judul gambar
Denpasar

Kelanjutan Sengketa Tanah di Serangan, Saksi: Ahli Warisnya Siti Sapurah

Denpasar, LenteraEsai.id – Kasus sengketa lahan seluas 7 are yang terletak di Pulau Serangan, saat ini memasuki babak baru. Pada Senin (22/4/2024), sejumlah saksi dihadirkan penggugat di Pengadilan Negeri Denpasar, untuk dilakukan pemeriksaan.

Saksi yang hadir siang itu terdiri atas I Made Subamya (66) dan I Ketut Suardana (59), yang merupakan warga asli kelahiran Serangan. Atas kehadiran kedua saksi tersebut, langkah pemeriksaan pun dilakukan pada sidang  yang dipimpin oleh Hakim Ketua Gede Putra Astawa SH MH yang didampingi hakim anggota Ida Bagus Bamadewa SH MH dan Ni Made Oktimandiani SH MH.

Pada kesempatan itu, saksi Ketut Suardana menyebutkan bahwa tanah yang menjadi objek sengketa diketahuinya merupakan warisan dari Haji Daeng Abdul Kadir. Tanah seluas 7 are itu, belakangan dijadikan akses jalan dan diaspal dengan hasil swadaya dari masyarakat setempat. Padahal mestinya, tanah itu diwariskan ke keturunan Daeng Abdul Kadir.

Ketika ditanyakan siapa keturunan yang berhak atas tanah objek sengketa itu, dengan tegas saksi Ketut Suardana menyebutkan, “Ahli waris Daeng Abdul Kadir adalah Mbak Ipung (Siti Sapurah).”

Selanjutnya, saksi kedua, Made Subamya mengatakan dirinya tahu pasti bahwa dahulu kala, tanah Daeng Abdul Kadir adalah hamparan lahan yang sering kali dipakai anak-anak bermain bola. Lahan Daeng Abdul Kadir bersebelahan dengan tambak yang dimiliki Haji Moh Anwar.

“Tambak itu kemudian ditimbun dalam upaya reklamasi oleh PT BTID. Dan yang terjadi kemudian, lahan Daeng Abdu Kadir dijadikan akses jalan oleh warga, dan kemudian di-SHGB oleh PT BTID,” ujar Made Subamya.

Sementara itu, sesuai persidangan, advokat Siti Sapurah SH atau yang biasa dipanggil Mbak Ipung menyebutkan, terkait pemeriksaan kedua saksi, dirinya selaku penggugat ingin menyampaikan beberapa hal.

“Kami tadi hanya ingin saksi mempertegas bahwa objek sengketa yang sekarang dijadikan akses jalan yang juga di-SHGB oleh PT BTID adalah bagian dari tipe 186. Dan karena mereka adalah saksi dan bagian dari warga Serangan, tentu dia tahu, mana tanahnya Abdul Kadir dan mana tambaknya yang milik Haji Muhammad Anwar. Dan saksi pun adalah bagian dari orang korban yang tanahnya juga di-SHGB oleh PT BTID,” ucapnya.

Mbak Ipung melanjutkan, untuk diketahui dalam kasus ini, Tergugar 1 PT BTID, Tergugat 2 adalah Jro Bendesa Desa Adat Serangan, Tergugat 3 Lurah Serangan dan Tergugar 4 adalah Pemkot Denpasar.

“Saya berharap hakim juga paham, mana tanahnya Daeng Abdul Kadir, mana laut, dan mana tambak yang jadi di-SHM yang selama ini diklaim oleh PT BTID bahwa jalannya adalah bagian dari pemekaran SHGB 41,” ujar Mbak Ipung.

Menghadapi klaim tergugat, Mbak Ipung masih percaya pengadilan, dan kasus ini pasti bisa diselesaikan sesuai fakta di lapangan dan tidak mengesankan pengadilan jeruk makan jeruk. “Saya tetap optimis, karena kita tidak mengacu satu saksi dengan suara satu, tapi 15 putusan yang saya miliki dari tahun 1974-2020, apa itu mau dijungkirbalikkan?,” ujarnya.

Menurutnya, guna memperkuat dua saksi yang sudah menjalani pemeriksaan pada hari ini, Mbak Ipung berencana membawa lagi 4 saksi. “Saya rencana mau bawa 4 saksi lagi, warga asli Serangan juga,” katanya, tegas.

Sebelumnya, kasus ini telah mencuat sejak tahun 2009 silam. Hal ini bermula ketika lahan dengan sertifikat Nomor 69 yang luasnya 94 are milik Maisarah digugat oleh 36 KK warga Kampung Bugis ke PN Denpasar. Begitu juga pipil tanah yang luasnya 1 hektare 12 are. Dalam gugatan tersebut, pihak Maisarah atau ibunda dari Siti Sapurah selalu menang hingga ke Mahkamah Agung. Peninjauan Kembali (PK) juga ditolak. Atas putusan pengadilan yang mengikat ini, Ipung menunjukkan berbagai dokumen kepada Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kota Denpasar, seperti 15 putusan pengadilan hingga tahun 2020, foto copy pipil tanah seluas 1 hektar 12 are dan pajak tanah seluas 2 hektare 18 are, serta foto peta tanah.

Sementara PT BTID hanya berpegang teguh pada SHGB Induk Nomor 41 Tahun 1993 atau HGB Nomor 81, 82, 83 atas nama PT BTID. Melalui hal ini diatur tentang jalan lingkar luar di Pulau Serangan dengan PT BTID sebagai pihak pertama dan Desa Serangan sebagai pihak kedua. Jalan lingkar luar itu mulai dari jalan tanah hingga berhenti di penangkaran penyu sepanjang 2.115 meter. “Bagaimana mungkin jalan lingkar luar ini melompat, melewati lahan orang lain.  Dan mengenai HGB juga tidak bisa digunakan untuk selamanya karena itu sama dengan kontrak atau sewa,” kata Siti Sapurah seraya menggeleng-gelengkan kepala.

Pewarta: Vivi Suryani
Redaktur: Laurensius Molan

Lenteraesai.id