Karangasem, LenteraEsai.id – Menjejaki langkah di Bukit Abah yang terletak di Kecamatan Manggis, Kabupaten Karangasem, Bali bagian timur, menawarkan pesona keindahan alam yang luar biasa menawan.
Namun siapa sangka, di balik panorama alam yang indah membentang, Bukit Abah menyimpan kisah misteri yang hingga kini dipercayai warga setempat.
Kisah misteri di bukit setinggi lebih dari 500 meter di atas permukaan laut itu, tidak bisa dilepaskan dari menghilangnya beberapa penari di sejumlah desa yang terletak di bagian kaki bukit, atau di kawasan lereng dari Bukit Abah.
Jro Mangku I Nyoman Mendra selaku tetua adat dari Banjar Pakel, di bagian kaki Bukit Abah, saat ditemui di rumahnya, Senin (1/6/2020), menceritakan kisah para penari yang dulu hilang saat pujawali di Pura Puseh Banjar Pakel, Desa Gegelang, Kecamatan Manggis, Karangasem
Kisah itu bermula saat Pura Puseh melakukan pujawali untuk pertama kalinya pada belasan abad yang lalu. Serangkaian acara telah dilakukan sampai tiba saatnya persembahan tari-tarian sebagai pemuput acara, yakni tari rejang renteng.
Ketika tari rejang renteng sedang berlangsung, tiba-tiba penari yang paling belakang hilang tanpa sebab, dan peristiwa itu sampai tiga kali terjadi. “Setiap kali ada pujawali, pasti ada saja penari yang hilang,” kata Mangku Mendra mengisahkan kembali ceritera leluhurnya.
Karena setiap pujawali ada saja penari yang hilang, akhirnya I Kaki Alas dan pengempon Pura Puseh yang lainnya berinisiatif untuk mengikatkan sebungkus dedak kepada penari yang paling belakang saat tarian digelar. Dengan tujuan jika penari itu hilang bisa dicari jejaknya.
Begitu tari-tarian kembali dipersembahkan, ternyata lagi-lagi penari yang paling belakang yang sudah digantungi sebungkus dedak, menghilang. Namun kali ini jejak si penari menjadi terlacak. I Kaki Alas dan pengempon pura yang lainnya mengikuti jejak dedak yang berserakan dari kawasan Pura Puseh mengarah ke tengah hutan.
Sampai pada akhirnya jejak dedak tersebut hilang di puncak sebuah bukit yang sangat angker saat itu, yang bernama Bukit Abah. Pada saat itu di Bukit Abah sudah ada desa yang dihuni 233 orang penduduk.
I Kaki Alas akhirnya menanyakan ke warga di Bukit Abah, “Apakah di sini ada yang memelihara macan ?, karena penari kami di Pura Puseh hilang dan jejaknya sampai di sini hilang juga,” katanya, melempar tanya.
Karena tidak ada jawaban yang pasti, akhirnya I Kaki Alas dan pengempon pura yang lainnya kembali ke Pura Puseh untuk melakukan musyawarah.
Akhirnya seluruh pengempon pura sepakat untuk membakar alas atau hutan yang ada di bagian kaki dan lereng Bukit Abah. Karena kobaran semakin membesar, lidah api akhirnya sampai ke kawasan puncak bukit.
Para penduduk yang ada di daerah puncak Bukit Abah akhirnya kabur berhamburan setelah melihat api yang sangat besar dan terus membakar desa mereka sampai habis tak bersisa.
Setelah Bukit Abah terbakar dan seluruh penduduknya pergi, tidak pernah lagi ada penari yang hilang saat pujawali di Pura Puseh tersebut.
“Konon katanya, hampir seluruh penduduk di Bukit Abah pada saat itu bisa berubah menjadi macan daden-daden (macan siluman),” kata Mangku Mendra.
Penduduk dimungkinkan menjadi macan siluman sehubungan di desa tersebut ada sebuah baju atau jubah berwarna hitam peninggalan nenek moyang mereka. Siapapun yang memakai jubah tersebut bisa langsung berubah menjadi macan daden-daden yang sangat besar.
Mangku Mendra juga meyakini bahwa sampai sekarang jubah tersebut masih ada karena ikut dibawa ‘mengungsi’ oleh penduduk Bukit Abah yang meninggalkan desanya waktu itu.
Namun demikian, baik Mangku Mendra maupun beberapa penglingsir desa yang lain, tidak dapat menunjukkan di mana letak jubah hitam itu sekarang. Masalahnya, penduduk Bukit Abah kala itu meninggalkan kampung halaman dengan arah dan tujuan yang terpencar.
Terlepas dari itu, beberapa penduduk di sekitar Bukit Abah mengaku pernah melihat penampakan macam siluman itu pada hari-hari tertentu, yang pada umumnya muncul menjelang atau saat pujawali di Pura Puseh Pakel. (LE-Jun)