Memaksimalkan “Strategi 4P” Untuk Cegah dan Berantas Perdagangan Orang

Menteri Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (P2MI) Abdul Kadir Karding (tengah) diapit oleh Wakil Menteri P2MI Christina Aryani (kiri) dan Wamen P2MI Zulfikar A Tawalla (kanan) dalam Acara Peringatan Hari Migran Internasional (Migrants Day) di Jakarta pada 18 Desember 2024. (ANTARA/Katriana)

Jakarta, 25/12 (ANTARA/LE) – Nama Mary Jane Veloso akhir-akhir ini menarik perhatian masyarakat Indonesia setelah terpidana mati kasus narkoba yang juga warga negara Filipina itu akhirnya dipulangkan ke negara asalnya pada 18 Desember 2024.

Mary Jane Veloso merupakan seorang pekerja migran Filipina yang menjadi korban tindak perdagangan orang (TPPO) setelah direkrut untuk menjadi pekerja rumah tangga migran di Malaysia.

Bacaan Lainnya

Namun, dia ditangkap di Indonesia pada 2010 setelah diperdaya dan dieksploitasi sebagai kurir narkotika, menurut keterangan organisasi buruh Keluarga Besar Buruh Migran Indonesia (Kabar Bumi) pada 18 Desember 2024.

Kasusnya menarik dukungan nasional dan internasional. Sejumlah kelompok migran, organisasi perempuan, organisasi HAM, organisasi keagamaan, dan masyarakatnya umum lainnya bersama-sama menyerukan grasi, pemulangan dan bahkan penghapusan hukuman mati terhadapnya.

Mary Jane Veloso akhirnya kembali ke tanah airnya dan kepulangannya itu dinilai sebagai tonggak penting dalam perjuangan kolektif dan solidaritas internasional untuk menegakkan keadilan dan perlindungan bagi para pekerja migran di seluruh dunia.

Sama seperti Mary Jane, para pekerja imigran Indonesia (PMI) yang bekerja di luar negeri melalui jalur non-prosedural juga banyak mengalami eksploitasi, pelecehan dan tindak kekerasan lainnya.

Salah satunya adalah pengakuan pria berinisial RD kepada ANTARA pada 17 November 2024. RD merupakan ayah dari salah satu korban TPPO yang tertahan bersama 11 PMI lainnya di wilayah konflik Myawaddy, Myanmar.

“Anak saya yang berusia 22 tahun bersama 11 WNI lainnya masih berada di Myanmar,” kata RD. RD mengatakan anaknya bekerja selama lebih dari 12 jam (jam 4 sore-9 pagi) setiap harinya, tidak mendapatkan upah dan terkadang mendapatkan sanksi fisik seperti angkat galon selama 1 jam apabila tidak memenuhi target pekerjaan.

“Pernah satu malam dipenjara dengan kondisi dilarang tidur, tidak mendapat makanan dan terjadi kekerasan fisik yang menyebabkan memar serta bengkak. Setelah itu, dibebaskan dan bekerja lagi,” kata RD menjelaskan adanya ruang penahanan bagi karyawan yang tidak mencapai target selama bekerja.

Selain 12 PMI tersebut, masih ada banyak lagi pekerja migran Indonesia yang mengalami eksploitasi, pelecehan, dan tindak kekerasan lain selama bekerja di luar negeri karena menjadi korban TPPO.

Menteri Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (P2MI) Abdul Kadir Karding mengatakan 70 persen korban TPPO merupakan pekerja migran yang bekerja ke luar negeri melalui jalur nonprosedural.

“Salah satu faktor krusial dari tingginya jumlah korban TPPO adalah keberangkatan pekerja migran secara non-prosedural. Hal ini membuka peluang besar bagi para pelaku kejahatan untuk mengeksploitasi mereka,” kata Karding dalam sebuah diskusi publik yang diselenggarakan di Komnas HAM, di Jakarta, Kamis (5/12).

Mayoritas korban TPPO merupakan perempuan dan tenaga kerja dengan keterampilan (skill) rendah. Kelompok tersebut rentan terhadap eksploitasi, baik secara fisik, psikologis, maupun ekonomi.

Menteri Karding juga menyoroti pemberangkatan nonprosedural sebagai penyebab utama meningkatnya kasus TPPO. Oleh karena itu, dia mendorong penguatan sistem pelindungan bagi pekerja migran melalui peningkatan kesadaran masyarakat tentang prosedur keberangkatan yang aman.

 

Modus penipuan

Wakil Menteri Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (P2MI) Christina Aryani meminta masyarakat mewaspadai modus penipuan iklan lowongan kerja (loker) yang belakangan banyak memanfaatkan media sosial.

“Banyak sekali anak-anak muda nih terutama yang tergiur lihat iklan bekerja di Thailand, bekerja di mana-mana, gajinya besar dan lain-lain,” ujar Christina pada satu kesempatan di Yogyakarta, Senin (9/12).

Menurut dia, laporan kasus penipuan tersebut antara lain pernah didapatkan berdasarkan iklan lowongan kerja yang disebarkan lewat WhatsApp dan Telegram.

Para korban ditawari menjadi operator hingga staf administrasi di Thailand dengan gaji yang menggiurkan.

Saat tiba di Thailand, para pelamar tersebut ternyata dipekerjakan menjadi operator judi online atau online scammer yang merupakan tren baru dalam kasus Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO).

“Jadi kerjanya nipu orang, misalnya yang perempuan pura-pura jadi laki-laki, lalu menghubungi (korban) lewat WhatsApp. Nanti ada database dikasih untuk melakukan penipuan investasi, dan lain-lain,” ujar dia.

Menurut Christina, para pelamar kerja tersebut tertipu karena mereka tidak cermat mencerna iklan lowongan kerja di media sosial, terlebih dengan proses yang begitu cepat dan mudah.

Agar kasus serupa tak terulang, dia meminta masyarakat memverifikasi iklan lowongan kerja yang dijumpai di media sosial dengan menanyakan langsung ke Badan Pelayanan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP3MI) di wilayah masing-masing.

Dia memastikan petugas di BP3MI mampu melacak dari mana iklan lowongan kerja itu berasal. Selain melalui media sosial, modus lain untuk memberangkatkan pekerja migran ke luar negeri secara non-prosedural, yang berisiko menjerumuskan mereka menjadi korban TPPO, adalah dengan menggunakan visa turis.

Wamen Christina menyebut PMI yang berangkat ke luar negeri secara non-prosedural dengan menggunakan visa turis mengalami tren meningkat.

Kementerian P2MI tidak memiliki data pasti terkait jumlah PMI non-prosedural, termasuk yang ke Kamboja maupun Myanmar, lantaran mereka diberangkatkan melalui jalur-jalur tidak resmi. Meski demikian, Kementerian P2MI menengarai para PMI ilegal tersebut juga direkrut melalui sarana media sosial.

 

Pencegahan dan penanganan

Direktur Pelindungan WNI dan BHI Kementerian Luar Negeri (Kemlu) RI Judha Nugraha menyatakan pihaknya menjalankan empat langkah yang diringkas sebagai “Strategi 4P” untuk mencegah dan menangani TPPO yang menimpa WNI.

Strategi pertama adalah perlindungan korban (Protection) yang meliputi pemberian tempat aman, konseling apabila dibutuhkan, pendampingan hukum, serta rehabilitasi dan reintegrasi dengan masyarakat.

“Untuk membedakan korban TPPO yang sebenarnya dengan yang tidak, Kemlu tetap memperbarui form screening,” kata Judha lebih lanjut dalam sebuah diskusi bertema “Korupsi dan Kejahatan Siber” yang diadakan AJI Indonesia, di Jakarta, Jumat (13/12).

Judha menyoroti pentingnya strategi tersebut untuk mencegah kasus penipuan dan judi daring di luar negeri yang menurutnya sangat berkaitan dengan kasus TPPO.

Terlebih, Direktorat PWNI mencatat ada 5.111 kasus penipuan daring yang melibatkan WNI di luar negeri dalam kurun waktu 2020 hingga November 2024, di mana 1.290 kasus di antaranya dipastikan terdapat unsur TPPO.

Langkah berikutnya atau yang kedua adalah penegakan hukum (Prosecution) yang dilakukan melalui kerja sama dengan Bareskrim Polri yang kemudian berkolaborasi dengan penegak hukum di negara lain untuk kejadian di luar negeri. Saat ini, Polri sendiri telah bekerja sama dengan sekitar 15 negara untuk menangani kejahatan lintas batas.

Langkah ketiga adalah pencegahan (Prevention) yang dilakukan melalui pelibatan pihak-pihak terkait, seperti dengan pengelola media sosial untuk pengembangan filter yang dapat mendeteksi tawaran kerja palsu, penipuan daring, maupun judi daring.

Adapun langkah keempat atau yang terakhir adalah melalui pengembangan kerja sama (Partnership) antara Kemlu RI dengan para pemangku kepentingan, seperti dengan komunitas regional maupun dengan mitra di Tanah Air.

Menteri P2MI Abdul Kadir Karding menegaskan pentingnya penegakan hukum dalam penanganan dan pencegahan kasus TPPO. “Harus ada penegakan hukum. Ada tulisan regulasinya seperti apa, (tapi) kalau tidak ada penegakan hukum, percuma,” katanya pada pembukaan diskusi publik di Jakarta pada 5 Desember 2024.

Penegakan hukum tersebut harus dilakukan terutama terhadap sindikat-sindikat yang terlibat TPPO dan para calo yang melakukan kegiatan tersebut.

Karding juga berpendapat ada orang-orang yang bekerja di institusi yang dengan sengaja terlibat dalam TPPO, termasuk di Kementerian P2MI (KP2MI) itu sendiri.

Untuk itulah, Kementerian P2MI membentuk Tim Reaksi Cepat Pelindungan Migran Indonesia untuk memberantas sindikat atau kelompok yang membawa pekerja migran non-prosedural, yang berisiko mendorong terjadinya tindak pidana perdagangan orang.

“Jadi, tim ini sengaja kita bentuk karena setelah melihat data, ternyata orang yang berangkat unprocedural terlalu banyak,” katanya di Jakarta, pada 6 Desember 2024.

Dia menyebutkan bahwa saat ini terdapat 4,3 juta pekerja migran yang tercatat ilegal pada 2017. Tempat pemberangkatan pekerja migran non-prosedural tersebut terdeteksi di sejumlah area, seperti di bandara, pelabuhan, dan tempat-tempat lain, dengan rata-rata PMI non-prosedural itu rentan terhadap eksploitasi dan tindak pidana perdagangan orang.

Oleh karena itu, KP2MI membentuk tim reaksi cepat guna memberantas sindikat atau kelompok yang berada di balik pemberangkatan pekerja migran secara non-prosedural. “Kita bentuk tim ini untuk kemudian meminimilalisasi kejadian-kejadian ini. Tapi lebih penting dari itu, kami ingin pemain-pemain yang bermain di atas penderitaan pekerja migran ini ditangkap, diproses secara hukum,” kata Karding.

Tim reaksi cepat tersebut terdiri dari jajaran di Kementerian P2MI dan dari Balai Pelayanan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP3MI) dan akan dikerahkan di kantong-kantong di mana banyak terdapat pekerja migran. Tim tersebut akan bergerak cepat saat ada pengaduan dan temuan kasus.

Selain membentuk tim reaksi cepat untuk memberantas TPPO,  perlu juga menata ulang regulasi dalam upaya mengurangi jumlah pekerja migran yang berangkat secara non-prosedural.

Terkait upaya penegakan hukum dalam upaya pemberantasan tersebut, tim tersebut akan melibatkan penyidik, kepolisian, tentara dan pihak-pihak lain yang dibutuhkan dalam penanganan tersebut.

Pada akhirnya, kerja sama multipihak tersebut diharapkan dapat memberantas kelompok atau sindikat yang menjerumuskan orang-orang yang ingin bekerja di luar negeri menjadi korban TPPO sehingga akar permasalahan dari tindak pidana perdagangan orang dapat diatasi secara menyeluruh. (ANT/LE)

Pos terkait