judul gambar
AdvertorialDenpasarHeadlines

Fenomena ‘Kerauhan’ Dibahas Dalam Sebuah Seminar di Denpasar

Denpasar, LenteraEsai.id – Fenomena ‘kerauhan’ atau kesurupan bukan sesuatu yang asing di kalangan masyarakat di sejumlah daerah, termasuk Bali. Di mana kerauhan diyakini sebagai prosesi sakral, tatkala jiwa seseorang dimasuki oleh energi tertentu.

Fenomena yang cukup menarik itu akhirnya dibahas dalam sebuah seminar di Kampus PGRI Mahadewa Indonesia Denpasar.

Ditandai dengan pemukulan gong, Wakil Gubernur Bali Prof Tjokorda Oka Artha Ardhana Sukawati (Cok Ace) pada Sabtu (28/5) malam membuka seminar yang mengangkat tema ‘kerauhan’, di halaman Kampus PGRI Mahadewa Indonesia Denpasar.

Dalam sambutannya, Wagub Cok Ace mengapresiasi pelaksanaan seminar yang digagas Fakultas Keguruan Ilmu Pendidikan (FKIP) dan Fakultas Teknik dan Informatika (FTI) Universitas Mahadewa Indonesia ini.

Menurutnya, fenomena kerauhan lekat dengan tradisi dan kearifan lokal masyarakat Bali dan merupakan salah satu wujud kemahakuasaan Ida Sang Hyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa. Ditambahkan olehnya, kerauhan diyakini sebagai prosesi sakral di mana jiwa seseorang dimasuki oleh energi tertentu.

Wagub Cok Ace yang kerap ‘ngayah masolah’ dalam pamentasan calonarang berbagi pengalaman tentang fenomena ini. Dari apa yang ia amati, Wagub Cok Ace menyimpulkan proses kerauhan erat kaitannya dengan konsep Tri Hita Karana. Dalam artian, kerauhan itu bisa dipicu oleh diri sendiri (manusia), alam bawah (butha kala) atau dimasuki oleh energi Ida Bethara yang merupakan manifestasi dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa.

Karena pemicunya yang berbeda, maka menurut Wagub Cok Ace, cara penanganan antara orang kerauhan yang satu dengan yang lainnya tidak bisa disamakan, harus ada pendekatan tersendiri. “Nah..inilah yang sekarang perlu didiskusikan oleh mereka yang paham tentang fenomena tersebut,” ucapnya.

Ia berharap, seminar yang digagas FKIP dan FTI Universitas Mahadewa Indonesia ini mampu menghasilkan rumusan pemikiran tentang kerauhan yang nantinya dituangkan dalam sebuah buku. “Saya kira ini tema yang sangat menarik. Karena saya yakin setiap fenomena bersumber dari hukum sebab akibat, demikian pula halnya dengan kerauhan,” ujarnya.

Jika kemudian ada yang punya pemikiran lain, menurutnya hal itu merupakan hal yang wajar dan dipersilahkan untuk menempuh hal yang sama yaitu mendiskusikan melalui forum resmi seperti seminar ini.

Sementara itu, Dekan Fakultas Keguruan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Mahadewa Indonesia Dr Komang Indra Wirawan SSn MFil H menyampaikan bahwa seminar ini dimaksudkan untuk memperkuat jiwa kerthi masyarakat Bali. Pria yang akrab disapa Komang Gases ini berpendapat, fenomena kerauhan sebagai bagian tradisi masyarakat Bali merupakan hal yang patut dilestarikan.

Namun demikian, lanjutnya, masih dibutuhkan edukasi agar fenomena kerauhan tak menjadi ajang kontestasi. Dan hal senada juga disampaikan Ida Pedanda Wayahan Wanasari yang menyebut masih ada kesalahan penafsiran dalam fenomena kerauhan.

Akibat kesalahan dalam penafsiran itu, sambung salah seorang peserta seminar, tidak sedikit akhirnya warga yang memanfaatkan ‘lahan’ kerauhan itu sebagai ‘pamer diri’, seolah-olah dirinya yang paling dekat atau paling tahu dengan urusan niskala.

‘Pamer diri’ seperti itu tak jarang kemudian menjadikan kerauhan sebagai model atau ‘tren’ tertentu, sehingga ada kalanya seseorang yang tidak benar-benar kerauhan namun melakukan aksi dan akting yang bagai orang kerauhan, ujar peserta seminar.

Untuk diketahui, seminar kerauhan ini merupakan puncak dari penyelenggaraan parade seni budaya yang diberi tajuk ‘Hormon FKIP and FTI’ atau Himpunan Organisasi Mahasiswa FKIP dan FTI yang berlangsung selama tiga hari. Seminar kerauhan menghadirkan tiga narasumber yaitu Dekan FKIP Mahadewa Komang Indra Wirawan, Psikolog Dewa Ayu Eka dan Hypnoterapy Giri A Semara.  (LE-DP1)

Lenteraesai.id