih kuat dalam ranah politik dibanding gerakan buruh itu sendiri.

Sementara itu, Muchtar Pakpahan dikenal luas sebagai tokoh elit yang berani melawan rezim Orde Baru di bawah kepemimpinan Soeharto.

Pendiri Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (SBSI) ini kerap disebut sebagai simbol perlawanan kelas pekerja terhadap otoritarianisme, menjadikannya salah satu figur penting dalam sejarah buruh Indonesia, meski kiprahnya juga tidak lepas dari citra sebagai kalangan elit gerakan.

Walaupun berperan besar dan memiliki rekam jejak profesi buruh, bagi KSPI, kedua figur itu lebih sebagai elit politik atau birokrat ketimbang berasal langsung dari trah buruh di akar rumput.

Bagi peraih The Febe Elizabeth Velasquez award dari Presiden FNV Mondiaal Belanda, Ton Heerts pada 2013 itu, Marsinah tidak berbicara elit, tapi tentang simbol perlawanan dari orang kecil. Simbol perlawanan dari orang kecil, bagi kelompok buruh lebih bisa diterima ketimbang ketokohan yang elit.

Pernyataan Presiden Prabowo di Monas menjadi titik balik atas perjuangan kaum buruh Indonesia yang telah lama menuntut pengakuan negara atas jasa para pejuang ketenagakerjaan.

Presiden Prabowo, lantas meminta agar pimpinan buruh bermufakat untuk menyepakati nama yang akan diusulkan ke pemerintah, seraya memastikan restunya jika ada kesepakatan kolektif.

Wacana ini membuka kembali diskusi tentang pengakuan terhadap buruh dalam sejarah bangsa. Lantas, apakah Marsinah benar-benar representasi paling otentik dari perjuangan kaum buruh Indonesia?


Jejak Marsinah

Dua dekade silam, layar lebar menayangkan film garapan Slamet Rahardjo yang mencoba menghidupkan kembali tragedi getir seorang buruh perempuan di PT Catur Putra Surya (CPS), Porong, Sidoarjo, yang namanya kini abadi sebagai simbol keberanian atas represi kekuasaan.

Marsinah, perempuan kelahiran 1969 di Nglundo, Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur, wafat di usia 24 tahun, usia yang bagi banyak orang adalah masa merangkai cita-cita dan harapan, tapi baginya menjadi jejak perjuangan terakhir.

Lulus dari SMA Muhammadiyah dengan impian menjadi guru, Marsinah yang lahir dari rahim keluarga miskin itu harus mengubur cita-citanya sebab keterbatasan biaya.

Jalan hidup membawanya ke dunia kerja di sebuah pabrik arloji, tempat ia kemudian menemukan panggilan yang lebih besar untuk membela hak koleganya yang tertindas.

Pada 3 dan 4 Mei 1993, Marsinah berdiri di garda depan demonstrasi menuntut kenaikan upah dari Rp1.700 menjadi Rp2.250 per hari, serta tunjangan Rp550 per hari yang tetap bisa didapat ketika buruh absen bekerja, sesuai surat edaran Gubernur Jawa Timur No. 50/1992, sebuah hak yang seharusnya tidak perlu dipertaruhkan dengan darah.

Film berdurasi sekitar 1,5 jam itu merangkum kesaksian rekan seperjuangan Marsinah tentang 13 buruh yang digelandang ke markas Kodim 0816/Sidoarjo atas tuduhan sebagai provokator hingga pemberontakan di rezim Orde Baru.

Selang sehari pasca-aksi, Marsinah dengan keberanian yang jarang dimiliki orang lain, menyusul ke markas militer itu untuk mencari kabar rekan-rekannya. Setelah itu, sekitar pukul 22.00 WIB, Marsinah lenyap tanpa jejak.

Baru pada 8 Mei 1993, tubuh Marsinah ditemukan terbujur kaku di sebuah gubuk di daerah Wilangan, Nganjuk, Jawa Timur, sekitar 200 km dari tempatnya bekerja. Nyawanya dihabisi.

Presiden Soeharto, kala itu, memerintahkan untuk mengusut tuntas kasus yang menimpa Marsinah. Hasilnya, polisi menetapkan sembilan tersangka, termasuk direktur perusahaan tempat Marsinah bekerja Yudi Susanto, dan kabag personalia di perusahaan itu Mutiari.

Yudi dihukuman 17 tahun karena dituduh sebagai dalang pembunuhan, Mutiari divonis 7 bulan karena dianggap mengetahui rencana keji itu, tapi tidak melapor. Mereka pun naik banding dan dinyatakan bebas oleh Mahkamah Agung karena tidak cukup bukti.

Film ini mengunci ceritanya pada sosok Marsini, kakak Marsinah, yang menatap pilu tumpukan koran, matanya menyisir narasi berita yang memuji keberanian sang adik, sambil terisak dengan satu pertanyaan yang hingga kini masih menggantung: “Siapa pembunuh Marsinah?”


Simbol perjuangan

Isa Trisnowati (54), rekan seperjuangan Marsinah semasa bekerja di perusahaan itu, turut angkat bicara atas fakta yang dituangkan Slamet Rahardjo di filmnya. Ketua di Federasi KEP KSPI itu mengonfirmasi bahwa sebagian alur cerita mengisahkan fakta sesungguhnya.

Bagi Isa, sosok Marsinah tidak hanya dikenal sebagai simbol perjuangan buruh, tetapi juga inspirasi abadi bagi gerakan buruh dan aktivis sosial di Tanah Air.

Isa mengisahkan bagaimana perjuangan Marsinah berawal dari kesadaran untuk memahami hak-haknya sebagai pekerja.

Berangkat dari seorang aktivis yang mencari tahu tentang hak-haknya, Marsinah belajar bersama di Yayasan Arek, salah satu LSM gerakan buruh di Surabaya.

Di sanalah Marsinah mulai memahami secara utuh hak-hak buruh yang layak diperjuangkan, bukan hanya untuk dirinya sendiri, tetapi juga rekan-rekannya.

Isa menceritakan bagaimana Marsinah bersama rekan buruh di Porong dan pekerja dari Surabaya secara kolektif mempelajari undang-undang ketenagakerjaan.

Tidak sebatas pada pemahaman, mereka melangkah lebih jauh dengan menerapkan apa yang sudah mereka pelajari. Marsinah menempuh tahap demi tahap perjuangan, mulai dari menagih hak secara baik-baik, berunding, hingga bernegosiasi langsung ke pimpinan perusahaan dan HRD.

Atas dedikasinya, Marsinah dianugerahi Penghargaan Yap Thiam Hien, tepat di tahun kematiannya. Penghargaan tahunan itu diberikan kepada individu atau kelompok yang dinilai berjasa dalam upaya penegakan hak asasi manusia.

Jejak perjuangan Marsinah tidak hanya abadi dalam sejarah gerakan buruh, tetapi juga hidup dalam karya-karya sastra. Namanya kerap diabadikan dalam puisi-puisi yang merekam semangat, luka, harapan, hingga keberanian kaum kecil yang menuntut keadilan.


Menuju gelar pahlawan

Kini, tiga dekade setelah kematiannya, jejak perjuangan Marsinah menuju kasta tertinggi penghargaan di Indonesia masih dihadapkan pada serangkaian tahapan prosedur yang ditetapkan pemerintah.

Pertama-tama, pengusul, dalam hal ini aktvis buruh, harus mengikuti prosedur resmi. Pengusulan dilakukan melalui Kementerian Sosial dan pemerintah kabupaten tempat kelahiran Marsinah.

Marsinah diketahui lahir di Nganjuk dan besar di Porong, Sidoarjo. Oleh karena itu, sangat penting untuk melibatkan Pemkab Nganjuk dan Pemkab Sidoarjo dalam proses ini.

Untuk memperlancar langkah tersebut, serikat buruh telah membentuk panitia bersama yang bertugas menjalin komunikasi intensif dengan pemerintah daerah dan memenuhi syarat-syarat administratif yang diperlukan.

Selain itu, harus ada seminar-seminar nasional yang mengupas fakta penting atas jejak kepahlawanan Marsinah. Seminar ini juga menjadi wadah menggalang kesepakatan kolektif, tidak hanya dari serikat buruh, tapi juga serikat petani, masyarakat umum, hingga pemerintah daerah.

Meskipun ujungnya tetap pada hak prerogatif Presiden untuk menetapkan gelar Pahlawan Nasional, tapi semua prosedur itu harus ditempuh dengan benar.

Restu Presiden Prabowo atas pengusulan Marsinah sebagai Pahlawan Nasional patut diapresiasi, karena menunjukkan hadirnya negara untuk memberikan penghormatan kepada para pejuang non-konvensional.

Pengakuan peran buruh oleh negara akan menjadi tonggak sejarah mengenai perlindungan hak-hak buruh yang lebih baik dan keadilan sosial yang nyata. (ANT/LE)

Pos terkait