Insentif Pajak untuk Stabilitas Ketenagakerjaan Sektor Padat Karya

Sejumlah pekerja mengemas roti di industri rumahan Gelora Bakery, Jatinegara, Jakarta, Senin (14/10/2024). ANTARA FOTO/Idlan Dziqri Mahmudi/fzn/Spt.

Jakarta, 07/5 (ANTARA/LE) – Keberadaan industri padat karya sangat penting untuk menyerap banyak tenaga kerja. Pemerintah di bawah koordinasi Kementerian Koordinator Perekonomian telah memberikan berbagai insentif untuk menjaga keberlangsungan industri padat karya ini.

Hal ini dipertegas oleh pernyataan Kementerian Tenaga Kerja dalam rapat kerja bersama Komisi IX DPR pada 6 Mei, bahwa melalui insentif yang diberikan industri padat karya saat ini mampu terus bertahan dan tidak melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) kepada karyawannya.

Bacaan Lainnya

Langkah ini juga merupakan bagian dari upaya Pemerintah untuk melindungi industri padat karya.

Kebijakan insentif untuk melindungi industri padat karya telah dirumuskan sejak awal 2025 antara lain melalui pelaksanaan kebijakan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 16 Tahun 2020 dan insentif PPh Pasal 21 ditanggung pemerintah DTP untuk pekerja di sektor padat karya berdasarkan PMK 10/2025, serta adanya penjaminan risiko kecelakaan kerja yang diatur dalam PP 7/2025 tentang Penyesuaian Iuran Jaminan Kecelakaan Kerja bagi Perusahaan Industri Padat Karya Tertentu Tahun 2025.

Dampak insentif perpajakan yang diberikan diharapkan dapat menghindarkan pegawai dari PHK karena perusahaan dapat mendorong efisiensi serta peningkatan kesejahteraan dengan adanya insentif perpajakan dari pajak penghasilan untuk tenaga kerja sektor padat karya tersebut.

Paket kebijakan insentif untuk industri padat karya meliputi berbagai faslitas tax allowance serta bantuan pembiayaan.

Paket tersebut meliputi pertama, fasilitas tax allowance. Bagi wajib pajak yang melakukan penanaman modal pada industri padat karya tertentu dapat memperoleh fasilitas PPh berupa pengurangan penghasilan neto sebesar 60 persen dari jumlah penanaman modal berupa aktiva tetap berwujud, termasuk tanah.

Pengurangan penghasilan neto itu diberikan selama enam tahun sejak mulai berproduksi atau 10 persen per tahun. Seluruh aktiva tetap yang dihitung dalam pengurangan tersebut harus digunakan untuk kegiatan usaha utama yang tercantum dalam surat izin usaha.

 

Syarat utama yang harus dipenuhi industri padat karya agar bisa memanfaatkan insentif pajak

Adapun syarat utama yang harus dipenuhi industri padat karya agar bisa memanfaatkan fasilitas tersebut meliputi adalah terdaftar sebagai wajib pajak badan dalam negeri; melakukan kegiatan usaha utama yang tercakup dalam 45 bidang industri padat karya yang ditetapkan dalam lampiran PMK 16 Tahun 2020; serta mempekerjakan tenaga kerja Indonesia paling sedikit 300 orang dalam satu tahun pajak.

Kedua, pembiayaan kredit investasi berupa subsidi kredit untuk revitalisasi mesin industri bagi industri padat karya dengan total anggaran yang disiapkan untuk dukungan pembiayaan ini senilai total Rp20 triliun. Dukungan pembiayaan kredit ini diberikan untuk plafon pinjaman di atas Rp500 juta hingga Rp10 miliar, serta memiliki suku bunga/margin yang lebih rendah ketimbang kredit komersial. Sedangkan jangka waktu pinjaman juga fleksibel yaitu antara 5 hingga 8 tahun.

Ketiga, pemberian insentif PPh Pasal 21 Ditanggung Pemerintah (DTP) untuk pekerja di sektor padat karya berdasarkan PMK 10 Tahun 2025. Melalui beleid ini, pemerintah mengatur pemberian insentif PPh Pasal 21 DTP untuk masa pajak Januari hingga Desember 2025.

Insentif ini diberikan kepada pegawai yang bekerja pada sektor usaha industri alas kaki, tekstil dan pakaian jadi, furnitur, kulit dan barang dari kulit. Insentif hanya diberikan kepada pegawai yang memperoleh penghasilan bruto tidak lebih dari Rp10 juta per bulan atau Rp500.000 per hari.

Keempat, bantuan iuran jaminan kecelakaan kerja di BPJS Ketenagakerjaan sebesar 50 persen. Kebijakan ini telah diatur dalam PP 7/2025 tentang Penyesuaian Iuran Jaminan Kecelakaan Kerja bagi Perusahaan Industri Padat Karya Tertentu Tahun 2025.

Saat ini tantangan Pemerintah dalam menurunkan jumlah pekerja yang terkena PHK masih terus terjadi, dimana jumlah pekerja yang terkena PHK pada 2024 mencapai 77.965 orang dan sepanjang Januari hingga 23 April 2025, PHK dialami oleh 24.083 pekerja. PHK ini kebanyakan terjadi di Jawa Tengah, Jakarta, dan Riau.

Sementara itu, sektor usaha yang terbanyak melakukan PHK adalah industri pengolahan, perdagangan besar dan eceran, serta aktivitas jasa lainnya.

Berdasarkan informasi dari Kementerian Tenaga Kerja sedikitnya terdapat 25 penyebab perusahaan melakukan PHK, di mana salah satunya adalah perusahaan mengalami kerugian atau bahkan harus tutup karena penurunan permintaan di pasar dalam negeri maupun luar negeri. Selain itu, PHK juga bisa karena memindahkan operasional ke wilayah dengan upah tenaga kerja yang lebih rendah demi efisiensi biaya, serta akibat kasus perselisihan hubungan industrial.

 

Dampak insentif

Investasi dalam mesin baru dan teknologi canggih yang didorong oleh insentif pajak berpotensi meningkatkan efisiensi produksi. Dengan berkurangnya biaya produksi, perusahaan akan memiliki ruang untuk memperbesar margin keuntungan tanpa perlu mengurangi jumlah tenaga kerja.

Sebagai contoh, industri tekstil yang menerapkan mesin otomatis dalam proses produksinya dapat memproduksi lebih banyak produk dengan biaya yang lebih rendah, sehingga tetap dapat mempertahankan jumlah pekerja.

Selanjutnya insentif pajak memberikan ruang bagi perusahaan untuk mengurangi pengeluaran, yang berpotensi mengurangi risiko PHK. Dengan teknologi yang lebih efisien dan pengurangan biaya operasional, perusahaan dapat lebih mudah bertahan dalam situasi ekonomi yang menantang dan tidak perlu mengorbankan tenaga kerja mereka.

Sebagai contoh, perusahaan yang sebelumnya menghadapi kemungkinan PHK karena tekanan biaya, kini dapat mempertahankan pekerja mereka berkat insentif pajak yang mengurangi beban fiskal.

Berdasarkan Laporan Kuartal I 2025 Asosiasi Pertekstilan Indonesia, insentif PPh 21 DTP berkontribusi langsung pada penundaan PHK antara lain terhadap 200 karyawan pada PT Sumber Tekstil Mandiri (STM) di Jawa Barat, dan perusahaan memanfaatkan dana penghematan pajak untuk melakukan pelatihan ulang dan diversifikasi pasar.

Secara umum data dari Asosiasi Pertekstilan Indonesia menunjukkan penurunan tren PHK sebesar 15 persen pada kuartal pertama 2025 dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya.

Meski begitu, terdapat risiko dalam jangka panjang terkait dengan peningkatan otomatisasi yang diperoleh melalui insentif pajak. Mesin yang lebih efisien dan penggunaan teknologi canggih berpotensi menggantikan sebagian pekerjaan manual, terutama di sektor yang sangat bergantung pada tenaga kerja.

Oleh karena itu, meskipun kebijakan ini dapat menjaga ketenagakerjaan dalam jangka pendek, dalam jangka panjang dibutuhkan program pelatihan dan peningkatan keterampilan untuk mengurangi risiko pengangguran struktural akibat otomatisasi. Dengan berkurangnya kewajiban memotong dan menyetorkan PPh 21 ke kas negara, perusahaan memiliki dana lebih yang bisa digunakan untuk peningkatan keterampilan sehingga produktivitas perusahaan akan semakin baik dan kompetitif.

 

Contoh insentif di beberapa negara

Beberapa negara juga memberikan insentif untuk industri padat karya. Sebagai contoh Bangladesh, yang memberikan subsidi gaji sebesar 60 persen selama pandemi COVID-19 untuk sektor garmen, sehingga hal ini berhasil menekan PHK hingga di bawah 10 persen selama periode resesi.

Vietnam mengurangi pajak penghasilan dan memberikan potongan PPN untuk mendorong permintaan dalam negeri, sehingga berdampak pada industri tekstil dan sepatu yang berhasil menjaga tingkat ketenagakerjaan tetap stabil.

Contoh lainnya adalah Jerman yang memberlakukan skema Kurzarbeit, pemerintah membayar sebagian gaji pekerja yang jam kerjanya dikurangi. Skema ini terbukti mampu menahan lonjakan pengangguran saat krisis keuangan global 2008 dan pandemi 2020.

Sementara itu kebijakan yang berlaku di Indonesia mirip dengan pendekatan Kurzarbeit Pemerintah Jerman, meskipun skalanya masih terbatas dan belum menyentuh subsidi langsung terhadap gaji pokok.

Sejalan dengan contoh penerapan di berbagai negara dunia, beberapa hasil penelitian yang telah dirilis, misalnya yang dilakukan oleh IMF (2020) dan World Bank (2021) menunjukkan bahwa insentif pajak dan subsidi upah dapat mengurangi efek destruktif dari krisis ekonomi terhadap pasar kerja dan tambahan pendapatan rumah tangga juga berkontribusi pada pemulihan konsumsi domestik.

Studi yang dilakukan oleh Zylberberg et al. (2021) dalam Journal of Economic Perspectives menyebutkan bahwa skema pajak yang tepat sasaran dan mudah diakses lebih efektif dalam menjaga stabilitas ketenagakerjaan di negara berkembang. Hal ini sejalan dengan kondisi Indonesia, di mana prosedur klaim insentif yang kompleks sering kali menjadi kendala.

Paket kebijakan insentif untuk menjaga stabilitas ketenagakerjaan di sektor padat karya merupakan langkah strategis pemerintah Indonesia dalam menjaga stabilitas ekonomi dan meminimalisir dampak pengurangan pekerja yang perusahaannya terpapar gejolak ekonomi dan krisis global.

Implikasi kebijakan ini diharapkan meningkatkan konsumsi domestik dengan menghasilkan penghasilan yang lebih besar di tangan pekerja dan meningkatkan belanja rumah tangga, yang berkontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi dalam situasi ketidakpastian ekonomi global, serta meningkatkan kepercayaan pasar melalui kebijakan fiskal yang mendukung terhadap stabilitas ekonomi Indonesia. (ANT/LE)

Pos terkait