Jakarta, 21/11 (ANTARA) – Sulawesi atau Celebes adalah keajaiban. Buminya, floranya, faunanya, insannya, ajaib semua. “Sepenggal firdaus,” kata naturalis Inggris Alfred Russel Wallace (1823–1913).
Ia ajaib dalam arti sesungguhnya. Keajaiban yang bukan hasil sayembara-sayembaraan. Bukan hasil juri-jurian, tapi murni anugerah ilahi.
Celebes ditakdirkan Tuhan berada di tengah-tengah Kepulauan Nusantara. Ia berada di jantung Wallacea, wilayah perantara antara Sundalandia dan Sahulandia. Ia bukan sekadar pulau, melainkan triple junction tempat bertemunya tiga lempeng tektonik besar: Pasifik, Eurasia, dan Indo-Australia.
Posisi ini menjadikan Sulawesi sebagai laboratorium alam bagi ilmu geologi dunia. Robert Hall, geolog terkemuka, menyebut bahwa hanya di Celebes para ilmuwan bisa mengamati awal dan akhir proses subduksi.
Benturan lempeng menghasilkan ofiolit yang melapuk menjadi laterit, kaya akan besi dan nikel. Tak heran nama Sulawesi berasal dari “sula” (pulau) dan “wesi” (besi). Besi dari Sulawesi telah lama menopang peradaban Nusantara: dari keris dan tombak yang menjadi warisan budaya dunia, hingga meriam yang membuat Portugis gentar di Malaka.
Benturan dan bauran dari banyak sekali teran membuat rupa bumi Sulawesi menjadi kaya dan kompleks. Begitupun fauna dan floranya. Dari 7.450-an pulau di Wallacea, ditemukan 800-an jenis burung (setara dengan separuh yang Indonesia punyai); 350-an di antaranya hanya eksis di daerah itu saja.
Itulah kiranya mengapa Wallace betah sekali tinggal dan meneliti di sana. Korespondensi riset Wallace dipercaya turut mewarnai konstruksi teori evolusi dari seorang koleganya Charles Darwin (1809–1882). Dunia membaptis Wallace sebagai “Bapak Biogeografi”. Dunia juga membaptis “zona antara” itu sebagai “Garis Wallace”.
Karakter besi
Keistimewaan alam Sulawesi tercermin dalam karakter leluhurnya. Kokoh, kuat, namun lentur, sebagaimana sifat besi. Bukti nyata terlihat pada karya megalitik di lembah Poso, Sigi, dan Minahasa, serta lukisan gua purba di Leang Karampuang yang berusia lebih dari 51.000 tahun—narasi seni tertua di dunia.
Karakter besi juga tampak dalam tradisi maritim. Leluhur Sulawesi berani melakukan mallakke dapureng—migrasi besar dengan perahu sederhana, membawa keluarga, benih, religi, dan mimpi. Mereka menebar diaspora hingga ke Sumatera, Malaysia, Filipina, Madagaskar, bahkan Afrika. Keberanian ini melahirkan generasi yang menjadi saudagar, pemimpin, hingga raja.
Energi kebaikan
Karakter besi itu, kini hidup kembali dalam generasi muda Sulawesi. Dua bulan terakhir, digelar Tri-Sector Leadership Bootcamp (TSLB) Angkatan ke-8, sebuah program beasiswa Institut Harkat Negeri (IHN) untuk pelatihan kepemimpinan intensif selama tujuh pekan. Uniknya, dalam pelatihan kali ini, hampir seluruh pesertanya berbasis di Sulawesi—36 orang dari Makassar, Palu, Gowa, Bone, Sigi, Gorontalo, hingga Tomohon. Mereka datang dari tiga sektor: privat, publik, dan sosial, dengan mayoritas perempuan.
Kita sebut mereka Jong Celebes. Bukan untuk primordialisme, melainkan untuk membangkitkan semangat persamaan nasib ber-Indonesia, sebagaimana refleksi Sumpah Pemuda 1928. Mereka adalah generasi yang cerdas, kritis, energik, lentur, dan berdaya tahan—ciri khas “manusia besi”.
Proses mentoring mereka, dalam kenyataannya, menjadi proses belajar bersama. Para mentor pun mendapat banyak masukan dan peneguhan dari para Jong Celebes itu. Ibaratnya, kami sama-sama menjadi pandai besi: saling menempa karakter-karakter agar menjadi baik. Percik-percik besi dari proses belajar bersamanya ada saya catat.
Keteladanan
Menjadi tim yang efektif berarti keharusan akan adanya kemauan bersama untuk saling kompak, kohesif, dan produktif. Sebagai lem perekatnya, dibutuhkan semacam memorable and meaningful, kegiatan yang tidak saja berkesan, tetapi juga bermakna. Tempat semua ego bisa didudukkan, dipadukan, lalu diarahkan menuju ke satu visi bersama.
Kepemimpinan itu bukan soal posisi, bukan soal pangkat, atau jabatan, tapi soal nilai (values), sikap (attitude), dan perilaku (behavior). Dengan kata lain, kepemimpinan itu bertopangkan pada keteladanan, pada pengaruh intrinsik untuk mendorong perubahan ke arah perbaikan.
Bidangnya disesuaikan dengan minat dan bakat masing-masing kita. Ke mana pun kita pergi, di bidang apa pun kita berkarir, dan di arena apa pun kita beraktivitas, selalu perkuat keteladanan, pengaruh intrinsik, dan dorongan ke arah perbaikan.
Mengapa demikian? Sebab selalu ada ruang perbaikan, di mana pun dan kapan pun. Do not fix unbroken things, jangan memperbaiki barang yang tak rusak, tapi selalu ada ruang untuk perbaikan. Silakan sebut bidang apa: pendidikan, kesehatan, perempuan, ekonomi, politik, energi, transportasi, air, hukum, antikorupsi, anak-anak, petani, atau nelayan. Di semua itu kita masih butuh perbaikan.
Jadi, Anda, sebagai pemimpin, memilih bidang apa pun untuk memperbaiki keadaan saat ini, yakinlah, publik pasti akan menyambutnya. Kuncinya: jaga nilai, sikap, dan perilaku. Keteladanan menjadi mata uang Anda.
Jika kita berhasil menjadi figur-figur yang menjadi acuan; menjadi teladan dalam nilai, perilaku, kontribusi, dan kemampuan menggerakkan perbaikan; maka Indonesia akan makin cepat bertransformasi ke arah yang lebih baik. Apakah bisa begitu banyak pemimpin? Lihat kereta api. Seberapa pun panjang gerbongnya, lokonya tetap satu. Apa yang terjadi jika lokonya banyak? Pasti kereta Republik Indonesia akan lebih kuat dan lebih cepat jalannya.
Perubahan tidak bisa dilakukan sendirian. Kolaborasi adalah keniscayaan. Meminjam etos tabe warisan leluhur Celebes, kolaborasi merupakan metode kita untuk mengasah etik sipakatau (tidak membeda-bedakan), sipakalebbi (saling menghormati), dan sipakainge (saling mengingatkan).
Pada 1 Juni 1945, Bung Karno, di hadapan para kolega anggota sidang Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai (BPUPKI), menyampaikan satu hal menarik. Katanya, andaikata kelima sila di Pancasila itu diperas menjadi satu, maka yang satu itu adalah gotong-royong. Nama trennya sekarang adalah kolaborasi.
Sebetulnya, bangsa kita sudah berabad-abad menerapkan kolaborasi. Tradisi Sulawesi kaya akan praktik kolaborasi. Ada appalili dan akkudu-kudu. Untuk urusan memindahkan rumah, ada masoppo bola. Dalam hal konservasi warisan tak-benda, Takalar punya a’rate. Dalam hal konservasi warisan benda, Bone punya mattompang arajang dan Gowa punya accera kalompoang. Hingga, dalam hal pemuliaan nenek-moyang, Toraja punya ma’nene.
Nah, benar, bukan? Hanya dari satu dimensi saja, kolaborasi, kita langsung tahu, betapa kayanya Sulawesi akan nilai, kebijaksanaan, dan ajaran luhur. Dan, pasti sudah tua sekali umurnya. Sudah jauh berlayarnya dibanding kami-kami yang di luar Sulawesi. Walhasil, jika paket “Berbagi Energi Kebaikan” sudah telanjur tiba di depan pintu, manalah pantang untuk kita abaikan.
*) Sudirman Said adalah Ketua Institut Harkat Negeri, Rektor Universitas Harkat Negeri
Oleh Sudirman Said *)
Editor : Masuki M Astro
Konten ini dilindungi oleh hak cipta dan dilarang untuk disebarluaskan tanpa izin tertulis dari ANTARA








