Yogyakarta, 30/9 (ANTARA/LE) – Siang hari di pengujung Agustus 2024, puluhan siswa-siswi Sekolah Dasar (SD) Rechtenflether Strasse di Kota Bremen, Jerman, berbaris rapi di halaman sekolah.
Wajah mereka tampak semringah sembari memegang erat bendera merah putih dan bendera Jerman.
Bendera-bendera mungil berbahan kertas itu mereka buat sendiri untuk menyambut tamu kehormatan.
Sekitar pukul 13.00 waktu Jerman, secara serempak, puluhan siswa riuh melantangkan nyanyian selamat datang lantaran rombongan tamu yang mereka nantikan telah tiba.
Rombongan itu adalah para siswa Sekolah Tumbuh Yogyakarta yang dipimpin oleh Kanjeng Pangeran Haryo (KPH) Wironegoro, didampingi jajaran Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI) Hamburg, Jerman.
Sambutan hangat disertai senyuman yang merekah di antara mereka menyiratkan sebuah persahabatan yang seolah mengabaikan terik siang itu.
Lebih dari sekadar mampir atau melakukan kunjungan biasa, rombongan itu jauh-jauh datang dari Yogyakarta atas dasar kepedulian karena mendengar informasi bahwa satu set gong kempul milik SD Rechtenflether rusak.
Rusaknya satu set gong kempul otomatis menghambat latihan gamelan di SD Rechtenflether yang belum lama membuka kelas khusus gamelan.
Pasalnya, gamelan adalah seperangkat alat musik ensambel yang seluruh instrumen alat musiknya harus dimainkan secara kolektif dan lengkap.
Didasari semangat persahabatan dan keinginan kuat mengenalkan gamelan ke kancah dunia, Sekolah Tumbuh Yogyakarta kemudian secara khusus memesan pembuatan satu set yang terdiri enam buah kempul kepada pengrajin gamelan terbaik di Kabupaten Bantul, DI. Yogyakarta untuk mengganti set gamelan yang rusak itu.
“Saya dengar set gamelan yang dibuat untuk belajar gamelan itu rusak satu set kempulnya. Ketika mengetahui itu, kita responsif menyumbangkan satu set kempul dan disetujui warga sekolah,” kata KPH Wironegoro selaku Ketua Yayasan Edukasi Anak Nusantara (YEAN) yang membawahkan Sekolah Tumbuh kepada ANTARA.
Kedatangan rombongan Sekolah Tumbuh siang itu sekaligus membuka harapan baru pengenalan kesenian tradisional Indonesia di Bremen, Jerman, lantaran set gamelan di SD Rechtenflether telah kembali lengkap.
Selain diperuntukkan bagi siswa, kelas gamelan itu terbuka bagi masyarakat Bremen secara umum.
Setidaknya ada 13 set alat musik untuk bermain gamelan. Selain set kempul, SD di salah satu kota pelabuhan di Jerman itu telah memiliki demung, gambang, saron, bonang penerus, bonang barung, gender, peking, kethuk, gong ageng, kenong, slenthem, serta gong suwukan.
Inisiatif mulia Sekolah Tumbuh itu pun mendapat dukungan dari KJRI Hamburg dengan menanggung seluruh biaya pengiriman satu set kempul ke Jerman.
Rangkaian kegiatan itu merupakan bagian dari program kunjungan sosial budaya Sekolah Tumbuh Yogyakarta ke Eropa (Belanda dan Jerman) yang difasilitasi oleh Stichting Hibiscus di Belanda.
“Gundul-gundul Pacul” dan persahabatan
SD Rechtenflether dan Sekolah Tumbuh Yogyakarta tak ingin melewatkan momen serah terima donasi satu set gong kempul baru itu dengan seremonial resmi belaka.
Kedua belah pihak pun melanjutkan perayaan persahabatan itu dengan saling unjuk penampilan kesenian tradisional masing-masing.
Siang itu pula, suara tabuhan gamelan dari tangan-tangan terampil siswa-siswi Sekolah Tumbuh mengalun indah di salah satu ruangan SD Rechtenflether.
Dengan diiringi gamelan, lagu “Gundul-gundul Pacul” yang dibawakan 20 dari 24 siswa-siswi rombongan Sekolah Tumbuh memukau seisi ruangan, termasuk Konjen RI Renata Siagian yang turut menghadiri momen membanggakan itu.
Menurut Kepala SMA Tumbuh Emy Rahmawati, lagu “Gundul-gundul Pacul” menjadi satu-satunya tembang yang sengaja disiapkan untuk ditampilkan di SD Rechtenflether.
Selain tidak rumit dibawakan, tembang dolanan atau lagu permainan asal Jawa Tengah yang diciptakan oleh Sunan Kalijaga pada tahun 1400-an itu menyiratkan sebuah nasihat agar menghindari sifat sombong dan secara sosial menjadi simbol persahabatan.
Menyambut penampilan dari Sekolah Tumbuh, para siswa SD Rechtenflether pun membalasnya dengan mempersembahkan dua buah lagu Jerman.
Kesempatan ini dimanfaatkan oleh para siswa untuk berinteraksi intens dan saling mengenal satu sama lain sembari menyantap berbagai jajan pasar khas Indonesia beserta kudapan Jerman.
Keseruan permainan tradisional Indonesia macam gasing serta bekel pun makin menguatkan jalinan persahabatan yang tercipta di antara mereka.
Sekolah Tumbuh pun memiliki rencana untuk terus merawat persahabatan antarsiswa itu melalui berbagai program kolaborasi.
Mungkin dua tahun lagi mereka berkunjung lagi ke sana, atau sebaliknya siswa SD di Bremen yang membalas kunjungan ke Indonesia lalu pentas bersama.
Konjen RI di Hamburg Renata Siagian menyampaikan apresiasi kepada KPH Wironegoro dan Sekolah Tumbuh yang turut mendukung kerja sama KJRI Hamburg dan SD Rechtenflether yang telah terjalin.
Pada April 2024, kelas gamelan di SD itu tercipta atas inisiasi KJRI Hamburg serta Bremen Philharmoniker.
Dia tidak membayangkan bahwa dalam waktu yang sangat singkat, kurang dari 5 bulan, kerja sama yang terbentuk antara KJRI Hamburg dan SD Rechtenflether mampu membuahkan kegiatan pertukaran sekeren itu.
Mengikis inferioritas
Lebih dari sekadar pertukaran budaya, kunjungan ke SD Rechtenflether dan sejumlah lokasi di Belanda dan Jerman diharapkan memperkaya pengalaman belajar para siswa dengan perspektif global.
KPH Wironegoro mengemukakan bahwa Sekolah Tumbuh memiliki misi mencetak para siswa menjadi global citizens atau warga dunia.
Kunjungan ke SD Rechtenflether, adalah satu bagian dari rangkaian Program “Student Exchange” atau Pertukaran Pelajar 2024 Sekolah Tumbuh ke Belanda dan Jerman.
Selain mengenalkan budaya Indonesia melalui pameran, serta berbagai pertunjukan seni seperti musik gamelan, tarian, dan teater, sebanyak 24 siswa dikenalkan sejarah, budaya, serta cara hidup di negara lain.
Dengan mengajak menjelajah berbagai negara, Wironegoro yang juga menantu Raja Keraton Yogyakarta Sri Sultan Hamengku Buwono X itu meyakini para siswa bakal terhindar dari sikap inferior atau rendah diri saat bersinggungan atau berkompetisi dengan warga negara lain di kemudian hari.
Tanpa diselimuti inferioritas, ia yakin generasi muda Indonesia tidak sekadar mencintai budayanya, namun kelak mampu berdiri tegap mengenalkan, bahkan membuat bangsa lain terkesima akan budaya di Tanah Air.
Tanpa terkungkung rasa minder pula, generasi muda semakin percaya diri dan luwes menjalin persahabatan dengan lebih banyak warga dunia melalui berbagai sarana, termasuk musik.
Audi (15), salah satu siswi SMP Sekolah Tumbuh, tidak ingin menghilangkan kenangan berharganya selama berada di Belanda dan Jerman.
Lantaran kali pertama bertandang ke luar negeri, perempuan bernama lengkap Shazia Haudhyna Syahrizal itu mengaku sempat mengalami gegar budaya atau culture shock karena karakter dan budaya masyarakat di luar negeri yang sama sekali berbeda.
Namun, berkat pertemuan dan komunikasi langsung yang terjalin, kini ia memiliki banyak sahabat dan keluarga baru dari Belanda dan Jerman, bahkan saling bertukar akun media sosial.
Ireneusz Kalan, Kepala SD Rechtenflether, tak dapat menutupi rasa gembiranya siang itu.
Di hadapan para tamunya dari Indonesia, Kalan menegaskan bahwa musik mampu menyatukan perbedaan serta menjauhkan dari konflik dan perang. (ANT/LE)