Denpasar, LenteraEsai.id – Majelis Desa Adat (MDA) Provinsi Bali akhirnya secara tegas mengeluarkan instruksi kepada seluruh desa adat di Bali untuk tidak mengizinkan sampradaya, atau secara khusus Hare Krishna melaksanakan kegiatan ritual di setiap pura, fasilitas pedruwen desa adat atau fasilitas umum lainnya yang ada di wewidangan desa adat.
Instruksi tersebut dikeluarkan MDA Provinsi Bali seusai melaksanakan pasangkepan yang diperluas bersama seluruh MDA di tingkat kabupaten/kota se-Bali yang digelar pada Rabu (5/8), bertempat di Sekretariat Majelis Desa Adat Provinsi Bali di Denpasar.
Pesangkepan atau rapat itu dipimpin langsung Bandesa Agung Ida Panglingsir Agung Putra Sukahet, didampingi Panyarikan Agung MDA Bali I Ketut Sumarta.
Bandesa Agung Ida Panglingsir Agung Putra Sukahet dalam siaran tertulis yang diterima kalangan pers di Denpasar, Kamis (6/8) mengatakan, instruksi tersebut dikeluarkan setelah pihaknya melihat pelaksanaan ritual Hare Krishna bertentangan dengan Sukreta Tata Parahyangan, Awig-awig, Pararem dan Dresta Desa Adat di Bali yang bernafaskan Hindu di Bali.
Bandesa Agung menegaskan, setelah mencermati kondisi psikologis umat Hindu di Bali akibat adanya berbagai aktivitas yang dilakukan oleh sampradaya perkumpulan Internasional Society for Krishna Consciousness (ISKCON) melalui kegiatan-kegiatan Hare Krishna, Majelis Desa Adat (MDA) sebagai Pasikian Desa Adat se-Bali menyimpulkan bahwa Hare Krishna memiliki teologi yang sangat berbeda dengan ajaran Hindu, sehingga tidak dapat dinyatakan sebagai bagian dari Agama Hindu, apalagi Hindu dengan adat istiadat Bali.
Sesuai tindaklanjut atas kesimpulan tersebut, maka MDA Provinsi Bali sesuai kewenangan yang diberikan dalam Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 4 Tahun 2019 Tentang Desa Adat di Bali, serta Paruman Agung Desa Adat se-Bali Tahun 2019 dan Anggaran Dasar MDA Bali, memberikan instruksi kepada seluruh desa adat di Bali untuk tidak mengizinkan kegiatan ritual agama Hindu oleh sampradaya yang tidak sejalan dengan Hindu Dresta Bali, termasuk Hare Krishna, yang bertentangan dengan Sukreta Tata Parahyangan, Awig-awig, Perarem serta Dresta Desa Adat di seluruh desa adat di Bali.
Poin kedua, instruksi yang diberikan adalah melarang semua aliran-aliran keagamaan sampradaya yang tidak sejalan dengan ajaran Hindu Dresta Bali, termasuk Hare Krishna, apabila mereka berkeinginan untuk melaksanakan kegiatan di pura/kahyangan yang ada di wewidangan desa adat di masing-masing desa adat di Bali, ujarnya, menjelaskan.
Pada poin ini, kata Bendesa Agung, desa adat juga didorong berkoordinasi dengan pengempon pura Dang Kahyangan atau Kahyangan Jagat di wewidangan desa adat masing-masing, untuk melarang kegiatan sebagaimana diatur pada poin kedua tersebut.
Secara khusus, desa adat juga diminta untuk mendata dan menginventarisasi keberadaan sampradaya yang tidak sejalan dengan ajaran agama Hindu (Hindu Bali) termasuk Hare Krishna, yang selanjutnya agar mengingatkan untuk tidak memanfaatkan Pura Kahyangan Desa, Dang Kahyangan, Kahyangan Jagat, fasilitas Padruwen Desa Adat dan fasilitas umum lainnya di wewidangan desa adat.
Selain itu, desa adat diarahkan untuk melaporkan keberadaan sampradaya dimaksud kepada MDA Provinsi Bali melalui MDA kabupaten/kota masing-masing yang selanjutnya secara bersama-sama memantau, mencegah dan melarang penyebaran ajaran sampradaya yang tidak sejalan dengan ajaran Hindu Dresta Bali termasuk Hare Krishna di wewidangan desa adat, kata Bendesa Agung.
Instruksi yang sudah berlaku sejak diambilnya keputusan dalam pasangkepan tersebut, selanjutnya akan ditindaklanjuti oleh Bandesa Madya di seluruh kabupaten/kota untuk kemudian dilaksanakan di seluruh desa adat di Bali melalui Bandesa Adat dan prajuru masing-masing.
Dalam keterangan penutupnya, Ida Panglingsir menegaskan bahwa instruksi yang dikeluarkan oleh Majelis Desa Adat (MDA) bertujuan untuk segera menyelesaikan silang pendapat yang terjadi di kalangan umat Hindu di Bali dan selanjutnya dengan keputusan yang telah diambil dalam pasangkepan tersebut, bisa menjadi dasar bagi seluruh Bandesa Adat untuk bersikap dan bertindak. (LE-DP)