judul gambar

Satu Sinyal, Sejuta Perubahan

Satu sinyal, sejuta perubahan
Siswa mengikuti kegiatan pembelajaran menggunakan papan interaktif atau layar digital pintar (interactive flat panel) di SDN Cimahi Mandiri 1, Kota Cimahi, Jawa Barat, Senin (22/9/2025). Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) menargetkan menyediakan layar digital pintar untuk 330 ribu sekolah pada tahun ini sebagai upaya mengatasi kesenjangan dalam penyelenggaraan pembelajaran serta mendukung penerapan pembelajaran mendalam (deep learning) dan meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia. ANTARA FOTO/Abdan Syakura/tom.

Jakarta, 24/9 (ANTARA) – Di era digital, akses terhadap teknologi informasi dan komunikasi (TIK) menjadi kebutuhan dasar yang setara dengan pendidikan dan kesehatan.

Hanya saja, kesenjangan digital masih menjadi tantangan besar, terutama di wilayah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T). Padahal, telekomunikasi adalah fondasi utama untuk mewujudkan inklusi digital yang merata.

Bacaan Lainnya

Inklusi digital berarti memastikan bahwa setiap individu, tanpa memandang lokasi geografis, memiliki akses yang setara terhadap teknologi. Telekomunikasi berperan penting dalam membuka pintu menuju pendidikan, layanan kesehatan, peluang ekonomi, dan partisipasi sosial yang lebih luas.

Wilayah terpencil di Indonesia sering kali memiliki karakteristik geografis yang sulit dijangkau, seperti pegunungan, hutan lebat, atau kepulauan yang tersebar. Infrastruktur dasar, seperti listrik dan jalan pun masih terbatas, sehingga membangun jaringan telekomunikasi menjadi tantangan tersendiri.

Salah satu tantangan terbesar adalah tingginya biaya investasi. Membangun menara BTS di daerah terpencil membutuhkan logistik yang kompleks dan mahal. Material harus diangkut melalui jalur yang sulit, dan tenaga kerja harus tinggal di lokasi yang minim fasilitas. Belum lagi kebutuhan akan sumber daya listrik yang stabil, yang sering kali tidak tersedia.

Selain itu, rendahnya potensi ekonomi di wilayah tersebut membuat operator telekomunikasi enggan berinvestasi. Dengan jumlah penduduk yang sedikit dan daya beli yang terbatas, return on investment menjadi tidak menarik secara bisnis. Akibatnya, banyak wilayah yang masih belum tersentuh layanan telekomunikasi yang layak.

Hal yang tidak kalah penting adalah literasi digital yang rendah. Meskipun perangkat, seperti telepon seluler pintar mulai menjangkau masyarakat desa, pemahaman tentang cara menggunakan internet secara produktif masih terbatas. Banyak yang belum tahu cara mengakses layanan publik secara daring atau memanfaatkan teknologi untuk pendidikan dan ekonomi.

Namun, di balik semua tantangan ini, ada harapan. Dengan komitmen dari pemerintah, dukungan dari sektor swasta, dan semangat masyarakat lokal, inklusi digital di wilayah terpencil bukanlah hal yang mustahil. Justru, tantangan ini menjadi peluang untuk berinovasi dan membangun solusi yang berkelanjutan dan berdampak luas.

 

Inklusi digital

Pemerintah Indonesia telah mengambil berbagai langkah strategis untuk mendorong inklusi digital, terutama melalui Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi). Salah satu program unggulan adalah kebijakan Universal Service Obligation (USO) mewajibkan operator untuk turut serta dalam menyediakan layanan di wilayah yang secara komersial kurang menarik. Dana USO digunakan untuk mendanai proyek-proyek telekomunikasi di daerah terpencil.

Pemerintah juga mendorong kolaborasi melalui skema public-private partnership (PPP), di mana risiko dan biaya pembangunan dibagi antara sektor publik dan swasta. Pendekatan ini mempercepat pembangunan infrastruktur dan memastikan keberlanjutan layanan.

Operator telekomunikasi memainkan peran penting dalam mendukung inklusi digital. Mereka tidak hanya membangun jaringan, tetapi juga mengembangkan program-program sosial dan edukatif.

Selain itu, perusahaan teknologi pun juga mulai berkontribusi dalam menyediakan konektivitas di wilayah terpencil melalui teknologi satelit dan platform edukasi digital.


Inovasi 

Teknologi memainkan peran penting dalam mengatasi tantangan geografis dan ekonomi. Beberapa inovasi yang telah diterapkan atau sedang dikembangkan, antara lain adalah jaringan satelit. Satelit komunikasi, seperti SATRIA-1, memungkinkan konektivitas di daerah yang tidak terjangkau oleh jaringan fiber optik atau seluler.

Small cell dan VSAT, perangkat kecil ini memungkinkan penyediaan layanan internet dengan biaya lebih rendah dan instalasi yang fleksibel.

Inovasi lain adalah Internet Berbasis Komunitas. Model ini melibatkan masyarakat lokal dalam pengelolaan jaringan, meningkatkan rasa kepemilikan dan keberlanjutan. Kemudian, Power Management Cerdas, teknologi manajemen daya berbasis solar panel dan baterai menjadi solusi di daerah tanpa listrik stabil.

Ketika sinyal telekomunikasi akhirnya menjangkau sebuah desa terpencil yang sebelumnya terisolasi dari dunia luar, perubahan yang terjadi bukan hanya soal bisa mengirim pesan atau membuka media sosial. Dampaknya jauh lebih dalam dan menyentuh berbagai aspek kehidupan masyarakat.

Di bidang pendidikan, anak-anak yang sebelumnya hanya belajar dari buku-buku usang, kini bisa mengakses materi pembelajaran daring. Mereka dapat mengikuti kelas virtual, melihat video edukatif, bahkan berinteraksi langsung dengan guru dari kota atau bahkan luar negeri. Ruang belajar mereka tidak lagi terbatas oleh dinding sekolah, melainkan terbuka luas melalui layar kecil di tangan mereka.

Dalam sektor kesehatan, kehadiran internet membuka jalan bagi layanan telemedicine. Di desa yang tidak memiliki dokter tetap, masyarakat bisa berkonsultasi dengan tenaga medis melalui video call. Data kesehatan bisa dikirim secara digital dan tenaga medis lokal bisa mengikuti pelatihan daring untuk meningkatkan kompetensinya. Teknologi menjadi jembatan antara kebutuhan medis dan akses terhadap layanan yang sebelumnya mustahil dijangkau.

Dari sisi ekonomi, petani dan nelayan mulai merasakan manfaat nyata dari konektivitas. Mereka bisa mengetahui harga pasar secara real-time, memantau kondisi cuaca, dan belajar teknik pertanian atau perikanan yang lebih efisien. UMKM lokal yang sebelumnya hanya menjual produk di pasar desa, kini bisa memasarkan barangnya secara daring, menjangkau pembeli dari kota, bahkan luar pulau. E-commerce bukan lagi milik kota besar, tapi juga menjadi peluang bagi desa kecil.

 

Studi kasus

Di Papua, pembangunan BTS dan penyediaan akses internet di sekolah-sekolah telah membuka peluang pendidikan yang sebelumnya tidak tersedia. Program literasi digital juga membantu masyarakat memahami manfaat teknologi.

Di Nusa Tenggara Timur, program internet desa telah membantu masyarakat dalam mengakses layanan pemerintah, pendidikan, dan informasi pertanian. Kemajuan ini menunjukkan bahwa inklusi digital bukanlah mimpi, melainkan kenyataan yang bisa dicapai dengan komitmen dan kolaborasi.

Telekomunikasi adalah kunci utama dalam mewujudkan inklusi digital di wilayah terpencil. Meskipun tantangan geografis dan ekonomi masih besar, inovasi teknologi, kebijakan pemerintah, dan kontribusi sektor swasta telah membuka jalan menuju pemerataan akses digital.

Dengan komitmen yang kuat dan pendekatan yang inklusif, Indonesia dapat memastikan bahwa tidak ada satu pun warga negara yang tertinggal dalam perjalanan menuju masa depan digital. Inklusi digital bukan hanya tentang koneksi internet, tetapi tentang kesempatan, pemberdayaan, dan kemajuan bersama.

 

*) Dr Joko Rurianto adalah profesional di bidang telekomunikasi, aktif menulis jurnal pemasaran strategis dan literasi teknologi digital dalam praktik bisnis modern

Oleh Dr Joko Rurianto *)
Editor : Masuki M Astro

Konten ini dilindungi oleh hak cipta dan dilarang untuk disebarluaskan tanpa izin tertulis dari ANTARA

Pos terkait