judul gambar
AdvertorialBadungHeadlines

Ny Putri Koster Kenang Sosok Umbu Landu Paranggi Sebagai ‘Guru Alam’

Badung, LenteraEsai.id – Kepergian penyair senior Umbu Landu Paranggi menyisakan duka bagi banyak insan, terutama di kalangan pegiat sastra di Pulau Dewata. Tak terkecuali bagi seniman serba bisa yang kini menjadi sosok pendamping orang nomor satu di Bali, Ny Putri Suastini Koster.

“Namun, bukan berarti kami sedih, hanya saja kami merasa secara fisik (kini, red) tidak bisa berdekatan. Secara fisik kehilangan, namun kami juga bersyukur bahwa Bapak Umbu kini telah pergi untuk meraih kebahagiaan,” ujar Ny putri Koster di sela prosesi penghormatan inkulturasi antara liturgi Kristiani dan ritual Kurukudu dalam tradisi Sumba kepada mendiang Umbu Landu Paranggi, yang dilaksanakan di Taman Makam Kristiani Mumbul, Nusa Dua, Kabupaten Badung, Senin (12/4) siang.

Menurut Ny Putri Koster, saat ini jenazah mendiang akan ‘diistirahatkan’ sementara di lokasi tersebut sembari menunggu kondisi sudah memungkinkan untuk membawa mendiang ke tempat peristirahatannya yang terakhir, di tanah kelahirannya, Sumba, NTT.

“Tentunya menjadi tanggung jawab kita yang merasa sebagai murid dari mahaguru. Jangan bangga saja, mari kita petik apa-apa yang sudah beliau berikan tidak hanya bersastra, namun juga lelaku hidup yang baik. Mari kita petik lelaku hidupnya dan jadikan pedoman. Karena di balik kepolosan dan konsistensi beliau di dunia sastra, beliau tidak hanya berlaku sebagai guru sastra tetapi juga ‘guru alam’ bagi kita semua,” ujar Ny Putri Koster.

Ny Putri Koster juga sangat mengagumi jasa-jasa sosok yang sering disebut mahaguru para penyair di Indonesia tersebut bagi perkembangan dunia sastra di Bali, meskipun Pulau Dewata bukan merupakan tanah kelahirannya. “Bayangkan, beliau yang lahir dari darah biru, keluarga bangsawan di tanah Sumba, nyatanya berperan besar dalam tatanan tingkah laku hidup yang baik di Bali, Jawa, Sumatera dan lainnya. Itu yang membuat kita semakin bangga dengan beliau,” katanya di hadapan keluarga, kerabat dan insan sastra yang hadir.

Dirinya juga mengibaratkan sang penyair seperti satu sayap yang mengepak menempuh jalan sunyi, sementara sayap lainnya dikepak sang istri, untuk menata kehidupan keluarga. “Keduanya, sama-sama memberikan makna pada orang-orang di sekitarnya. Beliau telah menorehkan banyak pelajaran hidup kepada para muridnya yang tersebar di seluruh Tanah Air, terus bergerak di ruang sunyi, tak kenal lelah,” ucapnya.

Berpulangnya Umbu Landu Paranggi, kata Ny Putri Koster, seyogyanya jadi momentum untuk kembali mengasah batin dan lelaku lewat sastra dan kata-kata. “Bukan hanya mengagungkan diri sendiri, namun biar kita diagungkan orang lain. Bukankah sudah jalannya, ketika kita lahir, kita menangis namun orang lain berbahagia. Sedangkan saat kita meninggal kita berbahagia, dan orang lain yang menangis. Yang terpenting doa kita bersama, bagi beliau yang sudah memberikan tuntunan terbaik bagi kita,” ujar Ny Putri Koster, berpesan.

Dalam kesempatan tersebut, para murid ULP membacakan sejumlah puisi karya Umbu sebagai tanda kasih dan penghormatan kepada guru mereka. Antara lain Wayan Jengki Sunarta membawakan puisi ‘Kata Kata Kata’ karya Umbu, dan ‘Kuda’ karya Jengki yang didedikasikan untuk Umbu, serta pembacaan puisi dari Pranita Dewi dengan judul ‘Sajak Kecil’ karya Umbu.

Upacara Kurukudu sendiri berintikan doa mengantarkan mendiang ke ‘ruang sunyi’ untuk beristirahat sementara, sebelum pemakaman nanti dilakukan di tanah Sumba. Seluruh rangkaian upacara Kurukudu akan dilakukan oleh pihak keluarga yang berjumlah 15 orang, baik yang datang dari Sumba maupun yang bermukim di Bali.

“Ini merupakan tempat peristirahatan sementara, dan berarti Pak Umbu masih ada di sekitar kita, belum mengendarai kuda putih, kuda merah untuk sampai ke surga,” kata menantu mendiang, Umbu Rihimeha Anggung Praing.

“Ucapan terima kasih kami yang besar kepada Pemerintah Bali, juga Kesultanan Jogja di mana Pak Umbu berkreativitas, sehingga sampai pada jalan yang sunyi ini,” ujarnya.

Terhadap jenazahnya juga akan dilakukan liturgi menurut tata cara Kristiani yang diikuti dengan ritual Kurukudu, sebagaimana yang selama ini menjadi tradisi dan adat orang Sumba. Jenazah itu akan ditempatkan di blok khusus sendiri dengan jaminan 20 tahun dan diberikan perawatan oleh pihak yayasan pengelola taman pemakaman.

Penyair yang dijuluki dengan sebutan ‘Presiden Malioboro’ tersebut meninggal dunia pada Selasa (6/4) dini hari di RS Bali Mandara, Denpasar, Bali setelah sebelumnya sempat dirawat selama 3 hari. Umbu merupakan penyair besar Indonesia yang juga sosok mahaguru para penyair yang lahir di Kananggar, Waingapu, Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur, 10 Agustus 1943.

Dari tangannya telah lahir banyak penyair maupun sastrawan besar, sebut saja Emha Ainun Nadjib, Korrie Layun Rampan, Linus Suryadi AG. Ia meninggal dunia pada usia 77 tahun.  (LE-BD1)

Lenteraesai.id