judul gambar

Menilik Potensi Wisata Pengamatan Migrasi Burung

Menilik potensi wisata pengamatan migrasi burung
Seorang pengamat burung mengoperasikan teropong untuk melihat burung migran yang terbang dari Bukti Nipah, Lombok Utara, Nusa Tenggara Barat, Sabtu (18/10/2025). ANTARA/Sugiharto Purnama

Mataram, 08/11 (ANTARA) – Musim dingin yang menjadikan suhu udara berada di bawah titik beku membuat sebagian besar hewan harus hibernasi untuk bertahan hidup dari lingkungan ekstrem.

Ketika musim dingin menyelimuti belahan bumi utara, makhluk hidup enggan beraktivitas seperti biasa. Insekta dan makhluk sejenis yang sehari-hari menjadi mangsa bagi kawanan hewan ovipar (berkembang biak dengan bertelur) tak sudi menampakkan diri akibat lingkungan membeku.

Bacaan Lainnya

Keterbatasan persediaan pakan akibat insekta yang tak mau nongol itu, mendorong migrasi burung. Demi mencegah kelaparan dan mati dalam sunyi, jutaan burung terbang ke wilayah bersuhu hangat untuk mencari pakan dan berkembangbiak. Belahan bumi selatan adalah tujuan utama mereka melakukan migrasi pada setiap penghujung tahun.

Jalur migrasi burung dari utara ke selatan berada dalam koridor tetap. Tempat istirahat atau rest area untuk melepas lelah dari perjalanan panjang yang menghabiskan waktu berminggu-minggu, salah satunya ada di Nusa Tenggara Barat (NTB).

Daerah tropis yang berada dekat khatulistiwa dan dilintasi garis Wallace membuat NTB punya lingkungan yang ideal bagi burung migran karena memiliki kawasan hutan basah, padang savana, mangrove, maupun rawa.

Momentum kedatangan burung migran dari belahan bumi utara dapat dimanfaatkan untuk aktivitas pengamatan burung dalam rangka memperkaya pengetahuan dan keilmuan bidang ekologi.

Nusa Tenggara Barat merupakan salah satu rute yang selalu dilewati burung migran dari belahan bumi utara menuju selatan maupun dari bumi selatan menuju utara.

Burung-burung dari Asia Timur umumnya melalui Tiongkok, Taiwan, Filipina, Kalimantan, Sulawesi, Sumbawa, dan Nusa Tenggara, kemudian melaju ke Australia. Adapula spesies burung lain yang melalui jalur barat, yakni Sumatera, Jawa, dan Bali atau melalui jalur tengah, yaitu Sulawesi dan Nusa Tenggara Timur.

Nusa Tenggara Barat berada di jalur East Asian – Australasian Flyway (EAAF) yang membentang dari Rusia Timur dan Alaska menuju selatan hingga Australia dan Selandia Baru. Jalur terbang Asia Timur – Australia tersebut merupakan salah satu jalur migrasi burung terpadat di dunia karena dilewati hingga 50 juta ekor burung migran setiap tahun.

Posisi Nusa Tenggara Barat yang masuk dalam jalur migrasi terpadat menjadikan aktivitas pengamatan burung migran sebagai sebuah potensi baru bagi pengembangan ekowisata daerah.

Beberapa daerah di Nusa Tenggara Barat yang sering dikunjungi burung migran adalah ekowisata mangrove Bagek Kembar di Lombok Barat, areal perbukitan di pesisir Lombok Utara, dan Taman Nasional Moyo Satonda di Pulau Sumbawa.

 

Sarana edukasi dan rekreasi 

Pada 18-19 Oktober 2025, sekelompok anak muda yang digerakkan Yayasan Paruh Bengkok Indonesia berkumpul di Bukit Nipah, Lombok Utara. Mereka menengadahkan kepala ke langit, mengamati pergerakan setiap burung yang terbang di atas laut biru.

Meski jarak burung sejauh ratusan meter dari posisi mereka, anak-anak muda itu piawai mengidentifikasi spesies burung apa yang terbang.

Triadede, salah satu peserta pengamatan burung migran menuturkan kegiatan itu dapat menjadi sarana edukasi dan rekreasi. Ia merasakan keseruan dalam mengamati burung yang sebelumnya tak pernah dilakukan seumur hidupnya.

Pria asal Jonggat, Lombok Tengah tersebut mengaku dapat lebih mengetahui jenis burung yang sedang diamati meski tidak mengetahui secara spesifik nama ilmiahnya.

Yayasan Paruh Bengkok Indonesia menyatakan wisata minat khusus pengamatan migrasi burung belum populer. Walau Indonesia dilewati jutaan burung migran setiap tahun, namun tidak ada daerah yang menjadikan migrasi burung sebagai objek wisata.

Penasihat Ilmiah Paruh Bengkok Indonesia Saleh Amin mengatakan ada beberapa lokasi pengamatan burung migran di Indonesia, seperti kawasan Puncak Bogor di Jawa Barat dan Gunung Seger di Bali. Potensi itu belum dilirik secara serius baik oleh pemerintah maupun pihak swasta.

Saleh menilai pemerintah dengan kekuatan yang sangat besar seharusnya bisa mendukung aktivitas pengamatan migrasi burung melalui regulasi. Pemerintah dapat berfokus pada kebijakan konservasi yang mendukung habitat di sepanjang jalur migrasi burung agar selalu lestari.

Bentuk regulasi yang dapat dilakukan adalah mempertegas dan mencegah perburuan burung migran dengan senapan angin, deforestasi, dan kebijakan lain yang turut menjaga habitat. Perubahan lingkungan yang terjadi pada kawasan persinggahan burung mingguan dapat berpotensi mengubah jalur migrasi.

 

Wisata berkelanjutan

Tren pariwisata global sedang beralih dari wisata massal ke wisata berkelanjutan yang tersegmentasi, seperti pengamatan burung atau birdwatching yang memiliki potensi menjanjikan untuk mendongkrak ekonomi lokal.

Aktivitas utama wisata minat khusus ini hanya berupa mengamati burung pada habitat alami tanpa merusak hutan, mangrove, rawa, maupun pantai yang menjadi tempat persinggahan burung migran. Dampak ekologis dan jejak karbon yang ditinggalkan tentu jauh lebih sedikit ketimbang wisata massal.

Akademisi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Mataram Zefanya Andryan Girsang mengatakan walau peminat wisata pengamatan burung relatif sedikit, namun wisatawan cenderung tinggal lebih lama dan rela merogoh biaya besar demi melihat keindahan berbagai spesies burung migran.

Kegiatan mengamati burung migran selalu mengedepankan prinsip menghormati lingkungan dan menjaga nilai-nilai budaya masyarakat lokal.

“Kombinasi antara keanekaragaman hayati dan lanskap yang indah menjadikan Nusa Tenggara Barat sangat potensial menjadi destinasi birdwatching kelas dunia setara dengan destinasi populer, seperti Arfak dan Waigeo di Papua Barat,” kata Zefanya yang akrab disapa Ivan, lulusan magister bidang manajemen pariwisata dan olahraga dari Nicolaus Copernicus University di Polandia tersebut.

Aktivitas pengamatan burung dapat menjadi diversifikasi produk wisata bagi Nusa Tenggara Barat bila ditilik dari kacamata pemasaran pariwisata.

Dengan keragaman wisata, maka berpotensi meningkatkan durasi lama tinggal dan belanja para wisatawan. Hal tersebut merupakan dua indikator yang menjadi ukuran penting dalam menilai performa ekonomi pariwisata daerah.

Pemerintah berperan besar dalam mengembangkan wisata minat khusus pengamatan burung migran, sekaligus membangun jejaring internasional melalui tour operator dengan negara penyumbang wisatawan terbanyak.

Sinergi lintas sektor dalam kerangka pentahelix harus mampu dibangun agar Nusa Tenggara Barat tidak saja disinggahi oleh burung-burung dari luar negeri, namun juga dikunjungi wisatawan dari berbagai belahan dunia.

Regulasi mesti diperketat untuk menjaga keseimbangan antara kepentingan ekonomi dan konservasi. Regulasi itu dapat tertuang dalam peraturan daerah yang mengatur mengenai kualifikasi tour operator dan pemandu wisata alam yang menyelenggarakan pengamatan burung mencakup pembatasan jumlah pengunjung, penentuan zona konservasi, serta pelaksanaan.

Melalui perencanaan matang dengan menyelaraskan kepentingan ekonomi dan kelestarian alam, maka aktivitas pengamatan burung migran dapat menjadi ikon wisata baru yang memperkuat citra destinasi di Indonesia terkhusus Nusa Tenggara Barat.

Di balik kepakan sayap jutaan ekor burung migran tersimpan potensi besar untuk membangun masa depan pariwisata yang lebih hijau, cerdas, dan berkelanjutan.

 

Oleh Sugiharto Purnama dan Ida Ayu Made Widya
Editor : Dadan Ramdani

Konten ini dilindungi oleh hak cipta dan dilarang untuk disebarluaskan tanpa izin tertulis dari ANTARA

Pos terkait