Denpasar, LenteraEsai.id – Terdakwa Linda Fitria Paruntu yang telah berupaya mati-matian agar lepas dari jeratan hukum atas pelaporan kasus pencemaran nama baik, akhirnya harus menelan kekecewaan mendalam.
Hal ini disebabkan majelis hakim Pengadilan Tinggi (PT) Denpasar pimpinan Tjokorda Rai Suamba SH MH dalam amar putusannya sebagai termuat dalam website resmi Pengadilan Negeri (PN) Denpasar menyatakan menguatkan putusan PN Denpasar.
Dengan demikian, perjuangan Linda untuk bisa lepas dari jeratan hukum masih belum berakhir. Atas dikuatkannya putusan hakim PN tersebut, maka wanita asal Manado ini tetap divonis 9 bulan penjara.
Memang dalam putusan hakim PT Denpasar yang dibacakan tanggal 8 Desember 2020 menyatakan menerima Banding yang diajukan okeh terdakwa melalui kuasa hukumnya.
Namun, setelah menyatakan menerima banding yang diajukan terdakwa, hakim memutuskan menguatkan putusan PN Denpasar Nomor 623/Pid.Sus/2020/PN Dps, tanggal 27 Oktober 2020 yang dimintakan banding tersebut.
Eddy Artha Wijaya, jaksa yang menyidangkan perkara ini saat dikonfirmasi, Jumat (11/12/2020) terkait putusan banding mengatakan belum menerima pemberitahuan secara resmi.
“Saya dengar putusan sudah ada di website, tapi sampai saat ini saya belum menerima salinan atau pemberitahuan secara resmi dari pengadilan,” kata Eddy Artha, jaksa yang bertugas di Kejaksaan Tinggi Bali ini.
Seperti diberitakan sebelumnya, Linda Fitria Paruntu oleh majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Denpasar dinyatakan terbukti bersalah melakukan tidak pidana penghinaan dan dijatuhi hukuman 9 bulan penjara.
Terdakwa dianggap melanggar Pasal 27 ayat (3) Jo Pasal 45 ayat (3) UU RI nomor 19 tahun 2016 tentang perubahan atas UU RI nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Tak hanya itu, wanita asli Sulawesi Utara ini juga diganjar dengan hukuman denda Rp. 3 juta dengan ketentuan apabila tidak dibayar diganti dengan hukuman kurungan selama 2 bulan.
Seperti diketahui, kasus yang menyeret Linda hingga ke Pengadilan ini berawal dari acara perpisahan SDK Tunas Kasih tempat anak terdakwa dan anak saksi korban sekolah. Korban Simone Chritine Polhutri ditunjuk sebagai panitia perpisahan bersama empat wali murid lainnya.
Setelah digelar rapat, ditentukan perpisahan siswa kelas VI ini akan digelar di Nusa Penida. Setelah acara berjalan, tepatnya pada 14 Mei, terdakwa Linda tiba-tiba komplain kepada panitia perpisahan karena anaknya mengalami luka saat bermain kano.
“Awalnya komplain tersebut disampaikan melalui grup Whatsapp wali murdi kelas VI,” jelas JPU dalam dakwaan.
Selanjutnya, terdakwa Linda yang emosi memposting status yang menuduh korban Simone dengan kata-kata kasar. Dalam postingan tersebut korban Simone disebut monyet.
“Saksi korban dan keluarganya merasa malu dan terhina, karena apa yang dituduhkan oleh terdakwa tidak benar, apalagi menyamakan dengan monyet,” beber JPU. (LE-PN)