Gianyar, LenteraEsai.id – Dasyatnya dampak virus corona terhadap sektor pariwisata, telah membuat salah satu sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kabupaten Gianyar dan sejumlah daerah lain di Indonesia menjadi tumbalnya.
Masalah itu terjadi menyusul kebijakan pemerintah pusat yang menetapkan kabupaten/kota tidak memungut pajak hotel dan restoran (PHR) selama enam bulan, guna memberikan rangsangan bagi pelancong datang ke berbagai objek wisata di Indonesia.
Menyikapi kebijakan tersebut, beberapa kabupaten di Bali mengaku ‘kuwai-kuwai’ seperti halnya Badung, namun kalangan DPRD di Bumi Seni Gianyar malah langsung menyatakan setuju, sedangkan Bupati Gianyar Made Mahayastra mengaku memilih menunggu regulasi turunannya.
Ketua Komisi 3 DPRD Gianyar Putu Gede Pebriantara, ketika dihubungi Minggu (1/3), menyatakan menyambut baik terkait rencana pusat memberikan keringanan pada pengusaha hotel dan restourant dengan menghapus pajak hotel dan restourant untuk selama 6 bulan ke depan.
Baginya, pengahapusan PHR itu tidak masalah, terlebih bertujuan untuk menarik kunjungan wisatawan. Namuan demikian, lanjut dia, pihaknya masih melakukan koordinasi, karena secara resmi dewan belum menerima salinan tentang kebijakan pemerintah pusat tersebut.
“Memang, kebijakan pusat itu akan merugikan Gianyar. Namun, jika kerugian tersebut ada kompensasi pengganti dan ada subsidi keseluruhan pajak dibayar secara utuh oleh pusat, tentu tidak ada persoalan,” ucapnya, menandaskan.
Dari informasi yang diterimanya, tidak dilakukan penghapusan keseluruhan. Di mana Pemkab tetap akan mendapat kompensasi berapa kunjungan di hotel dan restoran tersebut dikali 10%, dan 10% ini yang akan dibayarkan oleh pusat. Dengan kalkulasinya, bagi Pebriantara tidak akan ada masalah, asalkan sesuai dengan potensi pajak yang harus didapatkan.
“Saya pikir tidak ada masalah, karena intinya adalah untuk menarik wisatawan datang ke Bali dengan biaya hotel dan restoran yang lebih murah,” ujarnya, menambahkan.
Sementara itu, Bupati Gianyar Made Mahayastra menyampaikan, Pemkab Gianyar sampai saat ini masih menunggu kebijakan pusat terkait PHR dibebaskan selama 6 bulan. Dikatakannya, PAD Gianyar dipasang sebesar Rp 1,2 triliun lebih dan sebesar Rp 500 miliar berasal dari pajak hotel dan restoran (PHR).
Sehingga bila selama enam bulan bebas pajak, maka sebagian dari pendapatan tersebut akan hilang. Dijelaskan, bila bebas PHR itu kemudian mendapatkan hibah, maka menurut Bupati Mahayastra, masih membutuhkan pembahasan mengenai hibah jika dijadikan pengganti APBD yang sudah disahkan dan sudah berjalan.
“Sekarang kan masih dalam penggodokan di pusat. Kita tunggu, regulasinya,” katanya menjelaskan.
Di sisi lain, Mahayastra menyebutkan, pemerintah pusat bukan saja menyelamatkan pariwisata Bali saja, namun menyelamatkan pariwisata secara umum, baik pengusaha, masyarakat umum dan komponen lain yang bersentuhan dengan pariwisata. Karena itu, Pemkab, Pemkot dan Pemprov Bali dipastikan akan diundang dalam pembahasan regulasi ini, karena Bali keseluruhan adalah daerah wisata dan menjadi sorotan dunia dalam hal pariwisata.
Sementara itu, hingga kini belum ada perubahan terkait wacana yang disampaikan pemerintah melalui Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, di mana penurunan penerimaan pajak hotel dan pajak restoran di kabupaten/kota untuk sepuluh destinasi wisata termasuk Bali, akan dikompensasi oleh pemerintah pusat dengan mekanisme hibah ke daerah. Hibah yang akan diberikan sebagai kompensasi tersebut diperkirakan sebesar Rp 3,3 triliun.
Ketua PHRI Kabupaten Gianyar Pande Adityawarman menyambut baik wacana kebijakan penghapusan pungut Pajak Hotel Restoran (PHR) selama 6 bulan mulai Maret 2020 oleh pemerintah pusat. Namun pihaknya kini masih menunggu regulasi teknis dari pembebasan bebas PHR tersebut.
PHRI Gianyar berharap kerja sama pemerintah pusat dan Pemkab Gianyar bisa berjalan dengan baik untuk rencana penghapusan pajak 6 bulan ke depan. Ia menilai kebijakan ini pro terhadap praktisi pariwisata.
Dengan adanya keringanan melalui penghapusan PHR, setidaknya bisa membuat harga lebih kompetitif. Dengan demikian, ketiadaan kunjungan wisatawan China bisa dicover dari kunjungan wisatawan domestik, yang awalnya jalan-jalan ke Singapura, bisa beralih ke Bali atau destinasi lainnya di Indonesia, katanya. (LE-GN5)