Tejakula, LenteraEsai.id – Cahaya matahari menyengat tajam di siang bolong, pada penghujung September 2025. Seorang lelaki tua dengan kulit kecoklatan nampak setengah merunduk, melewati pematang dan menuruni ladang garam di tepian Pantai Penyumbahan, Desa Les, Kecamatan Tejakula, Buleleng, Bali.
Dengan gerakan perlahan namun pasti, lelaki itu menarik bangkrak yang digunakan untuk mengaduk tanah. Bangkrak dibuat dari lempeng besi dan diberi tangkai panjang untuk pegangan, yang lazim digunakan untuk mengolah atau menggemburkan tanah. Walaupun terik matahari serasa hendak membakar kulit, lelaki itu tetap teguh melakukan pekerjaannya, mengolah tanah di ladang garam.
Sesekali, lelaki bernama lengkap Ketut Kirana (60) itu menyeka keringatnya yang bercucuran, namun tidak terlihat semangatnya mengendur sedikitpun. “Saya sudah lebih dari 50 tahun menjadi petani garam, meneruskan pekerjaan yang dilakukan orang tua saya dahulu. Orang tua saya pun mewarisi pekerjaan dari kakek dan nenek saya. Jadi ini merupakan pekerjaan turun-temurun, sehingga saya mencintai pekerjaan ini, bukan karena keterpaksaan,” kata Ketut Kirana, warga lokal dari Dusun Penyumbahan, Desa Les, Kecamatan Tejakula, Buleleng, Bali, ketika ditemui pewarta Media LenteraEsai di ladang garamnya, pada Rabu (28/9/2025) siang.
Rasa duka menjadi petani garam, menurut Ketut Kirana, dikarenakan pekerjaan ini sangat bergantung pada cuaca. Hal ini dikarenakan pekerjaan ini tergantung pada hari yang cerah dan bersimbah cahaya matahari, sehingga proses penguapan air laut untuk menyisakan kristal garam, bisa berlangsung dengan lancar.
Lahan yang digarap Ketut Kirana seluas satu pajeg atau dikenal dengan hitungan satu are (10 X 10 meter). Pada lahan seluas satu pajeg inilah, proses pembuatan garam diawali. Bermula dari proses pembersihan lahan dan dilanjutkan dengan membagi lahan menjadi petakan. “Proses selanjutnya adalah mengisi petakan tersebut dengan air laut. Setelah setengah kering, akan dilakukan proses penggemburan lahan menggunakan bangkrak hingga tanah menjadi kering,” ujarnya.
Tanah yang sudah kering tadi lalu dimasukkan ke dalam suatu wadah yang biasa disebut dengan tinjung. Bentukya seperti parabola, namun terbuat dari anyaman bambu. Selanjutnya tinjung tadi ditambahi air laut sampai penuh. Air laut yang sudah disaring dalam tinjung selanjutnya ditampung dalam sebuah tempat penampungan berupa bak yang bertutup plastik.
“Proses selanjutnya adalah menuangkan air laut yang sudah disaring tersebut ke dalam tempat penguapan selama tiga hari sampai air laut benar-benar kering sehingga timbul kristal garam. Tempat penguapan garam bisa berupa bentangan plastik tebal, atau dapat menggunakan palungan pohon kelapa,” lanjutnya. Tiga hari berselang, garam sudah bisa dipanen untuk dijual langsung di pasar tradisional atau dikemas dipasarkan melalui BumDes. Harga garam mencapai Rp 10 ribu – Rp 15 ribu per kilogram.
Seiring berjalannya zaman, Desa Les kini bermetamorfosa menjadi desa wisata yang dikunjungi wisatawan baik lokal maupun mancanegara. Meski demikian, Ketut Kirana tidak pernah tergoda untuk beralih profesi dengan menjajal pekerjaan lain. Baginya, menjadi petani garam adalah tuntunan leluhur yang patut dilakukan dengan kesungguhan hati.
“Ini merupakan tradisi yang sudah dilakukan leluhur, kakek dari sekian generasi. Jadi saya tidak ingin beralih pekerjaan, karena saya percaya ada doa leluhur yang melancarkan pekerjaan sebagai petani garam ini. Nanti siapa yang akan meneruskan pekerjaan sebagai petani garam kalau tidak ada yang mau lagi meneruskannya. Beruntung anak perempuan dan istri saya dengan rela hati membantu saya bekerja di ladang garam ini, setiap hati istri saya ikut menggarap ladang garam ini,” kata Ketut Kirana seraya menunjuk istrinya Luh Lumanarsi (60) yang turut membantu menggemburkan tanah di ladang garam.
Penghasilan dari ladang garam, menurut Ketut Kirana, tinggal mengalikan saja. Saat ini, dirinya menggarap lahan yang dibagi-bagi menjadi tujuh petak. Setiap petak menghasilkan 10 kilogram per tiga hari. Total setiap tiga hari sekali, Ketut Kirana dan istrinya memanen 70 kg garam. Jika harga garam adalah Rp 15 ribu per kilogram, maka setiap tiga hari, dirinya mendapatkan kurang lebih satu jutaan rupiah. Namun tidak semuanya penghasilan itu dinikmati Ketut Kirana. Dia harus berbagi penghasilan, dikarenakan ladang garam itu milik orang lain, jadi sistemnya adalah bagi hasil.
“Dan tidak sepanjang tahun kami bisa panen garam. Dalam setahun, terhitung mulai Maret sampai Juli, kita baru bisa bekerja karena cuaca cerah. Selebihnya, yang benar-benar diam karena kalua memasuki musim hujan, petani garam tidak bisa berkutik. Jadi kami beralih menjadi nelayan, menggarap sawah atau kebun, sehingga tetap bisa mendapatkan penghasilan tambahan,” kata Ketut Kirana.
Diuji Redupnya Pemasaran
Sementara itu, Kepala Lingkungan Penyumbahan Nyoman Widiarta menjelaskan bahwa di wilayahnya telah didirikan Petani Usaha Garam (Puger) yang beranggotakan 30 orang, termasuk Ketut Kirana. Pada awalnya, mereka sekedar membantu orang tuanya ketika sedang bekerja di ladang garam. Lama-lama, mereka meneruskan usaha yang sudah dilakukan orang tuanya, sehingga generasi penerus sebagai petani garam hingga sekarang masih terjaga.
“Hasil panen petani garam di Les ini sudah cukup dikenal, dikarenakan kandungan mineral di garam tradisional Les ini memiliki manfaat yang baik untuk menghaluskan kulit atau menjadi bahan masakan,” ujar Widiarta.
Widiarta berharap, generasi muda tidak gengsi untuk meneruskan pekerjaan sebagai petani garam ini, sehingga kearifan lokal di Les tetap terjaga. Menurutnya, menjadi petani garam kalau dikerjakan secara profesional, niscaya akan memberikan penghasilan yang lebih dari lumayan.
“Saat ini, proses BPOM sedang diurus karena usaha garam ini kan skala tradisional. Moga kalau izin BPOM sudah terbit, makin memperluas pasar garam Les,” harap Widiarta.
Dia mengakui, selama ini para petambak garam masih terkendala dengan pemasaran garam tradisional ini. Meski sudah ada pihak BumDes yang telah menampung hasil produksi petani garam, namun kalau hasilnya sedang berlimpah, tentu harga menjadi anjlok sehingga meresahkan di pihak petani garam.
Beruntung pada awal 2025, Astra datang memberikan support. Sebagai langkah awal, Astra kemudian dengan gencar mengundang pihak media massa dan influencer untuk diajak mengeksplorasi desa Les.
“Berkat support Astra, kami bersyukur angka kunjungan wisatawan baik dari dalam dan luar negeri meningkat secara signifikan. Bahkan, mereka suka berkunjung ke ladang garam dan membawa garam Les sebagai oleh-oleh. Ini sungguh menggembirakan kami. Astungkara, dengan makin meningkatnya nama Les di mata wisatawan, berdampak langsung dengan pemasaran garam tradisional,” ujar Widiarta dengan ekspresi bersemangat.
Sementara itu, Kepala Desa Les Gede Wistara menambahkan Kampung Berseri Astra Desa Les sudah berlangsung sejak awal tahun 2025. Sejak menjadi Kampung Berseri Astra, kuantitas wisatawan makin bertambah dari waktu ke waktu seiring merangkak naiknya popularitas Desa Les.
“Sungguh merupakan anugerah bagi Desa Les menjadi Kampung Berseri Astra. Dengan adanya kunjungan jurnalis atau pegiat media sosial, maka makin banyak tulisan atau foto yang mengangkat potensi Desa Les. Kalau tidak dengan cara ini, maka naiknya popularitas Desa Les tentu makan waktu yang lama,” ujar Wistara.
Dia mengatakan bahwa sangat mensyukuri Desa Les dinobatkan menjadi desa wisata terbaik, sehingga hal ini tentu patut dipertahankan. “Di Desa Les ini, kami semaksimal mungkin mempertahankan nilai kearifan lokal dan ramah lingkungan. Pertanian tetap terjaga di Desa Les, sehingga alam menjadi seimbang. Kami berprinsip bahwa pariwisata tidak seharusnya menggerus lahan pertanian atau peternakan warga. Inilah yang kami jaga di Desa Les, yang dihuni 5.781 jiwa, dengan luas wilayah 7,69 km,” kata Wistara.
Kembali ke Bali Tempo Dulu
Penggerak Kampung Berseri Astra Nyoman Nadiana menjelaskan Desa Les ini merupakan desa tua yang sudah ada sejak abab ke-9. Sejak tahun 90-an, Desa Les sudah mendapat kunjungan tamu wisatawan, sehubungan adanya destinasi air terjun yang memukau, ditunjang sejumlah desa penyanggah yang menyiapkan akomodasi wisata. Pihak desa dinas dan desa adat bersemangat kolaborasi untuk mewujudkan desa wisata. Dahulu, Desa Les pernah beberapa kali mengikuti ajang desa wisata sampai akhirnya masuk 500 besar. Pada tahun 2024, Desa Les mencatatkan prestasi gemilang dengan keberhasilan dinobatkan menjadi desa wisata terbaik nasional.
“Ini terjadi setelah kita koneksikan teman-teman di bidang marine, pelaku garam tradisional, Pokdarwis untuk kegiatan tour desa, trekking, meditasi alam, disediakan homestay di rumah warga sehingga wisatawan bisa ikut cooking class dan lainnya. Yang kami syukuri, dulu warga banyak yang ngebom ikan, sekarang menjaga terumbu karang,” kata Nadiana.
Dia melanjutkan, Desa Wisata Les merupakan sebuah desa wisata yang memiliki konsep pengembangan Nyegara ( Pantai) dan Gunung. Dalam pengembangan kegiatan wisata, Desa Wisata Les menyajikan potensi alam, budaya dan kearifan lokal masyarakat. Dengan aktivitas yang saling mendukung antara alam, budaya dan masyarakat maka akan terwujud sebuah konsep wisata di mana hulu ( Gunung) dan Segara ( Laut) akan menjadi harmoni. Perpaduan alami hulu hilir (Segara Gunung) ini menjadi sumber kekayaan hasil laut dan pertanian desa. Padu padan ini memnghasilkan khasanah kuliner lokal yang otentik dan menjadi bagian dari budaya lokal.
“Di Desa Les memiliki keunikan, keotentikan, dan kreativitas yang menjadi daya tarik wisata berupa produk wisata (wisata alam, buatan, budaya) dan produk ekonomi kreatif (kriya, kuliner, & fashion). Wisata alam yang banyak mendapat kunjungan adalah Air Terjun Yeh Mampeh berada di wilayah hutan Desa Les dengan tinggi kurang lebih 20 meter,” jelas Nyoman Nadiana.
Sejumlah kegiatan yang segera direalisasikan pihak Astra demi mendukung tumbuh kembang Desa Wisata Les mencakup empat pilar: (1) Pilar Pendidikan: pelatihan pemandu wisata dalam penggunaan bahasa asing, pemberian alat-alat pendidikan bagi anak TK dan SD, serta pemberian dana belajar kepada komunitas di Bukit Kreatif Space. (2) Pilar kewirausahaan: pameran produk lokal, pelatihan pembuatan produk UMKM. (3) Pilar Lingkungan: pembuatan teba modern (tempat penampungan sampah organik),
sosialisasi lingkungan di sekolah, dan produksi pupuk kompos, dan (4) Pilar Kesehatan: kegiatan pelayanan kesehatan terpadu meliputi balita dan ibu, sosialisasi tentang kesehatan masyarakat ke Posyandu, serta pemberian PMT rutin untuk anak stunting dan gizi buruk.
“Di sini, kami berupaya menjaga keadaan alam dan adat istiadat sesuai ajaran leluhur. Tidak ada perubahan atau modernisasi untuk mengubah wajah Desa Ngis, kami semuanya berada di langkah yang sama, yakni menjaga Desa Les agar tetap mengalir seperti Bali pada tempo dulu. Inilah yang kami gaungkan pada generasi muda Les, supaya nilai-nilai yang ada dan dijalankan para tetuah desa, tidak akan luntur seiring kemajuan zaman,” ujar Nyoman Nadiana penuh harapan. (Tri Vivi Suryani)