judul gambar
DenpasarHeadlines

RR Menangis Tersedu, Ingin Bayinya yang Diambil Paksa Dikembalikan

DENPASAR, LenteraEsai.id – Hati wanita mana yang tidak teriris, tatkala harus terpisah dengan buah hati yang dikandungnya penuh perjuangan selama berbulan-bulan.
Inilah yang dirasakan perempuan muda berinisial RR (24). Sembari berurai air mata, ia berharap bayi kandungnya yang diambil paksa oleh seseorang agar segera dikembalikan.
“Saya ingin anak saya kembali, saya ingin segera menyusui dan merawat anak saya dengan baik,” ucapnya dengan didampingi kuasa hukumnya Siti Sapurah, Selasa (17/11/2020) di Denpasar.
Di usia yang masih muda, RR harus bertubi-tubi menjalani cobaan hidup. Ia hamil di luar nikah, sementara pacarnya tak mau bertanggungjawab dan memilih kabur.
Di tengah kebingungan biaya persalinan, korban berkenalan dengan sopir taksi online berinisial ES (40). Korban menceritakan kondisi yang dialaminya. Oleh ES, korban lalu diajak ke rumah IMS di Taman Griya, Nusa Dua, Badung.
Di sana IML berkata jika bayi yang dilahirkan korban berkelamin laki-laki maka ia mau membantu persalinan sekaligus merawat anak korban secara bersama-sama.
RR akhirnya melahirkan bayi laki-laki dengan berat 2.200 gram pada tanggal 31 Agustus 2020 di rumah seorang bidan bersalin berinisial NKSA (35) di daerah Nusa Dua, Kuta Selatan, Badung.
Masih di rumah bidan setelah melahirkan, tiba-tiba RR disodori surat pernyataan agar bayinya diserahkan kepada seseorang berinisial IML beralamat tinggal di Taman Griya, Nusa Dua.
“Sejak saat itu RR tidak pernah sempat menyusui anaknya karena sudah dilarang oleh bidan dan langsung dipisahkan. Bahkan dalam surat kenal lahir si bayi tidak mencantumkan nama ibu kandungnya (RR) tetapi yang dicantumkan nama istrinya IML, dan nama bapaknya IML sendiri,” terang Siti Sapurah saat mendampingi korban.
Setelah dua bulan wanita malang ini tidak pernah diizinkan bertemu bahkan menyusui bayinya, RR lalu melapor ke Polda Bali pada tanggal 7 Oktober 2020 dan diterima tanggal 12 Oktober 2020 dengan nomor Dumas/407/X/2020/Ditreskrimum.
“Tindakan polisi atas dumas tersebut adalah pada hari Senin tanggal 2 November 2020, RR dengan sopir ojek online dan IML (teradu) dipanggil untuk mediasi,” kata Ipung.
Yang aneh tuturnya, pada saat mediasi RR merasa ditekan oleh penyidik agar menyerahkan anaknya kepada IML dengan alasan bahwa IML sudah sangat baik dan RR sudah menandatangi surat pernyataan di atas materai.
Dalam kasus ini ucap Ipung, dirinya tidak bermaksud menggurui siapapun. Dirinya juga percaya bahwa polisi sangat paham dengan hukum dan seharusnya jika korban adalah anak dalam satu peristiwa apapun maka selayaknya tindakan yang diberikan adalah “demi kepentingan terbaik anak”.
Menurutnya, ancaman pidana untuk IML, Edi Sucipto dkk adalah tekait kasus tersebut di atas semestinya bisa dikembangkan oleh penyidik yang mempunyai ancaman pidana yang sangat tinggi.
“Harusnya polisi mengambil anak itu dan mengembalikan kepada ibunya. Hal ini mengacu pada Undang-undang Kesehatan nomor 36 tahun 2009 Pasal 128 di mana dalam pasal tersebut anak berumur 0 sampai 6 bulan berhak mendapatkan ASI dari ibunya dan barang siapa yang menghalangi diancam pidana 1 tahun penjara dan denda Rp 100 juta,” jelasnya.
“Dan ini juga dikuatkan dengan Peraturan Kementerian PPPA nomor 3 tahun 2010, kasus di atas juga melanggar Pasal 330 KUHP ancaman pidananya 9 tahun merebut anak dari orang yang mempunyai hak atas dirinya. Kasus di atas juga melanggar Undang-undang nomor 21 tahun 2007 tentang tindak pidana perdagangan orang (TPPO) dengan ancaman pidananya sampai 15 tahun, sekaligus kasus di atas juga melanggar Undang-undang nomor 35 tahun 2014 perubahan atas Undang-undang nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak ada di dalam Pasal 76 ancaman pidananya 7 tahun,” bebernya.
Selain itu yang perlu diingat kata Ipung bahwa anak bukanlah barang yang bisa diperjualbelikan begitu saja, anak manusia bukanlah anak binatang (anak kambing atau anak sapi) yang bisa dipindah tangankan begitu saja atas kemauan orang dewasa, anak adalah manusia yang dilindungi undang-undang oleh negara dan dia mempunyai hak konstitusi sejak dia berada di dalam kandungan sampai dia berumur 18 tahun.
“Kita punya pelajaran berharga di Bali pada saat kasus Engeline, di mana dia harus meninggal di tangan ibu angkatnya. Kasus terbaru di Ambon seorang anak angkat yang harus meregang nyawa di tangan orang tua angkatnya karena setiap hari mengalami kekerasan fisik dan beberapa kasus anak angkat yang tidak sedikit harus meninggal di tangan orang tua angkatnya karena lepas dari pengawasan instansi terkait karena mereka diangkat, diadopsi secara illegal serta tidak sesuai prosedur hukum,” tegas Ipung.
Seharusnya penyidik polisi yang menangani kasus ini lanjut Ipung juga memeriksa bidan yang membantu persalinan RR, karena di sana ada pemalsuan dokumen dan memasukkan keterangan palsu dalam dokumen tersebut (surat kenal lahir si bayi).
Ipung lantas menyebut jika perbuatan pelaku diduga melanggar 263 KUHP dengan ancaman pidana 6 tahun atau Pasal 264 KUHP dengan ancaman hukuman 7 tahun penjara. (LE-PN)
Lenteraesai.id