judul gambar

Kajati Bali Jawab Tantangan Publik Bongkar Korupsi Sebelum Promosi

Kajati Bali jawab tantangan publik bongkar korupsi sebelum promosi
Kepala Kejaksaan Tinggi Bali Ketut Sumedana (kanan) berbincang dengan Jaksa Agung ST Burhanuddin. ANTARA/HO-Dokumentasi Pribadi

Denpasar, 21/10 (ANTARA) – Kepala Kejaksaan Tinggi Bali Ketut Sumedana menjawab tantangan publik untuk membongkar kasus korupsi di Bali sebelum dirinya dipromosi menjadi Kajati Sumatera Selatan.

Ketut Sumedana di Denpasar, Selasa, menyatakan dua kasus baru yang dinaikkan statusnya dari penyelidikan ke penyidikan yakni dugaan korupsi kepemilikan 106 sertifikat hak milik di Taman Hutan Raya (Tahura) Ngurah Rai dan kasus dugaan mark up konstruksi bangunan Universitas Terbuka Denpasar tinggal menunggu penetapan tersangka.

Bacaan Lainnya

Tak hanya itu, Ketut Sumedana juga telah memerintahkan Kejaksaan Negeri jajaran di seluruh kabupaten di Bali untuk mulai menyelidiki dugaan penyelewengan dana bansos dan pemakaian dana hibah oleh pejabat di daerah.

Kasus munculnya sertifikat di lahan Tahura mendapat sorotan masyarakat Bali pasca banjir bandang, apalagi dugaan penyimpangan alih fungsi lahan negara di kawasan konservasi hutan, yang seharusnya tidak boleh dimiliki atau digunakan untuk kepentingan pribadi maupun bisnis.

Sumedana menyebut penyidik Kejati Bali menemukan indikasi kuat adanya tindak pidana korupsi dalam pengelolaan lahan Tahura.

“Kami sampaikan kabar baik, Kejaksaan Tinggi Bali telah meningkatkan status perkara kasus Tahura ke tahap penyidikan dimana penyidik menemukan indikasi tindak pidana korupsi,” kata Sumedana.

Dalam kasus ini, 20 saksi sudah dipanggil dan diperiksa.

Penyidik juga telah menggali sejumlah dokumen penting terkait Tahura Ngurah Rai dan telah melewati tahapan klarifikasi.

“Pemeriksaan kami melibatkan instansi terkait seperti Dinas Kehutanan dan Badan Pertanahan Nasional (BPN). Kami ingin tahu siapa yang memegang hak pertama, kedua, dan ketiga. Semua akan terang di tahap penyidikan,” kata dia.

Sumedana menjelaskan kasus ini berawal dari alih fungsi tanah negara yang terjadi sejak tahun 1990-an. Menurut dia, kawasan Tahura merupakan tanah negara yang tidak dapat diganggu gugat peruntukannya. Karena itu, 106 SHM yang telah dikantongi oleh pemegang SHM patut diduga sebagai pelanggaran hukum.

“Dengan adanya penyidikan ini mudah-mudahan semakin terang. Ke mana arah perkaranya, berapa lahan yang dicaplok dan kerugian negara,” katanya.

Untuk diketahui, pada Kamis 23 Oktober 2025, Kajati Bali Ketut Sumedana resmi mengampu jabatan baru di korps Adhyaksa.

Dirinya dipromosikan dari Bali Kajati tipe B ke Sumatera Selatan sebagai kajati tipe A.

Jaksa Agung ST Burhanuddin mempercayakan penggagas Bale Kertha Adhyaksa Bali (yang telah tuntas sosialisasi di seluruh kabupaten kota di Bali) menjadi Kejati Bumi Sriwijaya alias Sumatera Selatan.

“Promosi menuju tipe A dari tipe B itu tidak mudah. Harus pernah duduk di jabatan eselon II di Kejaksaan Agung, pernah menjabat Kajati tipe B, dan lulus tes pemantapan. Tes pemantapan itu usianya tidak boleh dari 55 tahun. Dan astungkara saya menjadi Kajati termuda dari Kejati Pemantapan (tipe A),” kata mantan Kapuspen Kejagung tersebut.

Dia menegaskan dirinya tidak dicopot, melainkan mendapatkan promosi dalam jabatan baru.

Karena itu, perpindahan dirinya ke Sumatera Selatan bukan alasan dicopot karena sedikit menangani perkara korupsi di Pulau Dewata.

“Saya tegaskan, dipromosikan dengan dicopot itu dua hal yang sangat berbeda. Tapi tidak apa-apa, saya tidak baper. Saya bisa menjelaskan prosesnya panjang dan melalui asesmen serta pertimbangan prestasi,” ungkapnya.

Di Bali, Ketut Sumedana menggagas berdirinya Bale Kertha Adhyaksa untuk menyelesaikan masalah perdata tanpa mesti melalui jalur pengadilan.

Program tersebut didukung Gubernur Bali Wayan Koster dan bupati dan wali kota se-Bali.

Setelah tuntas sosialisasi, kini Pemprov Bali menyiapkan Bale Kertha Adhyaksa menjadi Peraturan Daerah (Perda) Provinsi Bali untuk menyelesaikan masalah perdata tanpa mesti melalui jalur pengadilan.

Pewarta : Rolandus Nampu
Editor : Agus Setiawan

Konten ini dilindungi oleh hak cipta dan dilarang untuk disebarluaskan tanpa izin tertulis dari ANTARA

Pos terkait