judul gambar
BadungHeadlines

Bincang-bincang Tokoh Pendidikan (1), Drs Wayan Retha SH: Sekolah Swasta Mitra dan Aset Pemerintah

Badung, LenteraEsai.id – Belakangan, Drs I Wayan Retha SH kerap menyuarakan keprihatinan mengenai eksistensi sekolah-sekolah swasta di Bali umumnya, dan di Kabupaten Badung khususnya.

Sebagai tokoh pendidikan dan juga dalam kapasitasnya sebagai Ketua Paguyuban Sekolah Swasta Kabupaten Badung, Wayan Retha mengatakan, dalam kurun waktu beberapa tahun belakangan, banyak sekolah swasta di Badung, baik sekolah dasar (SD) maupun sekolah menengah pertama (SMP), sekolah menengah atas (SMA) dan sekolah menengah kejuruan (SMK) sederajat yang hidupnya megap-megap, tertatih-tatih dan ‘ngos-ngosan’.

“Bagai pepatah kerakap tumbuh di batu, hidup segan mati tak mau. Atau bagai telur di ujung tanduk dan pengandaian sejenis. Yang memiliki konotasi hidup sekolah-sekolah swasta di bawah yayasan sangat memprihatinkan, kesusahan. Karena kekurangan murid. Akibat kebijakan pemerintah Cq Dinas Pendidikan yang tidak ngemong sekolah swasta,” ujarnya ketika ditemui pewarta LenteraEsai (LE) di Badung pada Jumat (7/1) lalu.

Drs I Wayan Retha SH (70) adalah salah seorang tokoh pendidikan Bali. Pria asal Banjar Dawas, Desa Tibubeneng, Kecamatan Kuta Utara, Kabupaten Badung itu memiliki rekam jejak panjang di dunia pendidikan. Ia pernah menjadi Kepala Kantor Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (Kakandep P dan K) Badung, kemudian Kepala Dinas Pendidikan Badung,

Selain itu, Retha juga pernah menjabat Dekan di IKIP PGRI Bali dan dosen di sejumlah perguruan tinggi (PT). Dan setelah purnatugas sebagai ASN, Retha mendirikan dan mengelola sebuah sekolah kejuruan pariwisata yang diberi nama SMK Pratama Widya Mandala (PWM) di wilayah Desa Tibubeneng, Badung. Hingga sekarang sudah berjalan lima tahun dan sudah tiga kali menamatkan siswa, rata-rata sebanyak 400 orang.

Kebijakan pemerintah yang dinilai tidak ngemong tersebut, antara lain menyangkut sistem penerimaan siswa baru yang berlangsung setiap tahun menjelang tahun ajaran baru. Pemerintah terkesan menyapu bersih calon siswa baru. Melebihi ruang belajar (kelas) yang ada di sekolah negeri. Itu terjadi di semua jenjang (SD), SMP, SMA dan SMK. Bahkan pemerintah menerima siswa, padahal belum memiliki gedung sekolah sebagai tempat pelaksanaan proses belajar mengajar (PBM).

“Kebijakan itu (terima siswa, sedang sekolah belum ada Red-) kan sangat aneh. Sedang terhadap yayasan yang bergerak dalam bidang pendidikan, harus memiliki gedung sekolah sendiri. Tenaga pendidikan dan estimasi calon siswa yang bisa diraup,” ujars Retha sambil geleng-geleng kepala.
Kejadian tersebut berlangsung di di Kabupaten Badung, di Kota Denpasar dan juga daerah lainnya di Bali.

Dikatakan Retha, mengacu pada UU Pendidikan Nasional, pendidikan itu diselenggarakan pemerintah, masyarakat dan keluarga. Karena tidak mungkin pemerintah melaksanakan sendiri dalam menjalankan program pendidikan mencerdaskan bangsa. Masih dibutuhkan peranserta sekolah -sekolah swasta milik yayasan, untuk semua level pendidikan.
Bukan hanya itu, Retha juga mengingatkan pemerintah jangan sekali -sekali melupakan sejarah (jasmerah). Yang dia maksud, di masa lalu sebelum pemerintah mampu mengadakan sarana prasarana pendidikan (sekolah), masyarakat melalui sekolah partikelir (swasta) yang mengambil peran mencerdaskan bangsa.

“Dulu masyarakat mendirikan sekolah-sekolah partikelir sebagai alat perjuangan Kemerdekaan Indonesia. Itu sejarah maha penting, pemerintah jangan sampai lupa (jasmerah),” tandas mantan anggota DPRD Badung dari Partai Hanura tersebut.

Ditambahkannya, sampai sekarang pun masyarakat masih setia membantu pemerintah dalam dunia pendidikan. Buktinya masih banyak sekolah-sekolah swasta yang berdiri. Tetapi beberapa tahun belakangan, terkesan sekolah swasta dibonsai bahkan dimatikan. Celakanya, beberapa sekolah yang tutup karena tidak diemong pemerintah, katanya.

“Sekolah swasta itu kan mitra pemerintah. Sekaligus asset pemerintah. Yang namanya mitra mestinya diemong, disayangi. Asset diproteksi (dilindungi). Bukan malah dikerdilkan dan dimatikan,” ujar Retha menandaskan.

Berangkat dari pemahaman sejarah dan UU Pendidikan Nasional itu, menurut Retha pemerintah mesti bertanggung jawab menjaga eksistensi sekolah-sekolah swasta. Caranya tegas dan tegakkan aturan. Setiap sekolah negeri di semua tingkatan, menerima siswa baru sesuai ruang belajar (belajar) yang tersedia. Jangan memaksakan menerima lebih atau menerima semua, katanya, menekankan.

Pemerintah juga mesti membantu sarana prasarana sekolah swasta. Membantu meningkatkankan sumberdaya manusia (SDM) perguruan swasta. Membantu financial sekolah swasta. Sehingga kualitas sekolah -sekolah swasta sama dengan sekolah negeri. “Pemerintah bertanggung jawab terhadap pendidikan rakyat. Tetapi pemerintah tidak mampu melaksanakan sendiri. Perlu peranserta stikeholder (masyarakat),” katanya. (LE/Ima)

Lenteraesai.id