Menimbang Manfaat dan Risiko “Study Tour”

Sejumlah siswa SD Al-Azhar Kelapa Gading, Jakarta tampil di layar monitor saat wisata virtual study tour di Kebun Raya Bogor, Jawa Barat, Senin (28/9/2020). ANTARA FOTO/Arif Firmansyah/hp.

Jakarta, 28/3 (ANTARA/LE) – Setiap tahun, study tour atau karyawisata menjadi agenda yang dinanti oleh siswa, tetapi agenda tersebut memunculkan sejumlah persoalan,  terutama terkait keselamatan dan biaya.

Sesuai dengan namanya, study tour bukan sekadar perjalanan, tetapi juga bagian dari kegiatan belajar atau ibadat jendela yang membuka wawasan siswa terhadap dunia nyata.

Bacaan Lainnya

Dengan mengunjungi situs bersejarah, pusat sains, atau destinasi budaya, siswa mendapatkan pengalaman belajar langsung di lapangan yang tidak bisa diperoleh hanya di dalam kelas atau dari buku pelajaran.

Di balik manfaatnya, study tour juga menghadapi sejumlah tentangan dari beberapa pihak yang melihat ada “mudlarat” dari kegiatan itu.

Beberapa kecelakaan yang melibatkan rombongan siswa menimbulkan kekhawatiran bagi orang tua dan sekolah. Selain itu, biaya yang tinggi kerap menjadi beban bagi keluarga memicu perdebatan tentang urgensi dan relevansi kegiatan ini dalam sistem pendidikan.

Belakangan ini, beberapa pemerintah daerah, seperti Jawa Barat dan Banten mengeluarkan kebijakan yang melarang pelaksanaan study tour bagi siswa sekolah. Langkah ini diambil dengan mempertimbangkan faktor keselamatan serta efektivitas pembelajaran, terutama setelah meningkatnya jumlah kecelakaan yang melibatkan rombongan karyawisata.

Namun, kebijakan tersebut tidak sepenuhnya sejalan dengan pandangan pemerintah pusat. Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen) Abdul Mu’ti menegaskan bahwa pemerintah tidak melarang study tour, tetapi menekankan pentingnya aspek keamanan dalam pelaksanaannya.

Ia lalu meminta sekolah untuk memastikan keamanan transportasi, memilih sopir yang bertanggung jawab, serta memastikan siswa tetap berada dalam pengawasan guru selama perjalanan.

Dukungan terhadap keberlanjutan study tour juga datang dari Ketua Komisi X DPR RI Hetifah Sjaifudian. Dia menilai kegiatan study tour lebih banyak memberikan manfaat dibandingkan mudaratnya. Menurutnya, study tour adalah sarana edukasi yang efektif untuk memperluas wawasan siswa di luar lingkungan kelas.

“Kegiatan ini memberikan pengalaman belajar langsung yang tidak bisa didapatkan melalui buku atau materi pembelajaran saja,” ujarnya.

Ia mengatakan bahwa dengan mengunjungi tempat-tempat bersejarah, museum, atau destinasi edukasi lainnya, siswa dapat memahami konsep pelajaran secara lebih mendalam. Selain itu, study tour juga berperan dalam mengembangkan keterampilan sosial siswa, seperti komunikasi dan kerja sama dalam kelompok.

Meski demikian, Hetifah menekankan bahwa pengawasan dari pihak sekolah dan orang tua tetap diperlukan. Ia mengingatkan bahwa protokol keamanan harus menjadi prioritas utama agar kegiatan ini berjalan dengan aman dan lancar.

Berikutnya, ada pula pandangan yang menilai kebijakan larangan study tour berpotensi merugikan industri pariwisata. Pandangan itu datang dari Ketua Umum Gabungan Industri Pariwisata Indonesia (GIPI) Hariyadi Sukamdani.

Hariyadi menilai bahwa jika keselamatan menjadi perhatian utama, yang harus diperbaiki adalah aspek transportasi, bukan melarang kegiatan wisata sekolah secara keseluruhan.

Ia kemudian meminta kepala daerah yang telah mengeluarkan kebijakan larangan untuk mempertimbangkan kembali keputusan tersebut, karena dinilai tidak menyelesaikan inti permasalahan. Menurutnya, kebijakan mengenai study tour seharusnya disesuaikan dengan program sekolah dan kemampuan siswa, tanpa perlu ada larangan mutlak.

Senada dengan itu, Sekretaris Jenderal Dewan Pimpinan Pusat Organisasi Angkutan Darat (DPP Organda) Ateng Aryono yang menilai keselamatan transportasi harus menjadi prioritas utama dalam kebijakan terkait study tour. Ia menyoroti praktik beberapa operator angkutan yang mengabaikan standar keselamatan demi menekan biaya.

Dia menegaskan bahwa lembaga pemberi izin harus lebih ketat dalam memantau dan menginspeksi operator angkutan pariwisata. Keselamatan harus menjadi bagian dari budaya operasional, bukan sekadar formalitas.

Pandangan positif mengenai study tour juga diberikan oleh pengamat pendidikan Ina Liem. Ia mengatakan kegiatan study tour merupakan salah satu metode belajar yang efektif bagi siswa sehingga tidak perlu ada larangan bagi sekolah untuk melakukan kegiatan tersebut.

Ia menjelaskan profil kepribadian siswa dalam memahami proses pembelajaran sangatlah beragam, yang di antaranya terdapat siswa dengan kepribadian “openness to experience” yang mudah menyerap berbagai ilmu pengetahuan dengan menggunakan seluruh pancaindra.

Dia lmengimbau seluruh pemerintah daerah agar dapat melihat secara menyeluruh dari berbagai sisi terkait penyelesaian polemik kegiatan study tour sekolah sehingga dapat membuat regulasi dan pengawasan yang tepat sasaran dan tidak menghambat proses belajar siswa.

Ina menilai beberapa permasalahan seputar kegiatan study tour, mulai dari kondisi bus transportasi yang kerap kali mengkhawatirkan hingga mahalnya biaya yang harus dibayar orang tua siswa, kurang tepat bila menjadi alasan utama untuk melarang keberlangsungan kegiatan tersebut.

Menurut dia, permasalahan utama dalam penyelenggaraan kegiatan tersebut ialah adanya beberapa oknum yang memosisikan kegiatan study tour sekolah sebagai “proyek” untuk mendapatkan keuntungan materi hingga mengaburkan esensi study tour menjadi kegiatan wisata semata dengan biaya operasional yang mahal.

 

Menemukan solusi

Di tengah perbedaan pandangan antara pemerintah daerah dan pusat dan beragam pihak lainnya, diperlukan solusi yang dapat menjembatani kepentingan semua pihak. Sekolah perlu memastikan bahwa destinasi yang dipilih memiliki nilai edukatif yang sesuai dengan kurikulum agar study tour tidak hanya menjadi ajang rekreasi semata.

Selain itu, persoalan biaya juga perlu mendapat perhatian serius. Sekolah dapat mencari alternatif destinasi yang lebih dekat tetapi tetap memiliki nilai edukatif tinggi. Dukungan dari pemerintah daerah maupun sektor swasta bisa menjadi solusi untuk memberikan subsidi bagi siswa dari keluarga kurang mampu.

Aspek keselamatan pun tidak bisa diabaikan. Pemilihan transportasi harus dilakukan secara selektif dengan hanya menggunakan jasa yang telah terverifikasi keamanannya. Sekolah juga perlu memastikan adanya pendampingan yang memadai dan menerapkan prosedur keselamatan yang ketat selama perjalanan.

Di tengah pro dan kontra yang ada, study tour tetap bisa menjadi bagian dari sistem pendidikan yang bernilai. Dengan perencanaan yang matang dan pengawasan yang ketat, keseimbangan antara edukasi dan rekreasi dapat tercapai tanpa mengorbankan keselamatan serta aksesibilitas bagi seluruh siswa. (ANT/LE)

Pos terkait