Denpasar, LenteraEsai.id – Ni Ketut Reji (85), seorang nenek yang buta huruf, digiring ke persidangan atas dakwaan telah membuat dan mengunakan surat palsu. Ia bersama anaknya I Wayan Karma, Selasa (3/11) sore kembali harus duduk sebagai terdakwa di Pengadilan Negeri Denpasar.
Kehadiran nenek dan anaknya sore itu adalah untuk mengikuti sidang lanjutan yang sebelumnya atau sidang perdana telah sempat digelar pada 22 Oktober 2020 lalu.
Pada sidang perdana, Jaksa Penuntut Umum (JPU) I Made Lovi Pusnawan SH, mendakwa Ni Ketut Reji seorang nenek yang buta huruf dan anaknya I Wayan Karma telah menggunakan surat palsu sebagaimana diatur dalam Pasal 263 ayat (2) KUHP jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Untuk membantah dakwaan JPU tersebut, kedua terdakwa melalui kuasa hukumnya yang berjumlah 10 orang, diberikan kesempatan oleh majelis hakim yang diketuai Dr I Wayan Gede Rumega SH untuk mengajukan nota keberatan atau eksepsi atas dakwaan tersebut.
Tim kuasa hukum yang tergabung dalam Lembaga Advokasi dan Bantuan Hukum Indonesia (LABHI) Bali itu, terdiri atas I Made Suardana SH MH, I Ketut Rinata SH, I Nyoman Alit Kesuma SH, I Made Somya Putra SH MH, I Wayan Wija Negara SH, Ni Luh Sukawati SH, Ni Luh Desi Swandari SH, Wayan Widi Mandala Putra SH, I Gede Yudha Partha Mahendra SH dan I Nyoman Yudi Artawan SH.
Di persidangan Selasa (3/11) sore, eksepsi tersebut dibacakan oleh 5 orang perwakilan kuasa hukum yaitu I Made Suardana SH MH, I Ketut Rinata SH, I Nyoman Alit Kesuma SH, I Made Somya Putra SH MH dan Ni Luh Sukawati SH, yang pada pokoknya mempertanyakan bagaimana seorang nenek yang tua renta dan tidak memiliki kemampuan untuk membaca dan menulis dapat didakwa menggunakan surat palsu.
Terdakwa Ni Ketut Reji adalah wanita yang telah berusia 85 tahun. Dengan umur yang setua itu, terlebih lagi buta huruf (tidak bisa membaca dan menulis), tentunya sangat awam tentang hukum. Sehingga ketika fotocopy keterangan silsilah tertanggal 8 Juni 1981 ditemukan terdakwa Ni Ketut Reji, tidaklah mengerti dan mengetahui apa isinya.
Untuk mengerti dan mengehui isi dari fotocopy keterangan silsilah tertanggal 8 Juni 1981 itu, tentunya hal tersebut melalui penyampaian keluarganya, dan I Ketut Nurasa SH MH yang merupakan kuasa yang ditunjuk oleh keluarga Ni Ketut Reji untuk membantu mempertahankan hak-hak Ni Ketut Reji dan I Wayan Karma, yang secara yuridis berhak atas warisan Ni Pitik dan NI Sorti. Sehingga dalam perkara ini NI Ketut Reji dan I Wayan Karma hanya menyerahkan fotocopy keterangan silsilah tertanggal 8 Juni 1981 kepada I Ketut Nurasa SH MH untuk mempertahankan hak-haknya tanpa mengetahui proses, teknik menulis somasi, teknik pendataan, mengisi surat-surat, maupun menilai keaslian suatu surat.
Dengan latar belakang yang buta huruf (tidak bisa menulis dan membaca) tentunya terdakwa Ni Ketut Reji tidak mengerti tentang hasil kajian dari I Ketut Nurasa SH MH tersebut dan bagaimana kuasa hukumnya tersebut melakukan pembelaan menggunakan fotocopy keterangan silsilah tertanggal 8 Juni 1981.
Namun anehnya, kata tim kuasa hukum Ni Ketut Reji, malah kemudian Ni Ketut Reji dan I Wayan Karma yang tidak mengerti hal tersebut dijadikan pesakitan dengan dakwaan menggunakan surat palsu sebagaimana Pasal 263 ayat (2) KUHP Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Dalam eksepsi tersebut, tim kuasa hukum menegaskan bahwa kasus ini sejatinya adalah ranah hukum perdata, karena menyangkut persoalan kewarisan dan silsilah yang merupakan hukum perdata. Sehingga surat keterangan silsilah tertanggal 8 Juni 1981 harus diuji dalam sidang perdata, bukan diuji dalam persidangan ini yang mendakwakan Ni Ketut Reji seorang nenek yang buta huruf dan anaknya I Wayan Karma melakukan tindak pidana pemalsuan surat.
Selain itu, tim kuasa hukum terdakwa juga menyebutkan surat dakwaan JPU cacat hukum karena Tempus Delicti (waktu tindak pidana dilakukan) tidak sesuai dengan kejadian yang sesungguhnya. Tim kuasa hukum terdakwa menerangkan bahwa terdakwa memberikan kuasa kepada I Ketut Nurasa SH MH & Partners pada tanggal 22 Januari 2020, kemudian membuat Surat Somasi Nomor : 11/II/KHWB/2020, tertanggal 05 Februari 2020 dengan melampirkan Keterangan Silsilah, tertanggal 8 Juni 1981. Selanjutnya surat somasi tersebut baru dikirimkan pada 14 Februari 2020.
Namun JPU dalam dakwaannya menyebutkan pelapor/korban telah menerima Surat Somasi dan Lampiran Keterangan Silsilah, tertanggal 8 Juni 1981 pada tanggal 20 Januari 2020. Oleh karena itu, dakwaan JPU cacat yuridis formal, tidak cermat, tidak jelas dan tidak lengkap sehingga menyesatkan (misleading), membingungkan (confuse) sehingga dikwalifikasikan sebagai dakwaan kabur.
Berkaitan dengan itu, tim kuasa hukum terdakwa meminta kepada majelis hakim yang diketuai Dr I Wayan Gede Rumega SH untuk menerima eksepsi para terdakwa, dan sebaliknya menyatakan dakwaan JPU batal demi hukum. (LE-DP)