Berau, 30/11 (ANTARA/LE) – Dia lebih dikenal sebagai Pak Sablon karena sejak kecil memiliki bakat menggambar. Hadiyanto, nama aslinya, adalah mantan seorang nelayan asal Pulau Maratua, Kabupaten Berau, Provinsi Kalimantan Timur, yang kini banting setir menjadi perajin batok kelapa, setelah kakinya harus diamputasi karena penyakit.
Di belakang rumahnya yang langsung menghadap laut di Kampung Bohe Silian, Kecamatan Maratua, Sablon sibuk membuat pola penyu untuk dijadikan liontin kalung, salah satu karyanya, selain anting, gantungan kunci, mangkuk, dan masih banyak lagi.
Semua peralatan kerjanya ada di belakang rumahnya itu. Alat perlengkapannya tergolong sederhana, namun siapa sangka jika produknya sudah mendunia.
Sesekali ia harus mengesot beberapa meter untuk mengampelas atau memotong batok kelapa, karena kaki kanannya tersisa hingga bagian paha. Pada tahun 2015, kakinya diamputasi karena menderita penyakit radang tulang.
Sablon yang selama ini hidup sebagai nelayan, setelah menjalani amputasi bagaikan terombang-ambing dalam gelombang paling dahsyat. Bagi dia, laut adalah hidupnya dan sumber mata pencahariannya.
Sekitar enam bulan sejak diamputasi, Sablon terus larut dalam rasa frustrasi dan kemudian mengurung diri di kamar.
Selain kakinya harus diamputasi, tersisa bekas luka yang menyebar di wajahnya akibat alergi obat radang tulang kaki.
Setiap haria, dia hanya bisa menangis, menyesali nasibnya. Sempat terbersit dalam pikirannya, lebih baik nyawanya dicabut saja oleh Tuhan, dari pada menjalani hidup tak bermakna itu.
Bersyukur, ia memiliki teman-teman yang memberikan dukungan dan motivasi. Ia kemudian sadar bahwa Tuhan masih memberinya tangan yang utuh yang bisa dijadikan modal untuk bisa bekerja.
Dukungan dari teman-temannya itu bukan sekadar motivasi dan dorongan untuk bangkit. Kala itu, ia diangkat menjadi Ketua Karang Taruna di Kampung Bohe Silian. Kepercayaan untuk memimpin organisasi itu membawa kembali rasa berharga bagi dirinya. Ia merasa masih bisa berguna bagi masyarakat, meskipun kondisi fisiknya terbatas.
Kisah dirinya memiliki usaha kerajinan itu berawal pada tahun 2016. Saat itu, Sablon melihat tukang mainan di kampungnya, yang membawa ingatannya bahwa dia pernah mendapat pelatihan kerajinan tangan, sebelum kakinya diamputasi.
Sablon pun iseng mulai membuat cenderamata dari batok kelapa untuk diberikan kepada teman-temannya. Ternyata, karyanya itu disukai oleh yang menerima, dan malah dipasarkan oleh teman-temanya. Sejak saat itu, ia serius menekuni kerajinan tangan. Seiring berjalannya waktu, produknya semakin berkembang.
Agar produknya lebih memiliki ciri khas sebagai produk dari Maratua, ia membuat cenderamata dengan bentuk biota laut yang ada di perairan yang masuk dalam gugusan Kepulauan Derawan itu, seperti penyu, manta, hiu paus, serta ubur-ubur.
Pulau Maratua dikenal sebagai salah satu pulau terluar Indonesia. Alamnya yang indah membuat pulau itu dikenal surga yang menawarkan keindahan panorama pantai dan taman bawah lautnya. Karena keindahan bawah lautnya itu, Maratua sering disebut sebagai “Maladewa”-nya Kalimantan Timur.
Kini, Sablon bangga menyebut dirinya sebagai perajin batok kelapa. Produk-produknya menjadi cenderamata favorit di Maratua, bahkan sudah sampai ke Republik Ceko.
Ketika Sablon mulai menggeluti usaha barunya itu, teman-temannya masih sering membantu, seperti ikut mencarikan batok kelapa sebagai bahan utama kerajinan tangan pria berusia 39 tahun itu.
Kini, Sablon menjadi mitra Badan Usaha Milik Kampung (BUMK) Lumba-Lumba di Kampung Teluk Harapan yang didampingi oleh Yayasan Konservasi Alam Nusantara (YKAN), agar terus berdaya dalam mengembangkan potensi diri.
Berkat ketekunannya dalam berusaha, Sablon sudah bisa mengirim produk kerajinan ke Ceko, hingga tiga kali dalam setahun. Untuk meningkatkan kualitas dan tampilan karyanya, ia kini banyak memanfaatkan informasi yang disajikan oleh perkembangan teknologi informasi di layar telepon seluler.
Produk yang diekspor tersebut bisa mencapai ribuan unit, dengan permintaan khusus cenderamata berbentuk penyu dan manta. Ia bisa mengantongi Rp40 juta dari orderan ke luar negeri tersebut.
Jika sedang banyak pesanan, Sablon mengajak anak-anak di sekitar rumahnya untuk membantunya mengampelas, dengan imbalan Rp2.000 per satu kerajinan.
Keterlibatan anak-anak dalam kegiatan mengampelas itu, selain mereka belajar memanfaatkan waktu untuk menghasilkan uang, juga mengedukasi mereka agar tidak terlibat dalam kegiatan yang bermanfaat dan menyimpang. Kalau sedang banyak pesanan dari pelanggan, ia bisa melibatkan sekitar 20 anak.
Sejak menekuni usaha kerajinan, ia justru memiliki penghasilan yang lebih stabil dibandingkan dengan saat masih menjadi nelayan. Bahkan, dalam sehari ia bisa mendapat penghasilan minimal Rp150 ribu. Tidak jarang juga, dalam sehari, penghasilannya bisa mencapai Rp300 ribu.
Sementara ketika masih menjadi nelayan, penghasilannya tidak menetu dan sangat bergantung pada cuaca. Bahkan, jika cuaca sedang buruk dan angin kencang, ia bisa menganggur selama tiga bulan, karena tidak bisa melaut.
Dengan penghasilan yang tidak menentu, untuk membeli telepon seluler saja, ia tidak mampu. Kini, ia mensyukuri keadaan dan mulai bisa mengambil hikmah dari amputasi kakinya karena penyakit.
Meskipun demikian, kerinduan pada suasana laut, kadang masih muncul di pikirannya. Hanya saja, kerinduan itu tidak lagi membawa rasa penyesalan atas tindakan amputasi yang dijalankan oleh dokter atas kakinya.
Bukan hanya bergerak di kampung halamannya, kini ia bermimpi dapat mengembangkan kemampuannya itu ke luar daerah, khususnya di wilayah yang dikenal memiliki usaha kerajinan lebih bagus.
Sosok Sablon membuktikan, cacat tubuhnya justru tidak membatasinya. Sablon memang sudah tidak bisa melaut. Namun, karya kerajinan tangannya sudah berlayar jauh hingga ke negara lain. Bahkan ia sudah bisa mempekerjakan orang agar mendapat pemasukan tambahan.
Atas keberhasilannya itu, Sablon ingin memberi pesan dan motivasi kepada mereka yang memiliki kecacatan tubuh agar tidak berkecil hati. Sablon mengajak kau disabilitas untuk terus belajar dan berjuang menghadapi tantangan hidup. Keadaan tubuh yang tidak sempurna jangan dijadikan alasan untuk tidak berbuat sesuatu yang bermanfaat, bukan hanya kepada dirinya, namun lebih luas untuk kemaslahatan banyak orang. (ANT/LE)