judul gambar

Guru adalah Sosok yang Sudah Selesai dengan Dirinya

Guru adalah sosok yang sudah selesai dengan dirinya
Ilustrasi - Peringatan Hari Guru Nasional (ANTARA/Instagram/@sekretariat.kabinet)

Bondowoso, 25/11 (ANTARA) – Seorang guru yang belum selesai dengan jiwanya sendiri tidak akan maksimal membersamai murid dalam tumbuh kembang jiwanya.

Guru, di era teknologi informasi ini, bukan lagi sekadar mengajar dalam arti hanya menyampaikan ilmu pengetahuan kepada siswa. Kini, guru juga harus menjadi pengajar sekaligus pendidik.

Bacaan Lainnya

Sebagai pendidik, maka peran guru bagi para muridnya menjadi semakin kompleks. Guru bukan sekadar sosok yang memiliki segudang ilmu pengetahuan tertentu yang siap ditimba oleh siswa. Peran guru seperti itu sudah banyak diambil alih oleh teknologi pencari yang mampu menjawab semua pertanyaan dalam berbagai tema.

Guru yang berfungsi sebagai pendidik harus menjadi teladan, bahkan menjadi “teman” yang dapat dipercaya oleh anak muridnya untuk tempat mencurahkan perhatian alias curhat yang nyaman bagi para murid.

Di luar tugas utamanya mengampu mata pelajaran di dalam kelas, guru juga merupakan orang tua siswa di sekolah yang bertanggung jawab, bukan hanya saat para siswa ada di lingkungan sekolah.

Guru yang ideal juga harus memastikan para muridnya memiliki perilaku yang baik hingga di luar sekolah, bahkan juga setelah mereka lulus dari sekolah.

Untuk menjadi ideal seperti itu ada prasyarat utama yang harus dipenuhi oleh seorang guru di luar syarat formal administratif, yaitu jiwa yang sudah dewasa atau dalam istilah populer sudah selesai dengan dirinya sendiri.

Pengertian guru yang sudah selesai dengan dirinya sendiri itu mencakup banyak aspek, selain kedewasaan jiwa, termasuk aspek ekonomi dan hubungan sosial.

Dari aspek ekonomi, seorang guru yang kebutuhan ekonominya belum selesai akan sulit memerankan diri sebagai sosok yang dekat dengan murid.

Masalah ekonomi ini bukan hanya terkait dengan gaji yang mereka terima, terutama isu ini sangat dekat dengan para guru honorer atau yang belum diangkat menjadi pegawai negeri sipil (PNS).

Aspek ini lebih terkait dengan pengelolaan keuangan keluarga. Guru dengan status PNS, sekalipun, jika tidak mampu menerapkan pengelolaan keuangan secara rapi, juga tidak jarang yang terjebak pada masalah ekonomi.

Guru yang terhimpit oleh masalah keuangan keluarga ini tidak bisa diharapkan maksimal dalam menjalankan tugas pembimbingan paripurna kepada para muridnya.

Guru dengan kondisi ekonomi keluarganya yang rusak parah datang ke sekolah hanya untuk menggugurkan kewajiban dan selebihnya tidak mampu untuk mencurahkan komitmen jiwanya dalam membimbing para murid.

Bagaimana bisa membimbing orang lain  jika membimbing jiwanya sendiri sudah tidak mampu dilakukan oleh seorang guru.

Terkait aspek sosial, seorang guru yang belum mampu berdamai dengan dirinya dalam menghadapi perbedaan dengan orang lain, baik di lingkungan tempat tinggal maupun di sekolah, juga tidak akan berperan maksimal untuk dijadikan teladan oleh para muridnya.

Seorang guru yang secara usia jauh di atas usia para muridnya saja belum mampu berdamai dengan perbedaan, bagaimana murid yang secara psikologis masih berada dalam fase kejiwaan labil bisa dididik menjadi sosok yang mampu hidup secara damai dalam sistem sosial tertentu.

Memimpikan sosok guru yang mampu melampaui masalah, dalam berbagai aspek kehidupan, barangkali akan dianggap terlalu utopis. Karena itu, kita akan sulit untuk menemukan sosok yang memenuhi syarat untuk menjadi pengajar sekaligus pendidik di sekolah.

Bukankah tujuan pendidikan itu juga sangat ideal? Sebagaimana tercantum dalam Bab 2 pasal 2 UU No 30/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, tujuan pendidikan adalah untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Sebagai fasilitator untuk membantu mengantarkan murid mencapai tujuan ideal tersebut, seorang guru juga semestinya sudah memiliki jiwa atau karakter yang setidaknya mendekati sempurna, sebagaimana tujuan dalam undang-undang tersebut.

Upaya pemerintah untuk memfasilitasi terwujudnya guru ideal itu sudah cukup banyak, termasuk meningkatkan kesejahteraan finansial. Demikian juga dengan fasilitas pendidikan dan pelatihan untuk meningkatkan kualitas dan keterampilan para guru dalam mengelola kelas.

Hal yang mungkin perlu perhatian besar adalah peningkatan kualitas karakter guru agar para murid di sekolah mendapatkan pelayanan prima dan komitmen utuh dari para pendidik.

Peningkatan literasi jiwa bagi para guru juga tidak kalah penting dari upaya peningkatan keterampilan pengajaran.

Peningkatan kesejahteraan finansial bagi para guru, salah satunya, dengan tunjangan profesi atau sertifikasi yang tidak dibarengi dengan kedewasaan jiwa akan menjebak guru pada tuntutan gaya hidup yang “lebih mewah” dari sebelumnya.

Tidak sedikit guru dengan status PNS dan sudah mendapatkan tunjangan sertifikasi kemudian ekonominya berantakan hanya karena tidak memiliki kedewasaan dalam pengelolaan keuangan keluarga, akhirnya terlilit utang. Jika demikian, maka totalitas jiwanya dalam mendidik siswa akan terganggu.

Guru hadir ke sekolah dipenuhi dengan beban ganda mengenai ekonomi keluarganya. Perhatian untuk siswa hanya bersumber dari sisa jiwanya yang terpuruk. Tidak banyak yang bisa diharapkan dari pendamping perjalanan siswa menatap masa depan yang lebih baik, jika guru masih dibebani persoalan domestik di keluarga.

Kasus yang menjerat guru yang tidak terampil mengelola keuangan ini menjadi pengingat bagi kita bahwa belajar itu adalah perjalanan sepanjang hayat.

Kembali ke pendidikan formal, sekolah adalah tempat penggodokan generasi penerus bangsa. Lembaga ini tidak akan berarti apa-apa, tanpa menanamkan karakter kuat bagi para peserta didik, yang kunci utamanya ada pada sosok guru.

Guru dan orang tua adalah dua sayap yang akan menggerakkan anak-anak murid untuk terbang mengarungi masa depan yang tantangannya tidak semakin mudah.

Menjadi guru bukan profesi biasa yang bekerja sekadar memenuhi tuntutan tugas formal. Menjadi guru juga memastikan keterlibatan jiwa raga untuk mengampu anak-anak bangsa dan penerus keberlangsungan negeri ini tetap jaya hingga kapan pun. Selamat Hari Guru.

 

Oleh Masuki M. Astro
Editor : Sapto Heru Purnomojoyo

Konten ini dilindungi oleh hak cipta dan dilarang untuk disebarluaskan tanpa izin tertulis dari ANTARA

Pos terkait