Singapura, LenteraEsai.id – Bulan Hantu, sebuah tradisi bagi masyarakat China, khususnya bagi warga Tionghoa di Singapura, setiap tahun dirayakan dengan semarak dan penuh suka cita, terlebih bagi warga yang memiliki perusahaan.
Para pengusaha China meyakini dengan mengelar hajatan dan mempersembahkan ‘sesajen’ tertentu kepada para arwah di Bulan Hantu, segala usaha yang dijalankan akan lancar, bahkan terhindar dari celaka dan marabahaya.
Koresponden LenteraEsai.id dari Singapura, Sabtu (5/9) siang melaporkan, berangkat dari kepercayaan itu, Bulan Hantu yang jatuh sepanjang September setiap tahunnya, selalu dirayakan dengan berbagai persembahan dan ritual, belum lagi aneka atraksi kesenian dan unsur keramaian lainnnya.
Namun demikian, kini berkenaan dengan mewabahnya Virus Corona, perayaan Bulan Hantu tahun ini tampak berkangsung sanggat sepi dan sederhana. Nyaris tanpa warna yang berbeda dengan hari-hari biasa.
Sejumlah warga terlihat hanya melalukan pembakaran uang-uangan dari kertas, atau menyulut dupa dan lilin secukupnya di rumah mereka masing-masing. Tidak banyak warga yang keluar rumah. Ini terkait dengan imbauan pemerintah untuk melakukan social distancing.
Sementara pada tahun lalu, Bulan Hantu dirayakan dengan begitu semarak. Panggung hiburan, pesta kembang api, lelang minuman beralkohol, makan malam bersama dan pembakaran uang-uangan dalam jumlah yang besar muncul di sejumlah tempat di Singapura.
Karenanya, perayaan Bulan Hantu tahun ini tampak sangat jauh berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Di masa Covid-19 perayaan secara meriah ditiadakan dengan adanya imbauan pemerintah untuk tidak melakukan aktivitas keramaian secara bersama-sama atau berkumpul melebihi 5 orang.
“Maximum 5 persons !,” kata Mr Woo (43), pengusaha muda yang bergerak di bidang MechanicalEngineering di Kota Singapura. Tanpa mengurangi makna dari perayaan, ia mengaku tetap menggelar ritual Bulan Hantu secara pribadi bersama keluarga, baik di tempat usaha maupun rumah masing-masing.
Suguhan utama yang disajikan berupa beras, mie, minyak, buah-buahan dan berbagai minuman. Tidak ketinggalan masakan khas China berupa olahan babi, ayam dan bebek panggang, ujar Mr Woo, menuturkan.
Woo menambahkan, setelah selesai menyajikan persembahan, uang-uangan dari kertas tidak sembarangan dibakar, melainkan harus satu persatu. Begitu juga pembungkusnya harus di lepaskan. Uang-uangan harus terbakar habis dengan sempurna. Yang paling penting, kata dia, adalah uang-uangan kertas berwarna kuning dengan ukuran menyerupai ‘uang bolong’, dibakar paling terakhir. Baginya ‘uang bolong’ merupakan simbol kemakmuran.
Sementara bagi Mr Wong (65), pekerja kebersihan lingkungan di sebuah Bisnis Hub, mengaku sedikit lega sehubungan bulan ini tidak banyak sampah yang harus dipungut, karena tidak ada perayaan Bulan Hantu di tempat-tempat umum.
Mr Wong menyebutkan, tahun lalu, hampir selama sebulan, terutama di hari-hari tertentu perayaan Bulan Hantu, cukup banyak berserakan aneka sampah di sejumlah tempat umum dan jalan raya.
Sampah-sampah tersebut sebagian besar berupa sisa pembakaran uang-uangan sangat banyak, selain bekas bungkus-bungkus pekanan warga yang merayakan Bulan hantu.
Di usianya yang sudah tergolong senja, Mr Wong mengaku pada tahun lalu harus turun memunguti satu-persatu tebaran uang-uangan dan sampah sisa persembahan, sehingga sanggat melelahkan. “Kali ini masa saya ada senang sikit,” ucapnya dalam dialek Melayu, mengungkapkan perasaan hatinya.
Sementara mengenai pantangan-pantangan yang tidak boleh dilakukan warga di Bulan Hantu, tahun ini tampak masih tetap ditaati oleh masyarakat Tionghoa di Singapura.
Pantangan tersebut misalnya bagi orang lanjut usia dan anak-anak di bawahumur, tidak diperbolehkan keluar rumah di malam-malam tertentu selama sebulan di Negeri Singa.
Pantangan yang paling dirasakan oleh para pengusaha adalah, masyarakat Tionghoa sangat pantang untuk melakukan renovasi rumah, membeli perkakas rumah tangga selama perayaan Bulan Hantu. Akibatnya, pendapatan para pengusaha yang bergerak di bidang itu menjadi menurun drastis dibandingkan dengan bulan-bulun sebelumnya. “Its predictable,” ujar Mr Tan, seorang pengusaha korden di Singapura.
Pantangan paling unik disampaikan oleh Bruce Lee (panggilan akrab), seorang pekerja dari negeri Panda yang mengadu nasib di Singapura. Ia menyebutkan, selama Bulan Hantu masyarakat dilarang berkata-kata jorok ataupun mengumpat dengan kata-kata kotot. “Itu tidah boleh. Tdak boleh-tidak boleh,” katanya, menegaskan.
“Para hantu tidak suka mendengar kata-kata jorok. Nanti kita bisa celaka,” ujar Bruce Kee berkisah tentang seorang kawan di Shanghai China, mengalami kecelakaan karena mengumpat dengan vulgar di tengah berlangsungnya perayaan Bulan Hantu.
“Bagi yang suka mengumpat-umpat. Di Bulan Hantu, jangan coba-coba,” ujarnya, dengan mimik wajah serius, (LE-JN)