Denpasar, LenteraEsai.id – Gempa bumi tektonik mengguncang wilayah Bali, Lombok, Sumbawa Barat dan Jawa Timur bagian selatan pada Kamis dini hari, 19 Maret 2020 pukul 01.45.38 Wita.
Hasil analisis BMKG menunjukkan gempa tersebut memiliki parameter update M=6,3, dari yang sebelumnya sempat dilaporkan sebesar M=6,6.
Episenter gempa terletak pada koordinat 11,4 LS dan 115,04 BT, tepatnya di laut pada jarak 305 km arah selatan Kota Denpasar, Bali, pada kedalaman 10 km.
Gempa ini dirasakan hampir di seluruh Bali dan Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB) dengan skala intensitas terbesar mencapai IV MMI, di mana guncangan dirasakan cukup kuat hingga menyebabkan jendela dan pintu rumah berderik.
Cukup kuatnya guncangan, telah mengakibatkan beberapa warga yang sedang tidur terbangun dan mencoba berlarian ke luar rumah.
Sementara itu, di Sumbawa Barat dan Jawa Timur bagian selatan, guncangan dirasakan dalam skala intensitas III MMI, di mana getaran dirasakan seperti ada truk lewat.
Sejauh ini belum ada laporan mengenai dampak kerusakan bangunan fisik yang ditimbulkan dari bencana alam tersebut, serta patut disyukuri bahwa hasil pemodelan menunjukkan bahwa gempa tersebut tidak berpotensi tsunami.
BMKG mencatat, hingga Kamis (19/3) pagi pukul 07.00 Wita sudah terjadi gempa bumi susulan (aftershocks) sebanyak 12 kali.
Kepada Bidang Mitigasi Gempa Bumi dan Tsunami BMKG Daryono melalui siaran tertulis kepada pers menyebutkan, jika memperhatikan lokasi episenter dan kedalaman gempa pada dini hari itu, tampak bahwa gempa ini dipicu oleh adanya aktivitas patahan tepat di zona Palung Jawa (Java Trench).
Hasil analisis BMKG menunjukkan bahwa gempa ini memiliki mekanisme patahan turun (normal fault), maka jelas bahwa deformasi batuan tersebut terjadi pada bidang tekukan Lempeng Indo-Australia yang mengalami gaya tarikan lempeng (ekstensional).
Di zona ini slab lempeng samudra Indo-Australia ‘mulai’ menunjam dan menekuk ke bawah lempeng benua Eurasia di selatan Bali, dan di sinilah patahan itu terjadi, ujarnya.
Ia mengatakan, karena patahan batuan terjadi pada bagian lempeng Indo-Australia, maka gempa ini dapat disebut sebagai gempa intraslab, tetapi masih berada di zona sumber gempa di luar zona subduksi (outer rise).
Gempa yang bersumber di zona outer rise Bali tidak hanya sekali ini saja terjadi. Sebelumnya zona outer rise Bali pernah mengalami gempa signifikan sebanyak 3 kali, yaitu (1) pada 9 Juni 2016 dengan magnitudo 6,0, (2) pada 17 Maret 2017 dengan magnitudo 5,3 dan (3) pada 9 Juni 2019 dengan magnitudo 5,1.
Zona outer rise selatan Bali ini patut diwaspadai dan tidak boleh diabaikan, karena zona sumber gempa ini mampu memicu gempa besar dengan mekanisme turun sehingga dapat menjadi generator tsunami, ujar Daryono, mengungkapkan.
Salah satu contoh gempa dahsyat yang bersumber di zona outer rise di Indonesia yang pernah memicu tsunami mematikan adalah zona outer rise di selatan Sumbawa. Sumber gempa ini memicu tsunami Lunyuk, Sumbawa, pada 19 Agustus 1977. Saat itu gempa dahsyat M 8,3 yang oleh para ahli gempa populer disebut sebagai ‘The Great Sumba’ telah memicu terbentuknya patahah dasar laut dengan mekanisme turun, sehingga memicu terjadinya tsunami setinggi sekitar 8 meter dan menewaskan lebih dari 300 orang.
Di luar negeri, zona sumber gempa outer rise juga pernah memicu tsunami mematikan. Peristiwa tsunami Sanriku di Jepang tahun 1933 dipicu oleh gempa berkekuatan 8,6 yang bersumber di zona outer rise. Tsunami ini menewaskan lebih dari 3.000 orang.
Selanjutnya adalah peristiwa tsunami Samoa di Pasifik yang terjadi pada 29 September 2009. Gempa kuat dengan magnitudo 8,1 di zona outer rise dekat subduksi Tonga juga memicu tsunami dahsyat yang menewaskan 189 orang.
Catatan tsunami yang bersumber di luar zona subduksi di atas, kata Daryono, kiranya cukup untuk dijadikan pelajaran bahwa zona outer rise (termasuk) di wilayah Indonesia, merupakan zona gempa pemicu tsunami yang patut diwaspadai dan tidak boleh diabaikan. (LE-DP)